Sunday 7 October 2012

Mitologi dalam Sejarah (Budaya) Lampung

Mitologi dalam Sejarah (Budaya) Lampung Juni 23, 2010 Ketika melakukan riset mengenai Etnografi Kebuayan Way Kanan—naskahnya kini saya kirimkan kepada Bupati Way Kanan dengan harapan dapat diterbitkan untuk meminimalkan kelangkaan pustaka Etnografi Way Kanan—saya mendapati sejumlah realitas yang menarik untuk didiskusikan. Utamanya, banyak mitologi yang bersumber pada tradisi cerita tutur (dalam masyarakat Lampung dikenal sebagai warahan, atau aruhan) dijadikan sumber penulisan sejarah (budaya) Lampung. Celakanya, mitologi ini kemudian diyakini sebagai ‘fakta sejarah’, dan dikutip secara luas dalam penulisan sejarah (budaya) sesudahnya tanpa usaha untuk mendiskusikannya secara kritis. Hampir diyakini seluruh masyarakat adat Lampung, bahwa asal-usul ulun Lampung—ada yang menyebut tian Lampung—berasal dari Kerajaan Sekala Brak di Lampung Barat. Rekonstruksi Prof. Hilman Hadikusuma seorang pakar hukum adat Lampung dianggap sebagai yang terbaik untuk menjelaskan Sekala Brak, dan telah diterima luas sebagai ‘fakta sejarah’. Kerajaan Sekala Brak diduga telah ada sejak abad ke-3 Masehi (Marsdn, 1779), dan pertama kali didiami Sukubangsa—ada yang menyebut Buay—Tumi. Beberapa saat kemudian, terjadi migrasi dari Sekala Brak terutama setelah kedatangan empat umpu dari Pagaruyung yakni Inder Gajar bergelar Umpu Lapah di Way, Pak Lang bergelar Umpu Pernong, Sikin bergelar Umpu Nyerupa, Belunguh yang bergelar Umpu Belunguh dan seorang putri Indarwati bergelar Puteri Bulan. Kelima umpu ini kemudian melahirkan lima buay, yang kemudian berkembang menjadi sembilan kebuayan—dilambangkan dalam tajuk siger, berkembang lagi menjadi 84 marga—sejak 1928 oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dan tumbuh menjadi ratusan jurai, atau tiyuh. Prof. Hilman melakukan rekonstruksi berdasarkan mitologi dan kitab Kuntara Raja Niti—babad hukum adat yang diakui seluruh penyimbang dan saibatin di Lampung. Soal Sekala Brak telah ada sejak abad ke-3 misalnya, merupakan tesis yang terbilang ‘berani’ mengingat masyarakat sejarawan Indonesia masih percaya bahwa kerajaan tertua di Indonesia—dan dimulainya periode sejarah—adalah Kutai di Kalimantan dan Tarumanegara di Jawa Barat. Kedua kerajaan ini—didasarkan pada bukti prasasti—telah ada sejak abad ke-4 M. Isi prasasti itu pun umumnya singkat saja: bahwa daerah ini dikuasai Raja Mulawarman dan Purnawarman yang sakti, berwibawa dan seterusnya. Saya khawatir dugaan bahwa Kerajaan Sekala Brak telah ada sejak abad ke-3 M lebih karena ingin ‘melebih-tuakan’ Sekala Brak dibanding kerajaan-kerajaan yang telah disebutkan di muka. Apalagi, berbeda dengan Tulangbawang dan Sekampung yang keberadaannya dibuktikan dari berita Cina, Kerajaan Sekala Brak dibuktikan nyaris hanya berdasarkan klaim. Berita Cina, atau laporan perjalanan Tome Pires—yang banyak dijadikan referensi dalam sejarah kota-kota di Indonesia—tidak menyebut nama Sekala Brak. Bila Tulangbawang dan Sekampung saja masih kesulitan dibuktikan melalui peninggalan arkeologis, Sekala Brak idem ditto. Lalu, mengapa mitologi ini tampaknya telah disepakati sebagai ‘fakta sejarah’? Mungkin, sebagian dari kita terpengaruh pada kajian Prof. Hilman, seorang yang diterima luas sebagai pakar hukum adat Lampung. Bila Prof. Hilman merintis etnografi Lampung sejak akhir 1970an hingga awal 1980an, sudah selayaknya data-data riset Prof. Hilman mestinya berkembang dengan temuan, gugatan, penguatan, atau ‘fakta-fakta’ baru.. Bila hal ini tidak terjadi, sejatinya telah terjadi stagnasi dalam ilmu etnologi Lampung. Kemudian silsilah asal-usul orang Lampung yang berhasil direkonstruksi secara sistematis dan detail semenjak kedatangan umpu dari Pagaruyung. ‘Lengkapnya’ informasi mengenai asal-usul orang Lampung justru membuat saya ‘khawatir’ kita belum optimal melakukan telaah serta kritik intern dan ekstern terhadap metodologi penulisan sejarah (budaya). Sejarah asal usul orang Lampung banyak bersumber dari Kuntara Raja Niti dan tambo dari Pagaruyung yang diduga ditulis pada abad ke -17 atau 18. Menarik, karena referensi yang ditulis pada abad ke-17 mampu menjelaskan secara terperinci peristiwa-peristiwa beberapa abad sebelumnya. Sumber sejarah Majapahit misalnya, banyak bertumpu pada Negarakertagama yang ditulis pada masa Hayam Wuruk, masih satu masa dalam kejayaan Majapahit. Negarakertagama dipercaya sebagai sumber yang relatif akurat, terutama karena ditulis pada zaman Majaphit masih berdiri. Namun sumber lain, Pararaton menulis kisah mengenai Jawa (Singasari dan Majapahit) secara lebih detail bahkan sejak periode abad ke-12 hingga ke-16. Karena demikian detail dibanding Negarakertagama justru Pararaton dikaji secara teliti. Apalagi setelah Pararaton diketahui ditulis abad ke-17, tiga abad setelah Majapahit runtuh. Seperti halnya babad (Jawa, Bali), tambo (Minangkabau), hikayat atau silsilah (Melayu, Malaysia, Kalimantan), atau lontara (Makassar), Kuntara Raja Niti juga menulis fiksi dan fakta yang sulit dibedakan. Kuntara Raja Niti menyebutkan ‘dirinya’ digunakan oleh tiga kerajaan: Majapahit, Sunda dan Lampung. Dari kritik ekstern metodologi saja, sumber Kuntara Raja Niti ini tidak akurat. Pada abad ke-17 Majapahit bahkan tak ditemui lagi artefaknya—setelah digusur Kediri dan Demak. Dan yang paling penting, Kuntara Raja Niti tak dikenal dalam tradisi hukum Majapahit karena kerajaan ini memiliki kodifikasi hukum yang disebut sebagai Kutaramanawa. Kodifikasi Kuntara Raja Niti banyak bersumber pada hukum Islam, berbeda dengan Majapahit yang mendasarkannya pada Agama Siwa, Hindu dan Budha. Jadi, besar dugaan Kuntara Raja Niti adalah saduran dari Kutaramanawa yang berlaku di Majapahit lima abad sebelumnya. Sudah saatnya komunitas sejarawan, antropolog, arkeolog, sosiolog mengkaji-ulang metodologi penulisan sejarah (budaya) Lampung. Kajian lebih mendalam ini bukan berarti menegasikan riset yang telah dilakukan terlebih dahulu. Mengkaji sejarah (budaya) Lampung adalah tanggungjawab akademik intelektual dalam dinamika ilmu pengetahuan sebagai pengabdian kepada masyarakat (budaya) Lampung. Tabik. Febrie Hastiyanto; Alumnus Sosiologi FISIP UNS. Menulis naskah Jejak Peradaban Bumi Ramik Ragom: Studi Etnografi Kebuayan Way Kanan Lampung. Dimuat dalam Lampung Post, Senin, 6 April 2009 Suka Be the first to like this. Entri ini dituliskan pada Juni 23, 2010 pada 3:03 am dan disimpan dalam Lampung Post. Tags: bumi ramik ragoim, etnografi, febrie hastiyanto, mitologi, prof hilman hadikusuma, sejarah budaya lampung 36 Tanggapan to “Mitologi dalam Sejarah (Budaya) Lampung” Kakhya19 Berkata November 5, 2010 pada 1:44 pm Sekala bekhak kuno diknl dgn nama SAKALA BAKA.. Nama SILAMPUNG RATU BAKA ada dlm kitab kuno jawa dan sunda yg msh brhbgn saudara rajanya dgn raja lampung.. Sdgkn nama TULANGBAWANG yg bnr adlh 2 krjaan: TULANG/TALANG dan BAWANG, yg disbtkn dlm berita cina memang 2 krjaan bukan satu.. Balas hastiyanto Berkata November 12, 2010 pada 12:49 am @ Kakhya 19: Wah, banyak informasi menarik nih. Saya baru mengetahui bila Tulang Bawang merupakan dua kerajaan. Soal Silampung Ratu Baka, apakah ‘raja’ Lampung, atau ‘raja’ Jawa dan Sunda? Balas kakhya19 Berkata November 28, 2010 pada 1:50 am Tulang/talang di komering (minanga) dan bawang di belalau lampung barat (sakala berak pra-islam).. Seperti kedudukan antara krjan galuh dan sunda yg pecahan dr tarumanegara.. Balas kakhya19 Berkata November 28, 2010 pada 2:07 am Silampung ratu baka/boko adalah sebutan raja lampung (sakala baka/sekala bekhak kuno) yg merupakan wangsa sailendra di sumatera.. Yang mengendalikan SRIWIJAYA dan MATARAM KUNO (wangsa sailendra yg pindah ke jawa).. Balas Kakhya19 Berkata November 28, 2010 pada 2:36 am Lampung, sunda dan jawa bersaudara raja2nya.. Krn hubungan perkawinan wangsa sailendra (lampung), sanjaya (sunda) dan sima (jawa).. Balas Addin Berkata Desember 7, 2010 pada 3:32 pm Kemungkinan bsr stlh wangsa sailendra di mataram kuno tdk lg berkuasa, mrk ada yg ke daerah blambangan dan bali.. Stlh itu dari blambangan pd zmn majapahit, sbgn kembali lg ke lampung (asal nenek moyangnya), slh satunya menempati daerah way kanan (puyang rakihan sakti).. Balas Gimbakh Berkata Januari 1, 2011 pada 4:11 pm Aslm, sptinya anda mesti meneliti hubgn kosakata bhsa lampung dgn bhsa kuno champa/kamboja, krn disebut2 disana ada istilah “PANG LIPANG DANG” dan “TANDANG MIDANG”.. Balas Gimbakh Berkata Januari 1, 2011 pada 4:22 pm Kata “api” dlm bhsa lampung (yg artinya apa) di champa disbtkn “apei”.. Hal ini bisa menyimpulkan bahwa nenek moyang lampung “LALAU LA” (be_lalau), brsl dr sana mrpkn wangsa sailendra.. Balas Gimbakh Berkata Januari 1, 2011 pada 4:27 pm Ada lagi cerita lampung yg disadur dr kitab tua beraksara lampung, menyebutkan nama “RATU MENAPIK NYERUPA SAILENDRA” yg memiliki istana gedung asin yg sama bntuknya dgn istana ratu baka/boko di jawa.. Balas Gimbakh Berkata Januari 1, 2011 pada 4:35 pm Bentuk istana gedung asin sekala berak: berpintu 3, bagian bwh batu & bgn atas kayu, bntuk atap spti borobudur.. Istana tsbt terbakar dan membuat ktrnnya pindah dr sukadana way tebing liwa ke way gelang semaka kota agung tanggamus.. Balas Gimbakh Berkata Januari 1, 2011 pada 4:43 pm Disbtkan dlm kitab itu perancang istana tsbt adlh SAN YASIN (org cina) dan GUNADARMA (arsitek borobudur) dari jawa.. Apa mungkin “buay nyerupa” yg disbtkn adlh buay tumi pindah ke pesisir teluk semaka..? Balas Gimbakh Berkata Januari 1, 2011 pada 4:47 pm Istana buay nyerupa disbtkn di tampak siring dekat bukit tumi tua.. Nama “tampak siring” sama dgn nama istana wangsa warmadewa di bali yg merupakan ktrn wangsa sailendra dr jawa.. Balas Addin Berkata Januari 5, 2011 pada 2:07 pm Umpu belunguh mengangkat 7 anak: beringin muda, tatau, tata, kuning, jaga, sindi &… Kemungkinan 7 anak tsbt adalah anak2 dr keluarga ratu sekarmong dari buay tumi.. Balas Addin Berkata Januari 5, 2011 pada 2:15 pm Putri Sindi (buay sindi/mesindi/besindi) mnrunkan buay dibintang dan buay tengklek.. Sbgn ktrn buay dibintang mnrnkan 1 buay di sungkai.. Ktrn buay tengklek ke cukuhbalak mnrnkn marga badak.. Balas Mayzura Berkata Januari 16, 2011 pada 11:48 am Marga putih cukuhbalak trdri dr 5 buay: mikhadatu (semenguk krui), tambakura (semenguk pubian), hulu dalung (semenguk sungkai), hulu lutung (semenguk komering) dan pemuka (semenguk waykanan).. Balas Mayzura Berkata Januari 16, 2011 pada 12:39 pm Marga putih cukuhbalak trdri dr 5 buay: mikhadatu (semenguk krui), tambakura (semenguk liwa), hulu dalung (sungkai), hulu lutung (komering) dan pemuka (?).. Balas Mayzura Berkata Januari 16, 2011 pada 12:46 pm Buay pemuka ini dimungkinkan adlh pemuka bangsa raja dari negeri besar (menurut bpk tihang jaya dulu pulau tabuan milik orang negeri besar krn ada hbgn dgn umpu serunting sakti).. Balas Mayzura Berkata Januari 16, 2011 pada 12:54 pm Ada yg bilang serunting sakti sama dgn “umpu rakihan sakti” yg memiliki saudara angkat “putri berdarah putih” (istri ratu pemanggilan) yg mempunyai anak buay sedatu (mkn mikhadatu).. Balas Mayzura Berkata Januari 16, 2011 pada 1:02 pm Ratu pemanggilan adlh anak ratu nyerupa pesagi (umpu kuasa buay semenguk), saudaranya putri bidadari angsa (dayang metika) bersuami “umpu rakihan sakti” yg memiliki anak puyang junjungan dan putri bulan.. Balas Mayzura Berkata Januari 16, 2011 pada 1:46 pm Putri berdarah putih dimknkan anak umpu serata dilangik (nuwat) adik umpu kuasa (ratu nyerupa pesagi). Pd th 1420M trjd perpecahan di pesagi, shg klrga ratu pemanggilan pindah ke krui (way balau/tenumbang). Balas Mayzura Berkata Januari 16, 2011 pada 2:11 pm Ktrn buay semenguk dr way tenumbang krui adalah buay mikhadatu (ktrn keluarga ratu pemanggilan) yg kemudian pindah ke putihdoh cukuhbalak, shg disebut peminggir pemanggilan.. Balas Mayzura Berkata Januari 16, 2011 pada 2:29 pm Di putihdoh mereka berkumpul dgn klrga2 ktrn buay semenguk lainnya dan sumbay2 dr nuwat, waykanan, sungkai dan komering.. Balas Mayzura Berkata Januari 16, 2011 pada 3:00 pm Shg hbgn buay semenguk, nuwat, benawang, balau/tumi dan komering adlh satu klrga, krn dr ktrn ratu menapik/menatepik nyerupa pesagi sekala berak (pemanggilan).. Balas Mayzura Berkata Januari 16, 2011 pada 3:19 pm Orang abung bukan ktrn lurus sekala berak (ktrn ratu pesagi nyerupa), tetapi brasal dr rejang kaur yg menikah dgn putri di skala berak pra islam.. Shg bhsa abung(nyo) berbeda dgn bhsa pemanggilan (api).. Balas Mayzura Berkata Januari 16, 2011 pada 3:29 pm Bhsa pemanggilan bhsa asli sekala berak, yg kosakatanya byk kesamaan dgn bhsa tagalog, champa, sunda kuno. “Semakin tinggi peradapan satu bangsa, smkn byk kumpulan kosakatanya & smkn halus” Balas Waylima Berkata Januari 19, 2011 pada 4:06 pm Nama “abung” berasal dari kata “selabung” yaitu nama sungai di ulu komering (ranau).. Jadi bukan karena mereka adalah yg paling tua, karena buay yg paling tua adalah tumi, yg menurunkan lampung pesisir yg beradat saibatin.. Balas Waylima Berkata Januari 19, 2011 pada 4:11 pm Mengenai buay tegamoan di tulang bawang, mereka ktrn umpu runjung.. Umpu runjung ktrnnya ada jg di lampung pesisir (bengkunat).. Jadi kalau memb ahas krjaan tulang bawang, ktrnnya bukan di pagardewa saja, tetapi di lampung pesisir. Balas arya Berkata Mei 15, 2011 pada 1:14 pm saya tertarik sejarah ratu ber darah putih tolong bagi yg tau sejarah nya kasih tau saya kerna sy termasuf keturunannya itu kata kakek saya ini silsilah saya ratu berdarah putih raden intan raden nimba uyutkelembung sangun tukal(keramat way rilau) kasmun keramat tunjung petir permas johani sang pendekar(bergelar jalang henok) permas fatoni(aji angsara) tubagus ratu arya(arya pusaka) Balas rian Berkata Mei 15, 2011 pada 1:32 pm gatau sih tp yg sy tau kelembung sanguntukal dan johani sang pendekar itu ada di cukuh balak tanggamus apa kamu anak sana Balas Wirasaka Berkata Mei 31, 2011 pada 11:11 pm Way Rilau itu bukannya di marga pekhtiwi cukuh balak? Memang, ada org bilang dulu ratu darah putih sering mengunjungi cukuhbalak melalui jalan way ratai sabu trs ke pekhtiwi.. Apa mungkin ada hbgn klrga dgn marga2 di cukuhbalak, krn marga2 tsbt msk kekuasaan keratuan darah putih (data wikipedia). Balas nurwan Berkata Maret 7, 2012 pada 4:36 am ratu di puncak, merupakan saudara dari ratu bejalan diway.. benar ga ya? Balas 2010awalberjuang Berkata April 24, 2012 pada 9:31 am bukan, menurut silsilah buay bejalan di way Ratu Dipuncak ada sebagai berikut : Umpu Bejalan Diway, Beliau adalah Pendiri Paksi Buay Bejalan Diway memerintah dan dimakamkan di Puncak, Sukarami Liwa Ratu Tunggal, memiliki tiga orang anak Kun Tunggal Simbang Negara, bersaudara dengan Menang Pemuka yang bergelar Ratu Dipuncak yang kemudian pindah ke Bukit Kemuning dan menurunkan jurai Abung. Ratu Dipuncak memiliki empat orang putra yaitu Unyi, Unyai, Subing dan Nuban yang merupakan keturunan Paksi Buay Bejalan Diway serta lima Marga lainnya yaitu Anak Tuha, Selagai, Beliyuk, Kunang dan Nyerupa yang merupakan keturunan dari tiga Paksi lainnya sehingga menjadi Abung Siwo Mego. Balas Lampung sangun sai Berkata Mei 25, 2012 pada 5:22 pm Bukannya Orang abung itu keturunan Serunting sakti : Nunyai bin Minak paduka baginda (Ratu di puncak) bin pemuka begeduh bin Umpu cangih bin umpu pagar gading (saudaranya umpu sapu jagad dan umpu kunyangan) bin serunting sakti bin umpu setungau (Buay Tungau )bin …. seranggo sakti bin Rakihan sakti…. bin Begeduh (saudaranya bebatak dan bebugis)…. Info: pemuka adat buay nunyai kota bumi lampung utara… Balas Lampung sangun sai Berkata Mei 25, 2012 pada 5:42 pm Terus kalau dihubungkan dengan catatan Suku Haji di Komering ulu sumsel di ceritakan : Rakihan sakti yg ada di muara selabung komering mengambil istri seorang putri Ratu Pesagi Sekala begha kuno (Buay Tumi) bernama Bidadari Angsa…. Sepupu dr Bidadari Angsa bernama Putri Berdarah Putih adalah adik angkat Rakihan Sakti yang menjadi istri putra Ratu Pesagi yg bergelar Ratu Pemanggilan.. Kemudian Keturunan Rakihan Sakti di komering ulu bernama Umpu Setungau ( ada yg menyebutkan Putri Setungau) diambil isteri oleh orang Kaur Bengkulu menurunkan Serunting Sakti…. Serunting sakti menikah lagi sengan putri di sekala begha dan mendapat julukan Ratu Pugung… setelah itu Serunting sakti berputra Seranggo sakti sampai menurunkan Umpu Cangih yang datang ke sekala begha ketika terjadi konflik di buay tumi bersama Umpu Rakihan… umpu rakihan menikah dgn Putri sindi (anak Ratu Sekarmong) mendapat gelar Ratu di Balau … dan Putra/cucu Umpu Cangih bernama Minak Paduka Baginda/begeduh pindah ke cangguk gacak mendirikan kesatuan adat pepadun (keratuan) Abung siwo mego dan mendapat gelar Ratu di Puncak… Demikian cerita nenek moyang kita orang lampung.. kurang lebihnya mohon maaf, karena ini sekedar berbagi info saja… salam kemuarian… Balas Arya Purbaya Berkata September 14, 2012 pada 9:55 pm Saya tertarik penjelasan puakhi, tolong bisa minta nomor HP Puakhi.. Atau miscall sj ke 085279999966 Balas hastiyanto Berkata Juni 25, 2012 pada 2:08 am Terima kasih atas tanggapan dari rekan-rekan. Sesungguhnya historiografi silsilah Sekala Brak, maupun garis kekerabatan lain di Lampung saya tak paham betul. Perspektif saya mengenai kebudayaan Lampung pada umumnya dapat dicek di: https://hastiyanto.wordpress.com/2012/04/16/memaknai-ulang-konsepsi-nemui-nyimah-dan-piil-pesenggiri/. Juga https://hastiyanto.wordpress.com/2011/09/20/mendiskusikan-sekala-brak/. Juga https://hastiyanto.wordpress.com/2011/10/24/sejarah-kekuasaan-di-lampung/. Juga https://hastiyanto.wordpress.com/2010/06/23/enclave-dalam-peta-bahasa-lampung/. Juga https://hastiyanto.wordpress.com/2010/06/23/melacak-asal-usul-orang-lampung/. Juga https://hastiyanto.wordpress.com/2010/06/23/desentralisasi-wilayah-adat-istimewa/. Juga https://hastiyanto.wordpress.com/2010/06/23/memaknai-kelampungan-dan-kejawaan/. Juga https://hastiyanto.wordpress.com/2010/08/02/aktualisasi-sistem-dan-nilai-adat/. Balas Tinggalkan Balasan Blog pada WordPress.com. Tema: White as Milk oleh azeemazeez.

1 comment: