Sunday 7 October 2012

SEJARAH TERBENTUKNYA PROVINSI LAMPUNG

Sabtu, 06 Agustus 2011 SEJARAH PROVINSI LAMPUNG SEJARAH TERBENTUKNYA PROVINSI LAMPUNG ( 1857 -1967 M ) ( diposting dan disalin sesuai dengan aslinya dari Naskah Sejarah Daerah Lampung, Proyek penelitian dn pencatatan kebudayaan daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam tahun anggaran 1977/1978.) Memasuki abad ke-20 dapat dikatakan tidak ada lagi wilayah daerah Lampung yang bebas dari kekuasaan Belanda. Sejak gugurnya Radin Inton II ( 5 oktober 1856 ), berakhir pulalah perlawanan rakyat Lampung. Perlawanan yang timbul kemudian dapat dikatakan tidak berarti sama sekali sehingga Lampung cukup terkendali. Pemerintahan didaerah dipegang oleh masing-masing kebuayan atau marga/ mego dengan restu dari pemerintahan belanda. Dasar kebuayan inilah nantinya yang akan menjadi sistem pemerintahan marga ( marga-stelsel) yang ditetapkan dalam IGOB ( Inlandsche Geneente Ordonnantie Buitengewesten ) dalam tahun 1928. Sejak tahun 1857 pemerintahan di Lampung dikepalai oleh seorang residen yang dibantu oleh sekretaris dan tujuh orang kontroler, yang kesemuanya terdiri dari orang belanda, mereka menerapkan sentralisasi seperti dijawa tetapi mendapat tantangan karena tidak cocok dengan sistim yang ada yaitu sistem kebuayan/ marga yang berdasarkan desentralisasi ( otonomi ). Dengan sistem sentralisasi yang dijalankan oleh pemerintahan belanda pernah terjadi kegoncangan dalam masyarakat, yaitu ketika sistem kebuayan seolah tidak dihormati, maka tahun 1857 – 1859 orang orang daerah rebang menggunakan kesempatan untuk berpindah keselatan dan orang abung mendesak ke timur wilayah kebuayan lainnya. Sistem kebuayan adalah sistem yang sudah berjalan sejak lama, terutama didaerah utara yang mempunyai kebuayan. Sitem ini menitik beratkan pada musyawarah dan mufakat dengan desentralisasi/otonomi dalam pelaksanaanya. Sistem desentralisasi ini tidak sesuai dengan kehendak pemerintah belanda. Tetapi belanda tidak bisa berbuat banyak karena adat istiadat masih dipegang teguh oleh penduduk Lampung yang tercermin pada upacara – upacara adat yang masih dipatuhi. Akhirnya pimpinan berdasarkan kebuayan terpaksa dipenuhi belanda dalam tahun 1928, pada tahun ini marga menuntut adat Lampung diakui berikut hak ulayatnya. Tetapi dalam pelaksanaanya sudah sangat dibatasi, dimana hak ulayat tersebut hanya tinggal berupa wewenang mengurus tanah oleh marga atas nama pemerintahan Belanda. Pengaturan secara lengkap administrasi pemerintahan daerah lampung terjadi pada tahun 1929, termuat dalam staatsblad 1929 No. 326, dimana antara lain diatur: Lampung dijadikan satu afdeling yang dikepalai oleh residen. Afdeling Lampung terbagi atas lima onder afdeling yang masing masing dikepalai oleh seorang kontroleur dan dipedang oleh bangsa Belanda. Residen berkedudukan di teluk betung, sedangkan kontroleur berkedudukan di teluk betung, kota agung, sukadana, kotabumi dan menggala. Selanjutnya tiap tiap onder afdeling dibagi dalam distrik dinstrik yang dikepalai oleh demang. Tiap distrik dibagi lagi dalam onder distrik yang dikepalai oleh asisten demang. Bagi daerah kolonialisasi onder distrik dikepalai oleh seorang asisten wedana. Pangkat demang atau asisten wedana dijabat oleh seorang indonesia, pada tingkat paling bawah, diakui sistem marga yang dikepalai oleh seorang pasirah yang mengepalai kepala kepala kampung yang disebut kepala suku. Walaupun keadaan di Lampung sudah aman dan stabil, dengan adanya pengaruh pergerakan nasional di Jawa serta melihat sistem marga merupakan alat bagi pemerintahan belanda , maka timbul kelompok anti sistem marga yang dipelopori oleh tokoh tokoh pergerakan yang pada waktu itu baru tumbuh di Lampung, namun karena banyak mendapat pengaruh dari partai komunis indonesia yang baru saja mengadakan pemberontakan di jawa dan sumatera barat maka pergerakan ini tidak mendapat dukungan dari rakyat setempat, lagi pula rakyat yang mengikuti pergerakan akan ditindas oleh belanda. Dasar adat Lampung kedudukan kepala ( pengetua kelompok genealogis ) diwariskan yaitu dengan eleksi. Maka kepala marga pun dipilih oleh penyimbang-penyimbang suku, jadi dalam pemilihan terbatas ada marga yang dihormati tentang tata adatnya untuk kemudian residen mengangkat orang yang berhak. Sebaliknya ada pula marga yang mengenal pemilihan umum untuk kepala marga, yaitu marga-marga pasemah ( orang rebang ), orang orang pendatang, dimana hubungan genealogis tidak begitu dipentingkan lagi. Sejak ditetapkankannya status marga dan beberapa distrik kolonisasi, marga marga tersebut adalah : 1. Dantaran, 2. Pesisir raja basa, 3. Ratu, 4. Legun 5. Ketibung 6. Teluk betung 7. Balau 8. Way Semah 9. Sabu menanga 10. Ratai 11. Punduh 12. Pedada 13. Merak batin 14. Tegineneng 15. Badak 16. Putih 17. Limau 18. Kelumbayan 19. Pertiwih 20. Putih 21. Limau 22. Buay belungu 23. Tulang bawang pesisir 24. Benawang 25. Way ngarip semong 26. Pematang sawah 27. Rebang pugung 28. Pugung 29. Buai selagai kunang 30. Rebang ( buay) seputih 31. Buay Baradatu 32. Buay nunyai 33. Buay bunga mayang 34. Kasui 35. Buay semenguk 36. Buay pemuka pengiran udik 37. Buay tuba 38. Buay pemuka pengiran 39. Buay bahuga 40. Buay barasakti 41. Buay pemuka pengiran ilir 42. Buay pemuka bangsa raja 43. Jabung 44. Melinting 45. Sekampung 46. Subing labuan 47. Gedong wani 48. Batang hari 49. Sukadana 50. Unyi way seputih 51. Subing 52. Buay beliuk 53. Buay nyerupa 54. Anak tuha 55. Pubian 56. Buay unyi 57. Mesuji lampung 58. Buay bulan udik 59. Tegamoan 60. Suai umpu 61. Buay bulan ilir 62. AjI Demikian keadaan pemerintahan pada zaman hindia belanda sampai kedatangan bangsa jepang ke indonesia. Pada zaman jepang struktur pemerintahan itu tidak dirubah hanya istilah-istilah diganti dengan istilah –istilah jepang. Daerah Lampung sejak abad ke-16 sudah didatangi oleh pendatang dari luar seperti Banten, dan secara besar besaran dari daerah palembang datang kedaerah Lampung pada pertengahan abad ke-19, sedangkan para kolonisasi dari Jawa secara intensif mulai pada abad ke-20, mereka menghuni daerah daerah yang belum diolah dan tergolong subur. Mulailah terlihat orang orang yang mendiami daerah “ SANG BUMI RUA JURAI ” ini hidup rukun dan penuh toleransi, bahkan terjadi pengakuan terhadap orang rebang sebagai warga lampung yang menghuni beberapa wilayah tertentu. - Lebih lebih pada masa kemerdekaan telah banyak terjadi perubahan pandangan dalam pikiran orang lampung untuk lebih terintegrasi antara masyarakat Jawa dengan masyarakat Lampung, Bahkan lambang pemerintah daerah Lampung terdapat kalimat “ SANG BHUMI RUWA JURAI” yang menunjukkan sikap bahwa golongan penduduk asli dengan kaum pendatang mempunyai suatu tempat dan tugas yang sama dalam membina wilayah ini untuk kemajuan negara dan bangsa -. Pendudukan Jepang. Ketika perang pasifik meletus dibulan desember tahun 1941 hindia belanda berada dipihak sekutu. Hanya dalam waktu sekitar 100 ( seratus) hari jepang berhasil menghancurkan pertahanan inggris di Birma, Malaya, dan singapura. Juga berhasil menghancurkan pertahanan amerika di pilipina, serta menundukkan pertahanan belanda di indonesia hingga pada 8 maret 1942 di kalijati jawa barat belanda menyerah tanpa syarat. Sumatra dibawah kekuasaan pemerintahan jepang berpusat di singapura yang disebut shonanto, jepang memasuki daerah Lampung dari arah Palembang. Pendudukan balatentara Jepang di Lampung segera dijadikan keresidenan yang dikepalai oleh seorang residen militer ( Lampung Syucokan ) yaitu kolonel kurita, yang dibantu seorang kepala kepolisian yang bernama sebakihara. Sebagaimana sistim pemerintahan jepang dipulau jawa, maka dibawah keresidenan diadakan kabupaten, dibawahnya lagi ada kewedanaan yang dikepalai oleh seorang Gunco, yang dijabat oleh seorang indonesia. Dibawah kewedanaan terdapat keasistenan yang nanti menjelma menjadi wilayah kecamatan dikepalai oleh seorang asisten demang ( fuku gunco), dibawah nya adalah kampung/ desa yang disbut Ku. Dan disetiap kewedanaan diangkat seorang Ciko Sidukan berkebangsaan jepang bertugas mengawasi dan membimbing Gunco agar setia dan tak menyimpang. Tidak berlangsung lama pada tanggal 15 agustus 1945 jepang akhirnya menyerah terhadap sekutu, setelah terlebih dahulu dijatuhkan bom atom oleh amerika serikat. Berita menyerahnya Jepang diterima di Palembang lewat petugas radio domei dan modohan, kabar kekalahan tersebut sampai ke-Lampung. Tidak lama kemudian terdengar berita lewat radio oleh kepala penerangan karesidenan Lampung yaitu amir hasan, bahwa proklamasi telah diumumkan kepada dunia internasional pada tanggal 17 agustus 1945. Kedatangan Mr. Abbas dari Jakarta memperkuat berita dan ia segera menyelenggarakan pertemuan antara para tokoh dan pemuka masyarakat di tanjungkarang dan sekitarnya guna mengambil langkah berikutnya sesuai petunjuk pemerintah Pusat Jakarta. Beliau juga ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagai residen pertama untuk Lampung setelah Proklamasi. Dan segera membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah Lampung yang kemudian disusul dengan dibentuknya Komite – Komite Nasional tingkat kewedanaan dan kecamatan. Tanggal 5 september 1945 ada instruksi dari pusat untuk pengoperan kekuasaan di berbagai kewedanaan, pengibaran bendera merah putih secara menyeluruh dan penjagaan seperlunya. Sebagai ketua KNIDL yang pertama kali ditunjuk Wan Abdurrahman, dan semua jawatan maupun isntansi milik jepang segera direbut dan pindah tangan menjadi aparat pemerintahan RI. Jawatan penerangan ( syu seito hodokan) dengan segala kelengkapannya diambil alih oleh Amir Hasan sebagai kepala penerangan daerah Lampung, dengan di opernya percetakan krakatau maka lebih lancarlah komunikasi dengan warga daerah hingga kepelosok pelosok. Sementara itu berdirilah API ( Angkatan Pemuda Indonesia) menghimpun para pemuda, menyusun laskar bersenjata seperti lasykar tani, barisan Banteng, Pesindo, Napindo dan lain sebagainya. Pada tanggal 9 september 1946 Residen Lampung Mr. Abbas dipaksa untuk melepaskan jabatannya selaku residen syah, oleh sebuah badan yang menamai dirinya sebagai PPM ( Panitia Perbaikan Masyarakat). Dengan beberapa tokoh nya : Zainal Abidin, Juned, Azhari, Datuk Amin, Oemar bey. Sutan Mudsi, Haji Mansyur dan sebagainya. Usaha pendaulatan ini berhasil, lalu Residen Lampung dijabat oleh Dr. Barel Munir. Akan tetapi dia mengundurkan diri pada tanggal 29 november 1947 dan sebagai gantinya diangkatlah rukadi sebagai residen daerah ini. Pada waktu terjadi perang ( serangan ) belanda kedua 1948, ibukota karesidenan Lampung diduduki pasukan belanda, dan menyingkirlah pemerintahan karesidenan bersama stafnya ke menggala lewat kasui. Karena hal tersebut bertentangan dengan keputusan karesidenan (DPR), atas dasar itu DPR karesidenan bermusyawarah dengan para pimpinan partai mengangkat Mr. Gele Harun ( putra Dr. Harun) sebagai kepala pemerintahan darurat Karesidenan Lampung, yang mendapat persetujuan syah dari pemerintahan darurat provinsi sumatra selatan saat ini. Karena situasi keamanan yang belum stabil, maka tempat kedudukan staf berpindah pindah, Pringsewu, talang Padang, dan bukit kemuning. Dan di bukit kemuning disusun staf pemerintahan secara lengkap darai keputusan persetujuan Roem royen, guna siap siap untuk menerima oper kekuasaan dari tangan belanda. Dan didalam susunan staf tersebut ditegas kan bahwa Mr. gele Harun adalah residen Lampung. Ketika belanda harus menyerahkan dan mengakui kekuasaan RI sebagai akibat dari hasil KMB 1949, maka Mr. Gele harun inilah yang menerima kekuasaan langsung dari pihak belanda. Pada tahun 1950 berdasarkan hasil plebisit rakyat di kewedanaan krui, maka sejak itu Krui yang semula bagian Keresidenan Bengkulu, masuk menjadi bagian wilayah Karesidenan lampung. Dengan demikian maka karesidenan Lampung meliputi seluruh ujung selatan dari Pulau Sumatera. Sistem Pemerintahan negeri di Lampung berdasarkan IGOB Staatsblad no. 490 Tahun 1953 dengana danya tap Gubernur Sumatra Selatan no.53/1951 mengenai perubahan kepala marga, maka jumlah negeri di Lampung yang semula 52 buah berubah menjadi 35 buah negeri saja. Melihat luasnya wilayah karesidenan serta kemampuan potensi perekonomiannya, maka berdasarkan Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang No. 13 tahun 1964, yang kemudian menjadi Undang-undang No. 14 tahun 1964 maka Karesidenan Lampung ditingkatkan menjadi daerah Tingkat I ( Propinsi) hingga saat sekarang ini. Dengan demikian Lampung Sejak 1964 berdiri sendiri sebagai daerah tingkat I, bukan lagi bagian dari Propinsi Sumatera Selatan. Sebagai gubernur KDH Tingkat I Lampung saat itu diangkatlah Kusno Danopoyo, kemudian pada tahun 1967 terpilih Zainal Abidin Pagar Alam, dan semenjak akhir tahun 1972 jabatan gubernur KDH Tingkat I lampung dipegang oleh Brigjend TNI Sutiyoso. Diposkan oleh SALIWA di 05:23 Label: SEJARAH KERAJAAN

No comments:

Post a Comment