Monday 8 October 2012

Enclave dalam Peta Bahasa Lampung

Enclave dalam Peta Bahasa Lampung Juni 23, 2010 Kategori masyarakat adat secara etnologi seringkali ditandai dengan penggunaan bahasa daerah yang sama. Sehingga sukubangsa Lampung dapat dimaknai sebagai kelompok sukubangsa yang menggunakan Bahasa Lampung sebagai bahasa ibunya. Mereka disebut ‘orang Lampung’, meskipun ada usaha-usaha dari sejumlah warga Lampung untuk mempopulerkan sebutan ‘ulun Lampung’ maupun ‘tian Lampung’ untuk menyebut ‘orang Lampung’. Secara adat, penduduk yang termasuk masyarakat kebudayaan Lampung tidak terbatas pada penduduk yang tinggal di wilayah administratif Provinsi Lampung saat ini, tetapi juga termasuk masyarakat yang bermukim di daerah Danau Ranau, Muaradua, Komering, hingga Kayu Agung di Provinsi Sumatera Selatan. Dilihat secara genealogi, Bahasa Lampung termasuk cabang Bahasa Sundik, dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia barat. Sehingga dengan demikian masih berkerabat dengan Bahasa Sunda, Bahasa Batak, Bahasa Jawa, Bahasa Bali, maupun Bahasa Melayu. Seperti halnya Bahasa Jawa yang terdiri dari sejumlah strata, Bahasa Lampung juga terdiri dari tingkatan-tingkatan yang dibedakan menjadi dua. Pertama, Bahasa Perwatin, yakni ragam bahasa yang baku, dan umumnya dituturkan di lingkungan adat dan terhadap orang yang dituakan atau dihormati. Kedua, Bahasa Merwatin adalah ragam bahasa sehari-haro, tak baku atau pasaran yang biasa digunakan sehari hari yang dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh bahasa lain (Natakembahang, 2009). Masyarakat adat Lampung dibedakan dalam dua kekerabatan adat besar, Saibatin dan Pepadun. Bahasa yang digunakan masyarakat pun memiliki dialek berbeda pada masing-masing adat. Dr Van Royen mengklasifikasikan Bahasa Lampung dalam dua dialek, yaitu Dialek Api dalam logat Belalau, Krui, Melinting-Maringgai, Way Kanan, Pubian, Sungkai, Kayu Agung dan Jelma Daya serta Dialek Nyow dalam logat Abung dan Menggala. Berdasarkan peta adat, Bahasa Lampung memiliki dua dialek dan digunakan masyarakat adat yang berbeda. Pertama, dialek A (api) yang dituturkan masyarakat adat Melinting-Maringgai, Pesisir Rajabasa, Pesisir Teluk, Pesisir Semaka, Pesisir Krui, Belalau dan Ranau, Komering, dan Kayu Agung, masyarakat ini beradat Saibatin. Dialek Api juga dituturkan masyarakat adat Way Kanan, Sungkai, dan Pubian yang beradat Pepadun. Kedua, dialek O (nyow) yang dituturkan oleh masyarakat adat Abung dan Menggala/Tulangbawang yang beradat Pepadun. Selain penutur Bahasa Lampung, di Lampung juga terdapat masyarakat penutur bahasa ibu selain Bahasa Lampung. Sebelum terjadi migrasi melalui transmigrasi yang mendatangkan masyarakat beradat dan berbahasa Jawa, Sunda, dan Bali, di Lampung juga terdapat sejumlah marga yang beradat dan berbahasa Semendo dan Ogan, diantaranya Marga Rebang Pugung di Talangpadang, Marga Rebang Kasui di Kasui, Marga Rebang Seputih di Tanjungraya, Marga Way Tenong di Way Tenong (beradat dan berbahasa Semendo) serta Marga Way Tuba di Bahuga yang beradat dan berbahasa Ogan (dalam Marga Regering Voor de Lampungche Districten, 1928). Ada beberapa hal yang perlu dicatat dari peta bahasa Lampung. Pertama, peta bahasa tidak selalu mencerminkan wilayah adat. Jadi, bila selama ini Sukubangsa Lampung dibedakan dalam adat Saibatin dan disebut berbahasa Lampung dialek Api dan masyarakat adat Pepadun berdialek O, kategorisasi ini masih belum sepenuhnya tepat. Karena sebagian masyarakat beradat Pepadun juga berdialek Api, yakni masyarakat Way Kanan, Sungkai dan Pubian. Hal ini terhitung menarik untuk dikaji, karena menurut teori etnografi, masyarakat adat seringkali ditengarai dari penggunaan bahasa ibu yang sama. Hal ini tidak terjadi pada masyarakat adat Pepadun, karena dalam masyarakat adat ini digunakan dua dialek yang berbeda. Kedua, peta bahasa Lampung tidak dapat disederhanakan berdasarkan peta geografi Provinsi Lampung saat ini secara ketat. Masyarakat adat Lampung bermukim secara menyebar, saling berselang-seling dan membentuk kantong-kantong (enclave) adat dan bahasa. Kita tidak dapat mengategorikan masyarakat adat Kota Bandar Lampung beradat apa, maupun menggunakan dialek apa sebagai kesatuan adat yang tunggal. Masyarakat adat di Teluk Betung Barat, Teluk Betung Selatan, Teluk Betung Utara, Panjang, Kemiling dan Raja Basa misalnya, beradat Saibatin dan menggunakan bahasa dialek Api (logat Belalau), masyarakat adat di Kecamatan Kedaton, Sukarame dan Tanjung Karang Barat beradat Pepadun dan berbahasa dialek Api (logat Pubian), sedang Masyarat adat di Gedongmeneng dan Labuhan Ratu menggunakan bahasa dialek Nyow (logat Abung) dan beradat Pepadun. Bahasa Lampung dialek Api logat Belalau juga digunakan di sebagian wilayah Lampung Barat, Lampung Selatan, Tanggamus, dan pesisir utara Banten. Masyarakat penutur dialek Api logat Belalau membentuk enclave di sejumlah wilayah, berdampingan dengan masyarakat adat lain yang juga membentuk enclave adat dan bahasa di seantero Lampung. Febrie Hastiyanto; Alumnus Sosiologi FISIP UNS. Menulis naskah Jejak Peradaban Bumi Ramik Ragom: Studi Etnografi Kebuayan Way Kanan Lampung. Dimuat Lampung Post, Senin, 13 April 2009 Suka Be the first to like this.

No comments:

Post a Comment