Sunday 30 September 2012

Kaganga Pabama: Aksara Lampung Sekarang Tersedia Digital

Kaganga Pabama: Aksara Lampung Sekarang Tersedia Digital: Dulu waktu zaman sekolah dasar, Pelajaran bahasa Lampung merupakan pelajaran Muatan Lokal yang dianggap paling "menyusahkan" oleh teman - ...

Sastra Lampung Bukan Sastra Lisan

Sastra Lampung Bukan Sastra Lisan oleh Pustaka LaBRAK pada 20 Desember 2010 pukul 21:24 · Oleh Iwan Nurdaya-Djafar Lampung Post, Minggu, 19 Desember 2010 Klik: http://ulunlampung.blogspot.com/2010/12/sastra-lampung-bukan-sastra-lisan.html TAJUK tulisan di atas ingin menafikan pandangan yang mengatakan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra lisan (oral literature). Dari jurusan sebaliknya, tajuk tadi sekaligus ingin menandaskan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra tulis. Pandangan yang mengatakan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra lisan mencerminkan sikap bias, ketidakjelian sekaligus kerancuan di dalam mengklasifikasikan sastra Lampung klasik karena telah mengacaukannya dengan bentuk metode penyebaran yang terpakai oleh sastra Lampung klasik, yaitu berupa deklamasi dan/atau baca puisi (poetry reading) serta mendongeng. Sambil lalu, perlu dibedakan bahwa di dalam deklamasi, sang pewarah (juru cerita) wajib menghafal karya sastra yang akan dituturkan, sementara di dalam baca puisi sang pewarah cukup membacakannya tanpa perlu menghafalnya. Di dalam mendongeng, sang pendongeng biasanya juga telah menghafal isi warahan atau dongengannnya. Demikianlah, pada dirinya sendiri sastra Lampung klasik adalah sastra tulis. Artinya, karya sastra itu dituliskan terlebih dulu, baru kemudian dideklamasikan (jika bentuknya puisi) dan/atau didongengkan (jika bentuknya prosa). Dalam hal ini, deklamasi atau pendongengan itu merupakan metode penyebarannya. Karya sastra Lampung klasik yang berupa sastra tulis itu adalah satu hal, dan deklamasi atau pendongengan adalah hal yang lain lagi. Keduanya mesti dibedakan. Yang pertama merupakan jenis sastra, sedangkan yang kedua merupakan metode penyebaran. Baik jenis sastra maupun metode penyebaran itu masing-masing merupakan seni yang mandiri (otonom). Sebagai sastra tulis, sastra Lampung klasik memiliki aturan tersendiri, dan sastra tulis Lampung yang baik tentu akan memiliki kekuatannya sendiri. Sebutlah, kekuatan teks. Teks bisa dibaca dan dikaji oleh orang di tempat yang jauh dari penulisnya, tanpa menonton secara langsung seni pertunjukannya. Penelitian Petrus Voorheove atas tetimbai Si Dayang Rindu, misalnya, tiba pada simpulan bahwa sebagai suatu karya seni tetimbai Si Dayang Rindu terbilang unggul untuk tradisi rakyat akhir abad ke-19. Itulah bukti kekuatan teks. Demikian pula deklamasi atau pendongengan sastra Lampung adalah seni yang mandiri, memiliki aturan tersendiri, dan penuturan yang bagus tentu akan memiliki kekuatan tersendiri pula. Deklamasi atau pendongengan adalah suatu seni pertunjukan (performing art). Sebuah seni pertunjukan yang bagus dari sang pewarah tentu akan membawa hanyut para penontonnya dan mengundang decak kagum disebabkan kepiawaian bertutur sang pewarah. Sang pewarah yang piawai bukan saja telah memahami karya sastra yang akan dituturkannya, melainkan juga memiliki keterampilan teknis di dalam penuturannya baik dalam segi vokal maupun interaksinya dengan penonton. Masnuna sang maestro dadi, misalnya, perlu berpuasa selama tujuh hari dan melatih suaranya dengan cara membenamkan wajahnya ke dalam air sembari melafal doa. Olahrasa dan olahraga itu membuatnya mampu melantunkan tiap kalimat dalam bait-bait dadi dalam satu untaian nafas panjang, bahkan dalam nada-nada tinggi. Sungguh pun demikian, keduanya—jenis dan metode penyebaran—taklah terpisahkan. Di samping kekuatan teks, kekuatan sastra tradisional Lampung juga terletak pada aspek penuturannya. Tidak mengherankan apabila sastra tradisional sering identik dengan seni pertunjukan tradisional. Penelitian Andreas Teeuw juga memperlihatkan bahwa sastra Lampung adalah sastra tulis. Menurut Andreas Teeuw, dalam bukunya Khazanah Sastra Indonesia (1983), dalam garis besarnya sastra se-Indonesia terbagi dalam tiga jenis, yaitu sastra lisan, sastra tulis, dan sastra modern. Mengenai sastra lisan, dalam kebanyakan masyarakat Indonesia pada masa pramodern tidak ada bahasa tulis—atau lebih tepat, seandainya ada tulisan pun, tulisan itu biasanya tidak dipakai untuk sastra dalam bahasa mereka sendiri; sebab tulisan Arab di kalangan orang yang beragama Islam dari dahulu luas tersebar, juga dalam masyarakat yang biasanya dianggap tidak memiliki sastra tulisan dalam bahasa mereka sendiri. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa dalam bahasa semacam itu tidak ada sastra. Sastra Dayak sebelum perang, misalnya, menurut kiraan seorang ahli sastra Dayak sebelum perang, Hans Scharer, luasnya sastra lisan yang bersifat mitos untuk suku Dayak yang ditelitinya dapat diperkirakan mengisi 40 ribu halaman cetak seandainya diterbitkan. Jadi mengisi dua ratus jilid, masing-masing dengan rerata 200 halaman pula. Dan ini hanya untuk satu suku ataupun subsuku bangsa saja. Mengenai sastra tulis, jumlah masyarakat suku yang memakai tulisan untuk melanggengkan sastranya di Indonesia relatif terbatas, dapat dibagi dalam beberapa golongan. Pertama, sastra Jawa Kuno, yang menggunakan huruf Jawa dengan abjad hanacaraka. Sastra Jawa Kuno dalam sejarah sastra dan kebudayaan Indonesia mempunyai peranan yang khas, bukan hanya karena tuanya—mulai dari Ramayana yang diciptakan pada abad ke-9—tetapi juga oleh karena sastra itu memengaruhi sastra-sastra daerah yang kemudian secara cukup dalam dan luas. Kedua, turunan langsung atau tak langsung sastra Jawa Kuno adalah Jawa klasik, modern, atau apalah namanya, yang luar biasa kayanya. Berbagai sastra daerah lain menunjukkan hubungan yang cukup erat dengan tradisi sastra Jawa Kuno–Jawa, walaupun masing-masing juga menunjukkan ciri khasnya, dalam hal ini sastra Sunda, Madura, Bali, dan Sasak, yang semuanya memakai tradisi huruf yang sama dengan sastra Jawa. Dapat ditambahkan, sastra Lampung pun agaknya terpengaruh sastra Jawa dalam hal wawancan dan gegurit (gagokhet) karena dalam sastra Jawa terdapat bentuk wawacan dan geguritan. Ketiga, tradisi tulisan lain yang relatif independen, walau berasal dari abjad India yang sama adalah tradisi Sulawesi Selatan, dengan wakil utama sastra Bugis dan Makasar, yang juga baru sebagian kecilnya saja tersedia dalam suntingan ilmiah atau saduran populer. Misalnya, I La Galigo, sastra Bugis dalam huruf lontara gundul, yang panjangnya tidak kurang daripada enam ribu halaman, dan karenanya hingga saat ini merupakan karya sastra terpanjang di dunia! Sepengetahuan penulis, I La Galigo baru diterbitkan sebanyak dua jilid dengan tebal masing-masing sekitar 500 halaman. Jilid pertama terjemahan Mohamad Salim diterbitkan oleh Universitas Hasanuddin, Makasar, dan jilid kedua diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, Jakarta. Keempat, di Sumatra tradisi tulisan pra-Islam terutama diwakili oleh masyarakat Batak, Rejang, dan Lampung, yang masing-masing menunjukkan ciri khas dalam sastranya. Batak memiliki hurufnya sendiri, Rejang memiliki aksara rencong, dan Lampung memiliki huruf ka ga nga (had Lappung). Juga Kerinci memiliki aksara incung. Dapat ditambahkan, berdasarkan Sensus tahun 1930, Lampung menduduki peringkat tertinggi dalam hal pemakaian abjad pribumi, yang tak lain adalah had Lappung itu. Ini membuktikan bahwa orang Lampung memiliki kesadaran yang tinggi dalam hal tradisi tulis-menulis termasuk dalam ranah sastranya. Kelima, datangnya tradisi tulisan huruf Arab, yang masuk Indonesia bersama dengan agama Islam, dan yang antara lain diwakili oleh sastra Melayu, Aceh, dan Minangkabau, juga di lingkungan budaya Jawa seringkali memakai tulisan Arab itu untuk sastra keagamaan dan juga untuk sastra bukan agama. Dalam masyarakat lain tulisan Arab juga dipakai bukan hanya untuk buku agama dalam bahasa Arab, tetapi pula untuk tulisan yang bermacam-macam sifatnya dalam bahasa setempat, misalnya sastra dalam bahasa Wolio, Pulau Buton, sastra dalam bahasa Ternate dan Sumbawa. Mengenai sastra modern, sejak awal abad ke-20—atau sedikit sebelumnya—di Indonesia mulai diciptakan sastra yang biasanya disebut modern, yaitu lain dari tradisional. Namun sastra modern pun tidak lepas sama sekali, tidak putus hubungannya dengan sastra tradisi; dari berbagai segi kesinambungan dipertahankan; setidak-tidaknya dapat dikemukakan empat aspek kesinambungan itu: (1) banyak hasil sastra modern merupakan transformasi teks lama, dalam bentuk saduran, penciptaan kembali cerita lama, dan lain-lainnya, (2) penggunaan motif dan tema tradisional seringkali sangat menonjol dalam sastra modern: Sangkuriang, Malin Deman, Puti Bungsu, atau misalnya motif wayang dalam puisi Subagio Sastrowardoyo dan seterusnya; (3) dalam cerita modern seringkali terungkap dasar kebudayaan tradisional atau konflik nilai budaya dalam penghayatan manusia modern, misalnya dalam novelet Sri Sumarah karya Umar Kayam, dalam cerita bersifat kebatinan dari Danarto, dalam puisi Darmanto Jatman, dalam Pengakuan Pariyem karya Lunis Suryadi, dan seterusnya; (4) kesinambungan jelas pula dalam gejala yang sangat populer di Indonesia, yaitu poetry reading (pembacaan puisi), di mana puisi modern berlaku dalam rangka tradisional yakni sastra sebagai performing art (seni pertunjukan). Dari uraian A. Teuuw di atas, sastra Lampung, termasuk ke dalam sastra tulis. Sastra Lampung ditulis dalam aksara Lampung, yang di daerah Tulangbawang disebut had Lappung. Dalam perkembangannya kemudian sastra Lampung juga dituliskan dalam aksara Latin. Manuskrip tetimbai Si Dayang Rindu, misalnya, tertulis dalam aksara Lampung. Namun, manuskrip Warahan Radin Jambat tertulis dalam aksara Latin. Jika dibandingkan dengan aksara Jawa, Makasar, Batak dan Rejang Bengkulu, maka aksara Lampung lebih mirip dengan aksara Rejang yang disebut juga aksara Rencong. Aksara Lampung ini sebenarnya adalah aksara yang dipakai oleh masyarakat di seluruh daerah Sumatera bagian selatan sebelum masuknya pengaruh aksara Arab-Melayu dan Latin. Orang tua-tua di daerah Sumatera Selatan kadangkala menyebut aksara ini surat ulu atau ada juga yang menyebutnya surat Ugan. Besar kemungkinan aksara ini sebagaimana dicatat oleh Walker berasal dari aksara India dari zaman Sriwijaya, yaitu aksara devanagari. Lengkapnya disebut dewdatt deva nagari, yaitu aksara India yang dianggap suci. Had Lappung yang dimaksud adalah aksara Lampung yang masih dipakai oleh orang Lampung sampai sekarang, yang merupakan perkembangan dari aksara Lampung yang lama yang sekarang sudah tidak dipakai lagi. Had Lappung baru telah dibakukan oleh Musyawarah Pemuka Adat Lampung pada tanggal 23 Februari 1985 di Bandarlampung. Had Lappung ini dikatakan wat siwow belas kelebai surat, yang artinya terdiri dari 19 ibu huruf. Di lingkungan masyarakat berdialek O sebagaimana berlaku di daerah Tulangbawang, had Lappung itu ada 20 kelabai, karena ditambah dengan satu huruf lagi yaitu berbunyi gha. Adapun abjad aksara Lampung sebanyak 20 huruf itu berbunyi ka ga nga pa ba ma ta dan na ca ja nya ya a la ra sa wa ha gha. Bagaimana dengan dugaan atau pendapat yang mengatakan bahwa sastra Lampung adalah sastra lisan, bukan sastra tulis, mengingat selalu ditampilkan dalam bentuk poetry reading (pembacaan puisi) atau sastra/teater tutur? Mengikuti uraian A. Teeuw di atas, pada dasarnya sastra Lampung adalah sastra tulis. Mengenai gejala poetry reading atau sastra/teater tutur, itu merupakan tampilan sastra Lampung sebagai seni pertunjukan. Artinya, sastra Lampung bukan sastra lisan, melainkan dituliskan terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan poetry reading. Poetry reading atau sastra/teater tutur ini agaknya merupakan suatu metode penyebaran sastra kepada masyarakat luas dan merupakan seni yang mandiri (otonom) di dalam sastra tradisional. Penyair tradisional (Lampung) bukan hanya menuangkan karya sastranya dalam wujud sastra tulis, tetapi juga menampilkannya dalam wujud seni pertunjukan (performing art). Dalam makalahnya "Identifikasi Kesenian Daerah Lampung" yang disampaikan dalam Sarasehan Kebudayaan Lampung dalam rangka memeriahkan Dies Natalis ke-22 dan Wisuda Sarjana Universitas Lampung pada 3 Oktober 1987, Dailami Zain dan Razi Arifin menulis, "Orang Lampung mengenal teater tutur yang tersebar di seluruh Lampung dengan namanya masing-masing. Teater tutur ialah bentuk teater tradisional yang menyampaikan atau memaparkan sastra lisan kepada penonton/pendengarnya. Cara penyampaiannya diungkapkan dengan nyanyian atau dituturkan lewat bahasa berirama (basi jobang, dang deria, warahan, macopat, sendirilik, lamut, pantun sunda). Teater tutur ini umumnya bersifat hiburan dan edukatif." (Vademikum Direktorat Kesenian, Jakarta, 1984). Definisi teater tutur di atas tidak sepenuhnya tepat bila dikaitkan dengan sastra Lampung. Meskipun dalam metode penyebarannya sastra Lampung dituturkan, sastra Lampung bukanlah sastra lisan, melainkan sastra tulis. Baru kemudian sastra tulis itu dituturkan. Bahwa terdapat juga penyair Lampung yang tidak pernah menuliskan karyanya melainkan menghafalnya dan kemudian menuturkannya seperti terjadi pada Masnuna, hal tersebut bersifat kasuistis; bukan jenis umum dari sastra Lampung klasik yang berupa sastra tulis. Tradisi tulis yang dilakukan oleh para sastrawan Lampung klasik pada zaman dulu, sehingga membuahkan sastra tulis, adalah sesuatu yang sudah tepat pada jalurnya (on the track). Ke depan, tradisi tulis dalam sastra Lampung klasik mesti tetap dipertahankan karena akan sangat membantu dalam penyelamatan (konservasi) sastra Lampung klasik. Bagaimanapun juga, sastra tulis lebih praktis dan lebih awet. Nama teater tutur orang Lampung antara lain ringget, ngadio, pisaan, wawancan, kitapun, warahan, bandung, tangis, dan mardinei. Sejak sebelum memasuki pertengahan abad ke-17, masyarakat Lampung kuno telah mengenal seni pertunjukan sastra. Misalnya dalam acara jaga damar, yaitu acara muda-mudi di suatu perhelatan perkawinan. Muda-muda saling menawarkan antara yang satu dan yang lainnya untuk menerka teka-teki lewat pantun-pantun, di samping untuk tujuan-tujuan tertentu. Juga dalam musyawarah para pemuka masyarakat adat yang kerap menggunakan kata sindiran dengan pepatah yang diungkap dengan kata-kata indah dan mengandung arti yang mendalam. Konon pula, seni pertunjukan Warahan Radin Jambat bisa memakan waktu bermalam-malam disebabkan begitu panjangnya cerita yang dituturkan. Gejala yang sama juga terjadi pada sastra modern, di mana sastra modern berlaku dalam rangka tradisional yakni sastra sebagai seni pertunjukan (performing art). Iwan Nurdaya-Djafar, budayawan  Suka · Komentari · Bagikan Bambang Suroboyo, Wahyu Heriyadi, Artha Dinata Ar dan 5 lainnya menyukai ini. Hutasuhut Budi Pandangan yang mengatakan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra lisan mencerminkan sikap bias, ketidakjelian sekaligus kerancuan di dalam mengklasifikasikan sastra Lampung klas...Lihat Selengkapnya 27 Januari 2011 pukul 18:46 Ayu Siecwekjutex Nagnarmada mnta tlong krimkan di dinding sy yg mmbhas tentang membaca puisi menggunakan metode oral reading 14 Maret pukul 19:50 Facebook © 2012 · Bahasa Indonesia Seluler · Cari Teman · Lencana · Orang · Halaman · Tentang · Buat Iklan · Buat Halaman · Pengembang · Karier · Privasi · Kuki · Ketentuan · Bantuan

Gong Berusia Ratusan Tahun Peninggalan Leluhur

Gong Berusia Ratusan Tahun Peninggalan Leluhur ImageKabupaten Lampung Barat (Lambar) menyimpan banyak sejarah budaya, di antaranya, Tetawak (Gong) yang usianya sudah mencapai ratusan tahun. Dahulu Tetawak digunakan untuk membangunkan masyarakat untuk sahur dan sholat. Menurut Bustoni (66), pemilik Tetawak di Pekon (Desa) Hujung, Kecamatan Belalau, Gong ini telah berumur sekitar tiga abad, dulu Tetawak digunakan masyarakat sebagai alat untuk membangunkan sahur, selain itu Tetawak dipakai juga sebagai alat untuk seni Bethetah yaitu acara adat kerajaan. Di katakannya, kondisi Tetawak masih dalam keadaan baik dan terawat, karena benda ini salah satu peninggalan nenek moyang yang harus dijaga dan dipelihara. Tetapi Seiring perkembangan zaman yang kian maju, peralatan ini tidak dipergunakan lagi, karena sudah di ganti dengan peralatan yang lebih canggih seperti pengeras suara, “ sangat disayangkan ke khasan dari perakatan musik ini terkesan di tinggalkan,” terangnya Bustoni menjelaskan, Pemerintah Kabupaten setempat seharusnya mendata barang kuno yang masih bertahan. Setidaknya Lambar mempunyai dokumen yang syah guna menginventarisi benda cagar budaya yang masih ada di masyarakat. “ Dan takutnya benda kuno tersebut dijual oleh pemilik pada kolektor,” kata Bustoni. Masih kata Bustoni, di daerah ini masih banyak ditemukan masyarakat yang menyimpan benda kuno, sayangnya tidak ada wadah khusus untuk memajang benda cagar budaya, seharusnya ini menjadi perhatian serius oleh pemkab, kalau dibiarkan saja maka diyakini benda antik tersebut berlahan akan hilang tak berkesan. Keunikan budaya yang dimiliki Lambar sangat beragam, keunikan ini menjadi daya tarik bagi daerah ini untuk menjual aset budaya pada wisatawan untuk berkunjung. Kehidupan masa lalu masyarakat Lampung masih tergambar hingga saat ini, semua itu bisa disimpulkan bahwa masyarakat disini dulu telah menyatu dengan kehidupan alam juga budaya yang kental, semua tergambar dengan bentuk ornamen rumah juga peralatan yang hingga saat ini masih ada. Barang kuno yang disimpan masyarakat didaerah ini salah satunya Tetawak (Gong) yang kini berusia sekitar tiga abad tahun, dahulu Tetawak digunakan masyarkat untuk membangunkan masyarakat melakukan sahur juga sholat. Tetawak memilki diameter 35 Centimeter, kondisinya cukup terawat, tetawak kuno ini terbuat dari bahan logam campuran sehingga membuat barang antik ini awet. “ Oleh karena itu Peninggalan barang kuno ini selayaknya menjadi perhatian dari semua pihak, kali ini Pemkab Lambar, agar benda ini tetap terjaga,” kata dia Lampung Barat memiliki luas daerah yang potensial untuk di kembangkan menjadi daerah tujuan wisata baik Nasional dan Internasional. Daerah ini memiliki begitu banyak keindahan yang mampu memberikan kenyamanan juga pendidikan, sebab didalam potensi itu, menyimpan sejuta cerita sejarah yang dapat memberikan kontribusi ilmu pada pengunjung. Cerita sejarah yang ada di Lampung Barat, menjadi cerita turun temurun bagi masyarakat asli daerah ini, seperti legenda si pahit lida, naga danau, patih gajah mada, kerajaan skala brak, dan masih banyak lagi cerita dan peninggalan sejarah yang mampu memberikan pengetahuan pada masyarakat. < Prev Next >

Sejarah Asli "Gamolan Lampung"

Minggu, 18 Desember 2011 Sejarah Asli "Gamolan Lampung" Oleh: Diandra Natakembahang* Dimuat di Lampung Post edisi 18 Desember 2011 dengan tajuk "Meluruskan Sejarah Gamolan" Menilik Gamolan sebagai sebuah instrumen musik tidak dapat dipisahkan dari perjalanan panjang Peradaban Sekala Brak sebagai salah satu produk budaya dari Peradaban Sekala Brak Kuno. Gamolan sebagai sebuah instrumen musik telah menyertai Peradaban Sekala Brak sampai saat ini dalam aspek Seni dan Tradisi. Gamolan Lampung telah diteliti oleh Prof Margaret J Kartomi dan dicantumkan dalam bukunya “Musical Instruments of Indonesia” yang diterbitkan oleh Indonesian Art Society Association With The Department of Music Monash University, 1985. Prof Margaret J Kartomi adalah seorang Profesor Musik dari Monash University Australia yang telah menggeluti musik Gamelan selama lebih dari 30 tahun, Ia datang ke Lampung Barat medio 1982. Dalam bukunya Prof Margaret menyebutkan bahwa Gamolan berasal dari Liwa daerah pegunungan dibagian barat Lampung, “A Gamolan origin from Liwa in the montainous nortwest area of Lampung”. Hipotesa yang menyatakan bahwa seperangkat Orkestra Gamelan Jawa adalah berasal dan merupakan pengembangan dan perkembangan dari Gamolan Lampung juga sangat kuat dan mempunyai alur yang jelas. Setidaknya ada tiga hal yang menguatkan hipotesa ini, yang pertama adalah bahwa hal yang relatif sederhana adalah merupakan Peradaban awal dan adalah permulaan dari pengembangan hal yang lebih rumit dan kompleks [H. Stewart], yang kedua secara etimologi dalam konteks nama relatif tidak berubah dari Gamolan [Lampung] menjadi Gamelan [Jawa], yang ketiga Gamolan Lampung dibawa ke Pulau Jawa dan bermetamorfosa sedemikian rupa menjadi seperangkat Orkestra Gamelan Jawa, Gamolan Lampung dibawa kepulau Jawa saat Sriwijaya menguasai Nusantara termasuk Jawa. Gamolan Lampung terpahat dalam relief di Candi Borobudur [Abad ke 8 M], Candi Borobudur sendiri dibangun oleh Dinasti Syailendra Sriwijaya, sekelompok orang yang membuat Candi Borobudur juga adalah orang Lampung [Hasyimkan, 2011]. Sriwijaya sebagai sebuah Kerajaan Maritim terbesar diAsia Tenggara mempunyai perjalanan Sejarah yang panjang dan pertautan yang sangat erat dengan Sekala Brak Kuno. Kerajaan Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jaya Naga seorang Raja Budhist dari Ranau Sekala Brak, Pendiri Sriwijaya ini dijuluki Syailendravarmsa atau Raja Pegunungan, hal ini didukung oleh pendapat para ahli dan Sejarawan sebagaimana yang diungkapkan oleh Lawrence Palmer Briggs dalam “The Origin of Syailendra Dinasty” Journal of American Oriental Society Vol 70, 1950, Lawrence menyatakan bahwa “Sebelum Tahun 683 Masehi Ibu Negeri Sriwijaya terletak didaerah pegunungan agak jauh dari Palembang, tempat itu dipayungi oleh dua Gunung dan dilatari oleh sebuah Danau. Itulah sebabnya Syailendra dan Keluarganya disebut Raja Pegunungan”, jelas bahwa dua Gunung yang dimaksud oleh Lawrence adalah Gunung Pesagi dan Gunung Seminung, sementara Danau yang dimaksud adalah Danau Ranau. Setelah perpindahan dari Sekala Brak, Sriwijaya setidaknya tiga kali berpindah Ibu Negeri yaitu Minanga Komering, Palembang dan Darmasraya Jambi, namun demikian para Sejarawan juga ada yang berpendapat bahwa Patthani diselatan Thailand adalah Ibu Negeri Terakhir Sriwijaya. Secara etimologi Gamolan berasal dari kata Gimol yang artinya Gemuruh atau Getar yang berasal dari suara bambu dan menjadi Gamolan yang artinya Bergemuruhan atau Bergetaran, sementara Begamol artinya Berkumpul [Wirda Puspanegara, Paksi Bejalan Di Way Sekala Brak]. Gamolan pada awalnya merupakan instrumen tunggal yang konon dimainkan dan yang menemani seorang Mekhanai Tuha atau Bujang Lapuk, yang menetak Pekhing Mati Temeggi atau tunggul bambu tua tegak yang sudah lama mati [Syapril Yamin, Paksi Bejalan Di Way Sekala Brak]. Gamolan yang merupakan instrumen xilophone yang berasal dari Sekala Brak ini, dideskripsikan oleh Prof Margaret J Kartomi dalam “Musical Instruments of Indonesia” sebagai berikut, Gamolan terdiri dari delapan lempengan bambu dan memiliki kisaran nada lebih dari satu oktaf, lempengan bambu tersebut diikat secara bersambung dengan tali rotan yang disusupkan melalui sebuah lubang yang ada disetiap lempengan dan disimpul dibagian teratas lempeng, penyangga yang tergantung bebas diatas wadah kayu memberikan resonansi ketika lempeng bambunya dipukul oleh sepasang tongkat kayu, Gamolan memiliki tangga nada 1 2 3 5 6 7, dua orang pemain duduk dibelakang alat musik ini salah satu dari mereka memimpin [Begamol] memainkan pola pola melodis pada enam lempeng, dan yang satunya [Gelitak] mengikutinya pada dua lempeng sisanya, lempeng lempeng pada Gamolan distem dengan cara menyerut punggung bambu agar berbentuk cekung, Gamolan dimainkan bersamasama dengan sepasang gong [Tala], drum yang kedua ujungnya bisa dipukul [Gindang] dan sepasang simbal kuningan [Rujih]. Pergeseran istilah instrumen musik ini dari Gamolan menjadi Cetik, konon karena tampilan suara yang dihasilkan oleh Gamolan sehingga akhirnya Gamolan juga dijuluki sebagai Cetik. Pergeseran istilah ini terjadi pada sekitar medio tahun 90an, demikianlah penyebutan Gamolan menjadi Cetik akhirnya menjadi lumrah dan menjadi sebutan yang umum bagi Gamolan bahkan dalam penulisan sekalipun seperti dalam penulisan Buku Pelajaran Muatan Lokal untuk Provinsi Lampung, namun demikian beberapa Peneliti dari Taman Budaya Provinsi Lampung menyebut instrumen musik ini sebagai Kulintang. Demikianlah dinamika Gamolan dalam istilah dan penyebutan, karenanya Penulis sepakat untuk kembali menyebut Gamolan, bagi instrumen musik ini karena terkait dengan sejarah panjang serta fungsi dan peranan Gamolan dalam tradisi Masyarakat Adat Sekala Brak sebagai origin dari Gamolan Lampung. Penulis agak kaget manakala mengetahui bahwa Way Kanan juga adalah daerah asal dari Gamolan, walaupun di Lampung, Gamolan sebagai instrumen musik juga digunakan sebagai Piranti Adat di Semaka dan Way Kanan. Belum jelas seperti apa tepatnya informasi yang menyatakan bahwa Way Kanan juga merupakan origin dari Gamolan Pekhing ini, namun sepertinya alasan politis dan kepentingan lebih berperan disini. Walaupun sebagian besar Etnis Lampung dari berbagai Buway dan Marga dari setiap Konfederasi Adat memiliki Tambo Sejarahnya masing masing dan mengakui bahwa Puyang Ulun Lampung berasal dari dataran tinggi Sekala Brak dikaki Gunung Pesagi. Namun demikian tidak ada “Origin Bersama” dari sebuah Produk Kebudayaan, Keris misalnya walaupun telah menjadi salah satu Produk Kebudayaan besar Nusantara dan telah menjadi Produk Budaya dan Tradisi bukan saja Jawa tapi juga Bali, Sasak, Sunda, Bugis bahkan Melayu namun tidak dapat dipungkiri bahwa Keris adalah produk dari Kebudayaan Jawa yang merupakan daerah originnya. Demikianlah apapun dan bagaimanapun dinamika dari sebuah Kebudayaan, namun Sejarah dan Istilah harus diluruskan karena berkaitan dengan Tradisi, Falsafah dan perjalanan panjang Sejarah dan Peradaban dari sebuah Suku Bangsa. *Kerabat Lamban Bandung Paksi Bejalan Di Way Sekala Brak Tinggal di Bandar Lampung Diposkan oleh SALIWA di 04:24 Label: KEPEMUDAAN 2 komentar: Anonim18 April 2012 18:09 memberikan apresiasi thd blog ini, sangat jarang pemuda lampung kita yng masih konsen terhadap akar budaya dan sejarah nenek moyangnya. saran : terus eksis peduli terhadap budaya lampung, akan lebih baik lagi jika mengupas adat budaya lampung secara lebih luas , Balas SALIWA18 April 2012 19:09 insya Alloh blog ini berusaha menuju kearah yg terbaik, tentunya seiring kritik, saran, masukan share data dari khalayak semua,, Usaha ini hanya sekedar membuka tabir yang tersingkap,, selanjutnya menjadi pertimbangan masing2 individu untuk menindaklanjutinya secara lebih ilmiah,,, Balas

Prasasti-pasasti Lampung

Prasasti-pasasti Lampung oleh Lampung Communications pada 20 Januari 2011 pukul 21:36 · Dalam penelitian arkeologi dan sejarah, prasati sering berperan sebagai sumber sezaman yang amat penting. Karena memberikan sejumlah informasi mengenai aspek-aspek kehidupan masyarakat lampau. Dari daerah Lampung, sampai saat ini sedikitnya telah ditemukan 8 prasasti yang berasal dari zaman Hindu-Budha, meliputi kurun waktu abad ke 7 sampai 15 Masehi. Kedelapan prasasti tersebut adalah: 1. Prasasti Palas Pasemah (akhir abad ke 7) Prasasti ini telah diketahui keberadaannya pada tahun 1958, di Desa Palas Pasemah dekat Kalianda Kabupaten Lampung Selatan. Prasasti ini ditulis dalam 13 baris, berhuruf Pallawa dan Bahasa Melayu Kuno. Isinya hampir sama dengan isi prasasti Karang Brahi dari Daerah Jambi, Prasasti Kota Kapur dari Bangka dan Prasasti Bungkuk dari Daerah Lampung Timur, yang berisi kutukan yang tidak patuh dan tunduk kepada penguasa Sriwijaya. Prasasti ini tidak berangka tahun, namun berdasarkan Paleografinya dapat pada akhir abad ke 7. 2. Prasasti Bungkuk (akhir abad ke 7) Ditemukan pada tahun 1985, di Desa Bungkuk, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur. Prasasti ini seluruhnya terdiri dari 12 dan 13 baris tulisan berhuruf Pallawa dan Melayu Kuno. Keadaannya sudah sangat aus dan rusak, beberapa baris pertama dan terakhir tidak dapat dibaca sama sekali. Dari baris-baris yang dapat dibaca isinya berupa kutukan yang sama dengan yang terdapat pada prasasti Palas Pasemah. Prasasti Karang Brahi dan Prasasti Kota Kapur merupakan Prasasti Sriwijaya dari akhir abad ke 7. 3. Prasasti Batu Bedil (akhir abad ke 9 atau 10) Prasasti ini di temukan di Desa Batu Bedil Kecamatan Pulau Punggung Kabupaten Tanggamus. Prasasti dipahatkan pada sebuah batu berukuran tinggi 175 cm, lebar 60 cm, dan tebal 45 cm, sebanyak 10 baris dengan huruf Jawa Kuno akhir abad ke 9 atau awal abad ke 10, berbahasa Sansekerta. Prasasti ditulis dengan huruf berukuran cukup besar (tinggi huruf sekitar 5 cm), namun karena batunya sangat using, terutama di bagian tengah maka tidak seluruhnya dapat dibaca. Dari beberapa baris yang dapat diketahui dapat diketahui isinya merupakan semacam doa-doa yang bersifat Budhis. 4. Prasasti Hujunglangit/Bawang (akhir abad ke 10) Prasasti ini terdapat di Desa Hanakau, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat. Penemuan pertama kali dilaporkan oleh petugas dinas Topografi yang mengadakan pemetaan pada tahun 1912. Oleh Tim Epigrafi Dunia Purbakala, prasasti ini disebut juga prasasti Bawang, karena tempat penemuannya berada di wilayah Bawang. Prasati ini disebut juga Prasasti Hujunglangit yaitu berdasarkan nama tempat yang disebutkan di dalam prasasti tersebut. Batu prasasti berbentuk menyerupai kerucut dengan ukuran tinggi dari permukaan tanah 160 cm, lebar bawah 65 cm, lebar atas 25 cm. Bagian yang ditulisi prasasti permukaannya hampir rata, terdiri dari 18 baris tulisan dengan huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno. Dari akhir abad ke 10, prasasti ini sudah aus dan tulisannya sangat tipis sehingga sulit untuk pembacaan yang menyeluruh. Berdasarkan asalnya, kata Sa – tanah dan sahutan dengan nama tempat Hujunglangit, dapat member petunjuk bahwa prasasti berkaitan dengan penetapan suatu daerah menjadi sima, daerah perdikan, seperti yang terdapat pada prasasti-prasasti yang ada di zaman Hindu-Budha. Penetapan suatu daerah menjadi sima, umumnya berkenaan dengan adanya suatu bangunan suci yang terdapat di suatu daerah. Di atas bidang yang tertuilis ada gambar pisau belati, ujung belati menghadap ke kanan. Gambar pisau belati ini serupa dengan belati tinggalan kerajaan Pagaruyung yang diberi nama Si Madang Sari. Menurut dinamis, belati dari Pagaruyung ini dibuat pada abad XIV M, jadi sekitar 300 tahun lebih muda dari prasasti Hujunglangit. Relief pisau dijumpai pula pada Candi Panataran, yang bentuknya serupa dengan belati Si Madang Sari. 5. Prasasti Tanjung Raya I (sekitar abad ke 10) Batu tertulis berbentuk lonjong berukuran panjang 237 cm, lebar di bagian tengah 180 cm dan tebal 45 cm. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1970 di Desa Tanjung Raya I, Kecamatan Sukau Lampung Barat. Prasasti dituliskan pada bagian permukaan batu yang keadaannya sudah aus dan rusak, terdiri dari 8 baris dan sulit dibaca namun masih dapat dikenal sebagai huruf Jawa Kuno dari abad ke 10. Pada bagian atas terdapat sebuah gambar berupa sebuah bejana dengan tepian yang melengkung keluar sehelai daun. Mengingat sulitnya pembacaan prasasti ini maka isinya belum diketahui. 6. Prasasti Ulubelu (abad ke 14) Prasasti dipahatkan pada sebuah batu kecil berukuran 36 x 12,5 cm, terdapat 6 baris tulisan dengan huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ditemukan di Ulebelu, Rebang Pugung, Kabupaten Tanggamus pada tahun 1934. Sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Keadaan prasasti sudah tidak utuh, bagian ujung kiri dan kanan telah patah sehingga beberapa kata dan huruf sebagian hilang. Isinya berkenaan dengan pemujaan terhadap Trimurti (Batara Guru, Batara Brahma, Batara Wisnu). Diperkirakan berasal dari abad ke 14 M. 7. Prasasti Angka Tahun (abad ke 14) Pada tahun 1993 ketika diadakan eskavasi di Desa Pugung Raharjo, Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur ditemukan sebuah prasasti Angka Tahun yang dipahatkan pada sepotong batu tufa berbentuk balok. Prasasti ditulis dengan angka Jawa Kuno, menunjuk pada tahun Saka 1247 (1325 M). 8. Prasasti Dadak/Bataran Guru Tuha (abad ke 15) Prasasti ditemukan di Dusun Dadak, Desa Tebing, Kecamatan Perwakilan Melintang, Lampung Timur pada tahun 1994. Prasasti ditulis dalam 14 baris tulisan, disamping terdapat pula tulisan-tulisan singkat dan gambar-gambar yang digoreskan memenuhi seluruh permukaan batunya yang berbentuk seperti balok berukuran 42 cm x 11 cm x 9 cm. Tulisan yang digunakan mirip dengan tulisan Jawa Kuno akhir dari abad ke 15 dengan Bahasa Melayu yang tidak terlalu Kuno (Bahasa Melayu Madya). Suka · Komentari · Bagikan Joni Sepriyan menyukai ini. 1 berbagi Fachruddin Dani makasih infonya Gan. 30 Oktober 2011 pukul 3:12 · 1 Lampung Communications Fachruddin Dani@ Sama-sama... 30 Oktober 2011 pukul 4:33 Eka Yulistiana koq 8 ?? 3 November 2011 pukul 21:54 Lampung Communications Eka Yulistiana@ Emang hitungannya ada delapan. 11 November 2011 pukul 7:40 · 1 Guntur Outsiders maakasih infonya 17 Januari pukul 3:02 · 1 Facebook © 2012 · Bahasa Indonesia Seluler · Cari Teman · Lencana · Orang · Halaman · Tentang · Buat Iklan · Buat Halaman · Pengembang · Karier · Privasi · Kuki · Ketentuan · Bantuan

Asal Muasal Masyarakat Lampung

14 September 2010 Asal Muasal Masyarakat Lampung Asal usul bangsa Lampung adalah dari Sekala Brak yaitu sebuah Kerajaan yang letaknya di dataran Belalau, sebelah selatan Danau Ranau yang secara administratif kini berada di Kabupaten Lampung Barat. Dari dataran Sekala Brak inilah bangsa Lampung menyebar ke setiap penjuru dengan mengikuti aliran Way atau sungai-sungai yaitu Way Komring, Way Kanan, Way Semangka, Way Seputih, Way Sekampung dan Way Tulang Bawang beserta anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten. Sekala Brak memiliki makna yang dalam dan sangat penting bagi bangsa Lampung. Ia melambangkan peradaban, kebudayaan dan eksistensi Lampung itu sendiri. Bukti tentang kemasyuran kerajaan Sekala Brak didapat dari cerita turun temurun yang disebut warahan, warisan kebudayaan, adat istiadat, keahlian serta benda dan situs seperti tambo dan dalung seperti yang terdapat di Kenali, Batu Brak dan Sukau. Kata LAMPUNG sendiri berawal dari kata Anjak Lambung yang berarti berasal dari ketinggian ini karena para puyang Bangsa Lampung pertama kali bermukim menempati dataran tinggi Sekala Brak di lereng Gunung Pesagi. Dilereng Gunung Pesagi didapati situs seperti batu batu bekas Negeri atau Pekon kuno, tapak bekas kaki, pelataran peradilan dan tempat eksekusi, serta Prasasti yang terpahat pada batuan. Dari sebuah batu yang bertarikh 966 Caka yang terdapat di Bunuk Tenuar Liwa, ternyata telah ada suku bangsa yang beragama Hindu telah menjadi penghuni didataran Lampung. Didalam rimba rimba ditemukan parit parit dan jalan jalan bekas Zaman Hindu bahkan pada perkebunan tebu terdapat batu batu persegi dan diantaranya didapat batuan berukir yang merupakan puing candi. Tafsiran para ahli purbakala seperti Groenevelt, L.C.Westernenk dan Hellfich didalam menghubungkan bukti bukti memiliki pendapat yang berbeda beda namun secara garis besar didapat benang merah kesamaan dan acuan yang tidak diragukan didalam menganalisa bahwa Sekala Brak merupakan cikal bakal bangsa Lampung. Dalam catatan Kitab Tiongkok kuno yang disalin oleh Groenevelt kedalam bahasa Inggris bahwa antara tahun 454 dan 464 Masehi disebutkan kisah sebuah Kerajaan Kendali yang terletak diantara pulau Jawa dan Kamboja. menurut catatan kitab, masyarakat Kendali ini mempunyai adat istiadat yang sama dengan bangsa Siam dan Kamboja. Baginda dari Kendali-Sapanalanlinda mengirimkan seorang utusan yang bernama Taruda ke negeri Tiongkok dengan membawa hadiah emas dan perak, utusan yang demikian dikirim berturut turut hingga abad ke enam. Menurut L.C. Westenenk nama Kendali ini dapat kita hubungkan dengan Kenali ibukota kecamatan Belalau sekarang. Nama Sapalananlinda itu menurut kupasan dari beberapa ahli sejarah, dikarenakan berhubung lidah bangsa Tiongkok tidak fasih melafaskan kata Sribaginda, ini berarti Sapanalanlinda bukanlah suatu nama. Berdasarkan Warahan dan Sejarah yang disusun didalam Tambo, dataran Sekala Brak tersebut pada awalnya dihuni oleh suku bangsa Tumi yang menganut faham animisme. Suku bangsa ini mengagungkan sebuah pohon yang bernama Belasa Kepampang atau nangka bercabang karena pohonnya memiliki dua cabang besar, yang satunya nangka dan satunya lagi adalah sebukau yaitu sejenis kayu yang bergetah. Keistimewaan Belasa Kepampang ini bila terkena cabang kayu sebukau akan dapat menimbulkan penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya, namun jika terkena getah cabang nangka penyakit tersebut dapat disembuhkan. Karena keanehan inilah maka Belasa Kepampang ini diagungkan oleh suku bangsa Tumi. Diriwayatkan didalam Tambo empat orang Putera Raja Pagaruyung tiba di Sekala Brak untuk menyebarkan agama Islam. Fase ini merupakan bagian terpenting dari eksistensi masyarakat Lampung. Keempat Putera Raja ini masing masing adalah: 1. Umpu Bejalan Di Way 2. Umpu Belunguh. 3. Umpu Nyerupa. 4. Umpu Pernong. Umpu berasal dari kata Ampu seperti yang tertulis pada batu tulis di Pagaruyung yang bertarikh 1358 A.D. Ampu Tuan adalah sebutan Bagi anak Raja Raja Pagaruyung Minangkabau. Setibanya di Skala Brak keempat Umpu bertemu dengan seorang Muli yang ikut menyertai para Umpu dia adalah Si Bulan. Di Sekala Brak keempat Umpu tersebut mendirikan suatu perserikatan yang dinamai Paksi Pak yang berarti Empat Serangkai atau Empat Sepakat. Setelah perserikatan ini cukup kuat maka suku bangsa Tumi dapat ditaklukkan dan sejak itu berkembanglah agama Islam di Sekala Brak. Sedangkan penduduk yang belum memeluk agama Islam melarikan diri ke Pesisir Krui dan terus menyeberang ke pulau Jawa dan sebagian lagi ke daerah Palembang. Dataran Sekala Brak yang telah dikuasai oleh keempat Umpu yang disertai Si Bulan, maka Sekala Brak kemudian diperintah oleh keempat Umpu dengan menggunakan nama PAKSI PAK SEKALA BRAK. Inilah cikal bakal Kerajaan Sekala Brak yang merupakan puyang bangsa Lampung. Kerajaan Sekala Brak mereka bagi menjadi empat Marga atau Kebuayan yaitu: 1. Umpu Bejalan Di Way memerintah daerah Kembahang dan Balik Bukit dengan Ibu Negeri Puncak, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Bejalan Di Way. 2. Umpu Belunguh memerintah daerah Belalau dengan Ibu Negerinya Kenali, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Belunguh. 3. Umpu Nyerupa memerintah daerah Sukau dengan Ibu Negeri Tapak Siring, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Nyerupa 4. Umpu Pernong memerintah daerah Batu Brak dengan Ibu Negeri Hanibung, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Pernong. Sedangkan Si Bulan mendapatkan daerah Cenggiring namun kemudian Si Bulan berangkat dari Sekala Brak menuju kearah matahari hidup. Dan daerah pembagiannya digabungkan ke daerah Paksi Buay Pernong karena letaknya yang berdekatan. Suku bangsa Tumi yang lari kedaerah Pesisir Krui menempati marga marga Punggawa Lima yaitu Marga Pidada, Marga Bandar, Marga Laai dan Marga Way Sindi namun kemudian dapat ditaklukkan oleh Lemia Ralang Pantang yang datang dari daerah Danau Ranau dengan bantuan lima orang punggawa dari Paksi Pak Sekala Brak. Dari kelima orang punggawa inilah nama daerah ini disebut dengan Punggawa Lima karena kelima punggawa ini hidup menetap pada daerah yang telah ditaklukkannya. Agar syiar agama Islam tidak mendapatkan hambatan maka pohon Belasa Kepampang itu akhirnya ditebang untuk kemudian dibuat PEPADUN. Pepadun adalah singgasana yang hanya dapat digunakan atau diduduki pada saat penobatan SAIBATIN Raja Raja dari Paksi Pak Sekala Brak serta keturunan keturunannya. Dengan ditebangnya pohon Belasa Kepampang ini merupakan pertanda jatuhnya kekuasaan suku bangsa Tumi sekaligus hilangnya faham animisme di kerajaan Sekala Brak. Sekitar awal abad ke 9 Masehi para Saibatin Raja Raja di Sekala Brak menciptakan aksara dan angka tersendiri sebagai Aksara Lampung yang dikenal dengan Had Lampung. Ada dua makna didalam mengartikan kata Pepadun, yaitu: 1. Dimaknakan sebagai PAPADUN yang maksudnya untuk memadukan pengesahan atau pengakuan untuk mentahbiskan bahwa yang duduk diatasnya adalah Raja. 2. Dimaknakan sebagai PAADUAN yang berarti tempat mengadukan suatu hal ihwal. Maka jelaslah bahwa mereka yang duduk diatasnya adalah tempat orang mengadukan suatu hal atau yang berhak memberikan keputusan. Ini jelas bahwa fungsi Pepadun hanya diperuntukkan bagi Raja Raja yang memerintah di Sekala Brak. Atas mufakat dari keempat Paksi maka Pepadun tersebut dipercayakan kepada seseorang yang bernama Benyata untuk menyimpan, serta ditunjuk sebagai bendahara Pekon Luas, Paksi Buay Belunguh dan kepadanya diberikan gelar Raja secara turun temurun. Manakala salah seorang dari keempat Umpu dan keturunannya memerlukan Pepadun tersebut untuk menobatkan salah satu keturunannya maka Pepadun itu dapat diambil atau dipinjam yang setelah digunakan harus dikembalikan. Adanya bendahara yang dipercayakan kepada Benyata semata mata untuk menghindari perebutan atau perselisihan diantara keturunan keturunan Paksi Pak Sekala Brak dikemudian hari. Pada Tahun 1939 terjadi perselisihan diantara keturunan Benyata memperebutkan keturunan yang tertua atau yang berhak menyimpan Pepadun. Maka atas keputusan kerapatan adat dengan persetujuan Paksi Pak Sekala Brak dan Keresidenan, Pepadun tersebut disimpan dirumah keturunan yang lurus dari Umpu Belunguh hingga sekarang. Perpindahan Warga Negeri Sekala Brak Seperti yang telah diuraikan sebelumnya semua suku bangsa Lampung, baik yang berada di daerah Lampung, Palembang, dan Pantai Banten berpengakuan berasal dari Sekala Brak. Perpindahan Warga Negeri Sekala Brak ini bukannya sekaligus melainkan bertahap dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh beberapa peristiwa penting didalam sejarah seperti: 1. Ketika suku bangsa Tumi yang mendiami Sekala Brak terusir dan Skala Brak jatuh ketangan Paksi Pak Sekala Brak, hingga mereka menyebar kedaerah lain. 2. Perselisihan dan silang sengketa dikalangan keluarga yang mengakibatkan satu fihak meninggalkan Sekala Brak untuk mencari penghidupan ditempat lain. 3. Adanya bencana alam berupa gempa bumi yang memaksa sebagian Warga Negeri Sekala Brak untuk berpindah dan mencari penghidupan yang baru. 4. Adanya hubungan yang erat antara Kesultanan Banten dan Kebuayan Belunguh -Kenali, dimana dengan sengaja ditinggalkan disepanjang jalan beberapa orang suami istri untuk meluaskan daerah dan memudahkan perjalanan pulang pergi ke Banten. Sehingga berabad kemudian ditempat itu berdiri Pekon Pekon bahkan banyak yang sudah menjadi Marga. Hubungan inilah yang merupakan asal dari Cikoneng Pak Pekon di Pantai Banten. 5. Perpindahan juga terjadi disebabkan peraturan adat yang mengikat yang menetapkan semua hak hak adat jatuh atau diwarisi oleh Putera Tertua, sehingga anak anak yang muda dipastikan tidak sepenuhnya memiliki hak apalagi kedudukan tertentu didalam adat. Dengan cara memilih untuk pindah kedaerah yang baru maka dapat dipastikan mereka memiliki kedudukan dan tingkatan didalam adat yang mereka bentuk sendiri ditempat yang baru. Perpindahan penduduk dari Sekala Brak ini sebagian mengikuti aliran Way Komring yang dikepalai oleh Pangeran Tongkok Podang, untuk seterusnya beranak pinak dan mendirikan Pekon atau Negeri. Kesatuan dari Pekon Pekon ini kemudian menjadi Marga Atau Buay yang diperintah oleh seorang Raja atau Saibatin didaerah Komring –Palembang. Sebagian kelompok lagi pergi kearah Muara Dua, kemudian menuju keselatan menyusuri aliran Way Umpu hingga sampai di Bumi Agung. Kelompok ini terus berkembang dan kemudian dikenal dengan Lampung Daya atau Lampung Komring yang menempati daerah Marta Pura dan Muara Dua di Komring Ulu, serta daerah Kayu Agung dan Tanjung Raja atau Komring Ilir. Kelompok yang lain yang dipimpin oleh Puyang Rakian dan Puyang Nayan Sakti menuju ke Pesisir Krui dan menempati Pesisir Krui mulai dari Bandar Agung di selatan pesisir hingga Pugung Tampak dan Pulau Pisang di utara. Kelompok yang dipimpin oleh Puyang Naga Berisang dan Ratu Piekulun Siba menyusuri Way Kanan menuju ke Pakuan Ratu, Blambangan Umpu dan Sungkai Bunga Mayang di barat laut Lampung untuk meneruskan jurai dan keturunannya hingga meliputi sebagian utara dataran Lampung. Adipati Raja Ngandum memimpin kelompok yang menuju ke Pesisir Selatan Lampung Mengikuti aliran Way Semangka hingga kehilirnnya di Kubang Brak. Dari Kubang Brak sebagian rombongan ini terus menuju kearah Kota Agung, Talang Padang, Way Lima hingga ke selatan Lampung di Teluk Betung, Kalianda dan Labuhan Maringgai. Daerah Pantai Banten yang merupakan daerah Cikoneng Pak Pekon adalah wilayah yang diberikan sebagai hadiah kepada Umpu Junjungan Sakti dari Kenali -Buay Belunguh setelah menumpas kerusuhan yang diakibatkan oleh Si Buyuh. Sebagian lagi yang dikepalai oleh Menang Pemuka yang bergelar Ratu Di Puncak menyusuri sepanjang Way Rarem, Way Tulang Bawang dan Way Sekampung. Menang Pemuka atau Ratu Di Puncak memiliki tiga orang istri, istri yang pertama. berputera Nunyai, dari istri kedua memiliki dua orang anak yaitu seorang putera yang diberi nama Unyi dan seorang puteri yang bernama Nuban, sedangkan dari istri ketiga yang berasal dari Minangkabau memiliki seorang putera yang bernama Bettan Subing. Jurai Ratu Di Puncak inilah yang menurunkan orang Abung dan Tulang Bawang. Ketetapan Adat Tentang Pepadun Seperti telah diterangkan terdahulu Pepadun dibuat dari Belasa Kepampang yang dibuat sedemikian rupa menjadi singgasana tempat bertahtanya Raja yang dinobatkan di Paksi Pak Sekala Brak. Ketetapan adat bahwa hanya keturunan yang lurus dan tersulung dari Paksi Pak Sekala Brak yang berhak untuk dapat duduk diatas Pepadun itu dalam gawi penobatan Raja sebagai Saibatin. Dengan demikian adat Pepadun seperti yang terdapat didaerah Lampung lainnya tidak seperti daerah asalnya di Sekala Brak. Pertimbangan untuk menaikkan atau menurunkan pangkat adat seseorang dilakukan dalam permufakatan sidang adat dengan memperhatikan kesetiaan seseorang kepada garis dan aturan adat. Jika seseorang dinilai telah memenuhi syarat dan mematuhi garis, ketentuan dan aturan adat, untuk seterusnya keturunannya dapat dipertimbangkan untuk dinaikkan setingkat pangkat adatnya. Namun jika yang terjadi sebaliknya kemungkinan untuk keturunannya pangkat adat itu tetap atau bahkan diturunkan. Pertimbangan yang kedua untuk menaikkan pangkat adat seseorang adalah dengan melihat jumlah bawahan dari seseorang yang akan dinaikkan pangkat adatnya. Seseorang yang yang menyandang pangkat adat atau Gelaran yang disebut ADOK harus memiliki bawahan yang berbanding dengan kedudukan pangkat adatnya. Tingkatan tertinggi dalam adat adalah Saibatin Suntan. Untuk dapat mencapai Gelaran atau Adok dan kedudukan atau pangkat adat ditentukan oleh berapa banyak bawahan atau pengikut dari seseorang. Bahwa seorang Raja membawahi seorang Batin, dan seorang Batin membawahi seorang Minak, seorang Minak membawahi dua orang Mas, setiap Mas membawahi dua orang Kemas dan setiap Kemas membawahi lima Lamban atau lima rumah/keluarga. Petutoghan atau panggilan dalam Masyarakat Adat Lampung adalah berdasarkan hirarki seseorang didalam adat. Untuk panggilan kakak adalah Pun dan Ghatu untuk Suntan, Atin untuk Raja, Udo Dang dan Cik Wo untuk Batin, Udo Ngah dan Cik Ngah untuk Radin, Udo dan Wo untuk Minak, Abang dan Ngah untuk Mas serta kakak untuk Kemas. Sedangkan panggilan untuk orang tua adalah Pak Dalom dan Ina Dalom untuk Suntan, Pak Batin dan Ina Batin untuk Raja, Tuan Tengah- dan Cik Tengah untuk Batin, Pak Balak dan Ina Balak untuk Radin, Pak Ngah dan Mak Ngah untuk Minak, Pak Lunik dan Ina Lunik untuk Mas serta Pak Cik dan Mak Cik untuk Kemas. Panggilan untuk kakek-nenek adalah Tamong Dalom dan Kajong Dalom untuk setingkat Suntan, Tamong Batin dan Kajong Batin untuk setingkat Raja dan Batin sedangkan untuk Radin, Minak, Mas dan Kemas menggunakan panggilan Tamong dan Kajong saja. Gelaran atau Adok -DALOM, SUNTAN, RAJA, RATU, panggilan seperti PUN dan SAIBATIN serta nama LAMBAN GEDUNG hanya diperuntukkan bagi Saibatin Raja dan keluarganya dan dilarang dipakai oleh orang lain. Dalam garis dan peraturan adat tidak terdapat kemungkinan untuk membeli Pangkat Adat, baik dengan Cakak Pepadun atau dengan cara cara lainnya terutama di dataran Skala Brak sebagai warisan resmi dari kerajaan Paksi Pak Sekala Brak. Tentang kepangkatan seseorang dalam adat tidaklah dapat dinilai dari materi dan kekuatan yang dapat menaikkan kedudukan seseorang didalam lingkungan adat, melainkan ditentukan oleh asal, akhlak dan banyaknya pengikut seseorang dalam lingkungan adat. Bilamana ketiganya terpenuhi maka kedudukan seseorang didalam adat tidak perlu dibeli dengan harta benda atau diminta dan akan dianugerahkan dengan sendirinya. Kesempatan untuk menaikkan kedudukan seseorang didalam adat dapat pula dilaksanakan pada acara Nayuh atau Pernikahan, Khitanan dan lain lain. Pengumuman untuk Kenaikan Pangkat ini, dilaksanakan dengan upacara yang lazim menurut adat diantara khalayak dengan penuh khidmat diiringi alunan bunyi Canang disertai bahasa Perwatin yang halus dan memiliki arti yang dalam. Bahasa Perwatin adalah ragam bahasa yang teratur, tersusun yang berkaitan dengan indah dan senantiasa memiliki makna yang anggun, ragam bahasa ini lazim digunakan dilingkungan adat dan terhadap orang yang dituakan atau dihormati. Sedangkan Bahasa Merwatin adalah ragam bahasa pasaran yang biasa digunakan sehari hari yang dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh bahasa bahasa lain. Prosesi kenaikan seseorang didalam adat dihadiri oleh Saibatin Raja atau Perwakilan yang ditunjuk beserta para Saibatin dan Pembesar lainnya. Dari rangkaian kata kata dalam bentuk syair dapat disimak ungkapan “Canang Sai Pungguk Ghayu Ya Mibogh Di Dunia Sapa Ngeliak Ya Nigham Sapa Nengis Ya Hila” Terjemahannya bebasnya bermakna “Bunyi Gong Laksana Suara Pungguk Yang Syahdu Merayu, Gemanya Terdengar Keseluruh Dunia, Siapa Yang Melihat Ia Terkesima Dan Rindu, Siapa Yang Mendengarnya Ia Akan Terharu”. Ini bermakna bahwa pengumuman kenaikan kedudukan seseorang didalam adat telah diumumkan secara resmi. Tentang adanya penggunaan Pepadun didaerah Lampung lainnya dimana kedudukan didalam adat itu dapat dibeli atau menaikkan kedudukan didalam adat dengan mengadakan Bimbang Besar. Cakak Pepadun diwilayah ini dapat dianalisa awal pelaksanaannya sebagai berikut –Warga Negeri yang memiliki hubungan genealogis dari salah satu Paksi Pak Skala Brak dan beberapa kelompok pendatang dari daerah lain yang menempati wilayah yang baru ini tentu jauh dari pengaruh Saibatin serta Garis, Peraturan, dan Ketentuan adat yang berlaku dan mengikat. Ditempat yang baru ini tentu dengan sendirinya harus ada Pemimpin dan Panutan yang ditaati oleh kelompok kelompok ditempat baru itu untuk membentuk suatu komunitas baru dan orang yang dipilih sebagai Pimpinan Komunitas ini dipastikan orang yang meiliki kekayaan dan kekuatan untuk dapat melindungi komunitasnya. Karenanya pada daerah Lampung tertentu dapat saja seseorang yang tidak memiliki trah bangsawan mengangkat dirinya menjadi pemimpin atau kepala adat dengan kompensasi tertentu. Cara cara pengangkatan diri ini mengambil contoh penobatan Saibatin Raja dari daerah asalnya Paksi Pak Sekala Brak, pada masa berikutnya peristiwa Cakak Pepadun telah menjadi kebiasaan dan diteruskan sampai sekarang. Diwilayah baru ini rupanya tidak ada larangan tentang Pangkat Adat dengan melihat kenyataan yang ada bahwa Gelaran Gelaran atau Adok yang Sakral dan dipegang teguh di Paksi Pak Sekala Brak ternyata bahkan menjadi suatu gelaran umum didaerah ini. Setelah soal naik Pepadun dengan tidak ada dasar ini menjadi suatu perlombaan yang hebat dikalangan khalayak, kesempatan ini digunakan oleh pasa penyimbang untuk mencari kekayaan dan setelah itu meningkat sedemikian rupa hingga mendatangkan kerugian yang besar bagi khalayak didalam mengadakan Bimbang Besar. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda dengan memfasilitasi tindakan tindakan kearah ini. Pada zaman imperialis hal ini dimanfaatkan oleh kaum imperialis dengan memecah belah Bangsa Lampung sehingga perbedaan yang ada digunakan sebagai umpan untuk memperuncing pertentangan diantara Bangsa Lampung sendiri terutama didalam Adat. Belanda menggantikan kedudukan Raja dengan kedudukan sebagai Pesirah. Bentuk pemerintahan yang tadinya dijalankan dalam tatanan kemurnian dan keluhuran Adat perlahan diarahkan untuk mengikuti kepentingan Belanda. Pembagian Wilayah Masyarakat Lampung hidup teratur dengan berpegang kepada norma dan adat perniti baik yang tertulis dalam huruf Lampung Kuno maupun secara lisan secara turun temurun. Kehidupan kemasyarakatan diatur dengan sistem kekerabatan yang bersifat Genealogis Patrilineal dimana pemerintahan dilakukan secara adat terutama yang mengatur sistem mata pencaharian hidup, sistem kekerabatan, kehidupan sosial dan budaya. Pembagian daerah dan wilayah berdasarkan daerah yang dialiri dan dilalui oleh sungai sungai atau way yang ada di Lampung. Pembagian ini dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan antar marga atau kebuayan. Pembagian wilayah ini diatur oleh Umpu Bejalan Di Way pada sekitar Abad ke VII M. A. Wilayah Kekuasaan Paksi Pak Sekala Brak: 1. Way Selalau 2. Way Belunguh 3. Way Kenali 4. Way Kamal 5. Way Kandang Besi 6. Way Semuong 7. Way Sukau 8. Way Ranau 9. Way Liwa 10. Way Krui 11. Way Semaka 12. Way Tutung 13. Way Jelai 14. Way Benawang 15. Way Ngarip 16. Way Wonosobo 17. Way Ilahan 18. Way Kawor Gading 19. Way Haru 20. Way Tanjung Kejang 21. Way Tanjung Setia B. Wilayah Kekuasaan Melinting: 1. Way Meringgai 2. Way Kalianda 3. Way Harong 4. Way Palas 5. Way Jabung 6. Way Tulung Pasik 7. Way Jepara 8. Way Kambas 9. Way Ketapang 10. Way Limau 11. Way Badak 12. Way Pertiwi 13. Way Putih Doh 14. Way Kedondong 15. Way Bandar Pasir 16. Way Punduh 17. Way Pidada 18. Way Batu Regak 19. Way Berak 20. Way Kelumbayan 21. Way Peniangan C. Wilayah Kekuasaan Pubiyan Telu Suku: 1. Way Pubiyan 2. Way Tebu 3. Way Ratai 4. Way Seputih 5. Way Balau 6. Way Penindingan 7. Way Semah 8. Way Salak Berak 9. Way Kupang Teba 10. Way Bulok 11. Way Latayan 12. Way Waya 13. Way Samang 14. Way Layap 15. Way Pengubuan 16. Way Sungi Sengok 17. Way Peraduan 18. Way Batu Betangkup 19. Way Selom 20. Way Heni. 21. Way Naningan D. Wilayah Kekuasaan Sungkay Bunga Mayang: 1. Way Sungkay 2. Way Malinai 3. Way Tapus 4. Way Tapus 5. Way Ulok Buntok 6. Way Tapal Badak 7. Way Kujau 8. Way Surang 9. Way Kistang 10. Way Raman Gunung 11. Way Rantau Tijang 12. Way Tulung Selasih 13. Way Tulung Biuk 14. Way Tulung Maus 15. Way Tulung Cercah 16. Way Tulung Hinduk 17. Way Tulung Mengundang 18. Way Kubu Hitu 19. Way Pengacaran 20. Way Cercah 21. Way Pematang Hening E. Wilayah Kekuasaan Buay Lima Way Kanan: 1. Way Umpu 2. Way Besay 3. Way Jelabat 4. Way Sunsang 5. Way Putih Kanan 6. Way Pengubuan Kanan 7. Way Giham 8. Way Petay 9. Way Hitam 10. Way Dingin 11. Way Napalan 12. Way Gilas 13. Way Bujuk 14. Way Tuba 15. Way Baru 16. Way Tenong 17. Way Kistang 18. Way Panting Kelikik 19. Way Kabau 20. Way Kelom 21. Way Peti F. Wilayah Kekuasaan Abung Siwo Mego: 1. Way Abung 2. Way Melan 3. Way Sesau 4. Way Kunyaian 5. Way Sabu 6. Way Kulur 7. Way Kumpa 8. Way Bangik 9. Way Babak 10. Way Tulung Balak 11. Way Galing 12. Way Cepus 13. Way Muara Toping 14. Way Terusan Nunyai 15. Way Pematang Hening 16. Way Banyu Urip 17. Way Candi Sungi 18. Way Tulung Biuk 19. Way Tulung Pius 20. Way Umban 21. Way Guring G. Wilayah Kekuasaan Mego Pak Tulang Bawang: 1. Way Rarem 2. Way Gedong Aji 3. Way Penumangan 4. Way Panaragan 5. Way Kibang 6. Way Ujung Gunung 7. Way Nunyik 8. Way Lebuh Dalom 9. Way Gunung Tukang 10. Way Pagar Dewa 11. Way Rawa Panjang 12. Way Rawa Cokor 13. Way Tulung Belida 14. Way Karta 15. Way Gunung Katun 16. Way Malai 17. Way Krisi sumber : http://ahmadyani.multiply.com Suka Be the first to like this. This entry was posted in Apa yah. Bookmark the permalink. 5 Komentar Navigasi tulisan ← Sebelumnya Selanjutnya → 5 pemikiran pada “Asal Muasal Masyarakat Lampung” Qodratul ikhwan By mengatakan: 23 November 2010 pada 1:06 PM Saya pernah membaca, bahwa yang dimaksud Paksi Pak itu adalah : 1. Buay Belunguh 2. Buay Bejalan di Way 3. Buay Nyerupa, dan 4. Buay Kanyangan. Balas rahmad ridho mengatakan: 21 Juli 2011 pada 10:33 PM setahu saya bukan seperti ini cerita asal muasal lampung……… kenapa tidak singkron dengan semboyan sang bumi ruwa jurai ….. satu bangsa dua keturunan….. Balas rahmad ridho mengatakan: 21 Juli 2011 pada 10:47 PM yang pernah saya baca dari buku asal muasal lampung mata rantai sejarah nusantara paksi itu adalah : Pemimpin 1.Kepaksian keratuan Tanoh Unggak Lambung Mengkurat yg berada di Tenumbang Krui disebut : PAKSI KERUI, dan bergelar PEMUKA BULAN. 2.Kepaksian Keratuan Tanoh Unggak Lambung Mengkurat yg berada di Sukau disebut : PAKSI SUKAU dan bergelar PEMUKA MEHILOMI. 3.Kepaksian Keratuan Tanoh Unggak Lambung Mengkurat yg berada di kampung Luas disebut : PAKSI LUAS dan bergelar PEMUKA MEHILOM. 4.Kepaksian Keratuan Tanoh Unggak Lambung Mengkurat yg berada di kampung kembahang disebut : PAKSI KEMBAHANG dan bergelar PEMUKA HILOM. Balas gie mengatakan: 27 Juli 2011 pada 12:09 PM terimakasih atas komentarnya dan penambahannya… rahmad ridho mengatakan: 21 Juli 2011 pada 11:30 PM saya tambahkan komentar saya mengapa dari seluruh Kerajaan yang ada di Nusantara ini dari Sumatera, Jawa, kalimantan dan Malaka Malaysia semua nya memakai Payung Agung yang mempunyai tiga tingkat yg sama ………ada apa ini semua … semestinya kalau mau kita telaah berarti ada apa-apanya ini semua……… Balas

ditulis dengan huruf Lampung kuno,

Minggu, 12 Agustus 2012 | 10:10:30 WIB Dibaca : 38 Menggali Akar Cerita Rakyat Menggali Akar Cerita Rakyat KORAN JAKARTA/FRANS EKODHANTO Dia menjadi mulut pertama yang menyampaikan cerita sejarah, cerita rakyat yang diolah dengan masa kini Kitab itu ternyata ada dan bukan isapan jempol belaka. Nenek moyangnya tak sepuritan yang ia kira. Tak ada ajaran kebatinan yang murni dan suci bersih di dunia kuno. Semua berawal dan berakhir dengan percampuran keyakinan dan gagasan, sinkritisme yang terbuka dan terang-terangan. Demikianlah beberapa carik kalimat yang terdapat dalam penggalan cerpen, Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air, karya Muhammad Harya Ramdhoni. Judul cerita ini sekaligus menjadi judul kumpulan cerpennya yang diluncurkan 27 Juli silam di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki. Dalam buku Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air ini terdapat sebelas judul cerpen yang mnceritakan sebuah hikayat masa lampau tentang sebuah kampung. Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air menceritakan perjuangan seorang anak muda yang mencari tahu tentang asal muasal keturunannya serta sepak terjang moyangnya dalam menyebarkan suatu ajaran kebajikan dan kebaikan. Sampai akhirnya, anak muda itu benar-benar dipertemukan dengan moyangnya yang beda zaman. Pertemuan mereka diawali dari sebuah pencobaan pembunuhan yang dilakukan oleh keturunan lain dalam usaha merampas salinan kitab yang sedang diteliti oleh anak muda tersebut. Perjalanan anak muda tersebut dimulai dari adanya sebuah kitab kuno. Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air mengandung lima unsur kunci yang dapat diringkas dalam sebuah kalimat: "Kepasrahan kepada Allah Semata." Kalimat tersebut terdapat pada kitab yang ditulis dengan huruf Lampung kuno, juga terlihat mantra-mantra percampuran ayat-ayat Al Quran dan ajaran Sekala Brak lama. Kitab purba tersebut ditulis di atas kulit kayu. Ia begitu terpelihara di sana. Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air disimpan dalam ruang berpendingin yang menjamin pemeliharaan atas dirinya agar kitab yang telah rapuh dimakan usia itu tak tersentuh tangan-tangan manusia. Kitab aslinya masih seperti 900 tahun yang lalu, mencandra bau kulit kayu yang begitu purba dan tak lazim. Dalam acara peluncuran buku itu, hadir Binhat Nurohmat (penyair dan esais) sebagai pengantar diskusi dan Muhammad Harya Ramdhoni (Doni). Dalam diskusi pengantarnya, Binhad menyampaikan bahwa Doni melakukan pemugaran, karena tangan-tangan sejarawan lokal belum menyentuh budaya dan cerita yang ada di masyarakat Lampung. Kisah Penting "Saya kira, karya-karya Doni ini penting dalam konteks Lampung. Ini berbeda dengan penulis-penulis lainnya, penulis yang banyak mengangkat sejarah dan budaya suatu daerah, baik Lampung maupun daerah lainnya, kemudian dituangkan kembali dalam bentuk karya sastra, seperti cerpen, novel ataupun puisi. Dengan kata lain, sebelum melakukan penulisan cerpen tersebut, Doni terlebih dahulu mencari tahu, menyelidiki, berperan sebagai sejarawan, namun bukan sejarawan untuk kemudian dia olah dan tulis kembali menjadi karya cerpen. Sebuah cerita rakyat yang diolah dengan masa kini," kata Binhad. Menurut Binhad, penulisan cerpen ini menggunakan metode yang sangat berbeda dari metode sebelumnya. Dia menjadi mulut pertama yang menyampaikan cerita sejarah, baik itu Sekalabra ataupun ceritra budaya dan legenda Lampung yang purba. Sebuah cerita tentang kerajaan yang amat besar di Lampung. Doni menjelaskan bahwa apa yang dia tulis dalam cerpen adalah hal-hal yang tidak bisa ditulis dalam novelnya, yaitu Perempuan-perempuan Harimau. "Awalnya, sebelum menjadi cerpen seperti yang sekarang ini, saya mendapatkan cerita dari kakek, sedang kakek mendapatkan cerita dari neneknya. Dengan kata lain, cerita ini merupakan cerita yang turun-temurun. Cerita yang menceritakan sebuah kerajaan. Cerita yang menceritakan sebuah budaya dan legenda yang pernah ada dalam peradaban masyarakat Lampung. "Cerpen-cerpen saya ini, sebelum diantologikan atau dibukukan, sudah pernah dimuat di beberapa media cetak, baik media cetak yang ada di Lampung maupun di luar Lampung, seperti di Jakarta dan media-media yang ada di Jawa," kata Doni. Dengan kata lain, cerpen ini seakan mengingatkan kembali bahwa setiap daerah atau pun wilayah Indonesia pasti memiliki cerita, legenda, budaya yang sangat penting dalam perkembangan peradaban suatu daerah tersebut, terutama dalam perkembangan budaya Indonesia. Namun sayang, tidak semua legenda dan budaya bisa disentuh dan diungkap para sejarawan dan pelaku seni serta kebudayaan sehingga dapat dikonsumsi dan diketahui oleh masyarakat luas, baik masyarakat yang ada dalam daerah tersebut maupun masyarakat tradisi, masyarakat akademisi, dan masyarakat pada umumnya yang berada di daerah lain. frans ekodhanto

Benteng Terakhir Sastra Lisan Lampung

Benteng Terakhir Sastra Lisan Lampung Syafnijal Datuk S | Rabu, 02 Mei 2012 - 15:27:37 WIB : 270 (SH/Syafnijal Datuk S) Sastra lisan kuno warisan budaya Lampung nyaris punah. Di hari tuanya, Masnuna merasa gundah. Bukan karena minimnya bahan makanan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Bukan pula karena kurangnya perhatian kedua anak kandungnya. Satrawati lisan Lampung satu-satunya ini “galau” karena tidak ada yang meneruskan dirinya sebagai pelantun dadi, sebuah sastra lisan Lampung kuno yang terancam punah. Masnuna yang tahun ini genap berusia 80 adalah satu-satunya pelantun sastra lisan marga Pubian, Lampung yang dikenal dengan dadi. Dadi adalah sastra lisan yang penuturannya dilakukan dengan irama yang khas. Konon dadi telah ada di masyarakat Lampung sebelum agama Hindu masuk ke daerah ini. Selain dadi, juga terdapat jenis sastra lisan Lampung kuno lainnya yang disebut: ngehambu bunyi surat, pisaan, incang-incang, dan kias. Sama dengan dadi, yang lainnya juga sudah tidak ada lagi yang bisa melantunkannya. Sebelumnya, di lingkungan marga Pubian terdapat tiga pelantun dadi, dua lainnya pria, yakni Ali Gelar Pangeran Pengadilan Yawafatas dan Pangeran Matapunai. Namun, keduanya sudah meninggal. Ali meninggal pada 1977 dan disusul Pangeran Matapunai pada 2003. Sementara itu, pelantun dadi perempuan hanya Masnuna sendiri. Masnuna lahir pada 1932 di Kampung Segala Mider, Kecamatan Pubian, Lampung Tengah. Ia menikah dengan Abdul Hasan, seorang pemuda asal Kampung Tanjung Kemala, Lampung Tengah, pada 1955. Dari pernikahannya ini mereka dikaruniai sepasang anak; yang sulung adalah Abdul Somad dan yang bungsu bernama Junaini. Berkeluarga ternyata tidak menghalangi aktivitasnya sebagai pelantun dadi. Ia tetap menjadi pelantun dadi pada setiap acara, seperti pernikahan dan upacara adat lainnya. Alunan suaranya yang tinggi saat menuturkan tiap bait sastra lisan Lampung itu merupakan saat yang ditunggu-tunggu warga ketika menghadiri hajatan atau upacara adat lainnya. Masnuna mempelajari sastra lisan itu ketika masih berusia tujuh tahun. Gurunya tak lain adalah ayahnya sendiri, yakni Dalom Muda Sebuway. Sang ibu, Siti Aminah, juga turut mengasah kemahirannya dalam melantunkan setiap baitnya. Niatnya mempelajari dadi bukan hanya karena darah seni yang mengalir dari ayahnya. Lebih dari itu, niatnya didorong kenyataan bahwa dadi merupakan karya sastra utama yang hidup dalam masyarakat adat Pubian, salah satu marga di kalangan masyarakat asli Lampung. Hampir dalam setiap upacara adat di Pubian, dadi selalu ditampilkan. Kepada SH yang menemuinya di rumahnya Kampung Tanjung Kemala, Kecamatan Pubian, baru-baru ini, seniman “gaek” ini masih bersemangat menuturkan kisah hidupnya. Garis keriput penanda usia senja tidak menghalangi ekspresinya mengisahkan pengalamannya belajar dan memelihara sastra lisan tersebut agar tetap lestari hingga saat ini. Sindiran dan Nasihat Dadi berisi pantun sindiran, pantun jenaka, dan terutama pantun nasihat. Namun belakangan, tidak semua masyarakat dengan mudah memahami makna setiap bait pantun tersebut, sebab dadi menggunakan bahasa Lampung tingkat tinggi. Hal itu pula yang menyebabkan generasi muda enggan mempelajarinya. Di samping menggunakan bahasa yang halus, dadi bisa mengandung dua atau lebih makna. Pada zaman keemasannya, dadi selalu ditampilkan saat pergantian tahun, panen raya, pertemuan bujang dengan gadis, sebelum atau sesudah acara gawi adat (upacara adat-red), bahkan disiapkan dalam pertemuan khusus untuk mengadakan dadi. Pada masa itu dadi dilantunkan beberapa pasang gadis dan bujang. Di belakang mereka terdapat guru yang mengajarkan jawaban-jawaban sehingga mereka menirukan lagi kosakata yang diajarkan sang guru. Pengajar dan barisan bujang-gadis tersebut dibatasi dengan tirai pembatas sehingga yang mengajarkan tidak kelihatan. Ketika dua kelompok sedang beradu dadi, jika salah satunya pindah pematang (makna bait yang baru dilantunkan tidak sesuai bait sebelumnya), ia dianggap kalah. Menurut Masnuna, terdapat enam macam irama dadi: lagu dibi (irama senja), lagu tengah bingi (irama tengah malam), lagu kuwasan (irama menjelang pagi), lagu punia nanoh (irama naik-turun), lagu salah undogh (irama awal ditinggikan, kemudian irama berikutnya rendah), dan lagu ngelumpat (irama tidak beraturan). Salah satu contoh lirik dadi yang sering dilantunkan Masnuna: Bunga layu dipampang // Tiyak di tengah kali // Ya lapah ngambang kambang // Miba nutuk way mili. Artinya: “bunga layu di cabang lalu jatuh di tengah sungai. Berjalan terombang-ambing menuruti arus air sungai.” Di sini Masnuna ingin menggambarkan bahwa telah terjadi goncangan budaya dalam masyarakat Lampung. Kini, mereka malu menjadi orang Lampung, tetapi nilai-nilai baru yang dianggap ideal sebagai pengganti budaya lama tidak pula terjangkau. Untuk itu, terbentuklah masyarakat yang mengalami disorientasi. Mereka tercerabut dari akar dan kehilangan jati diri. Dalam kondisi ini, terjadilah anomali, sebuah masyarakat yang kehilangan nilai-nilai budaya. Budaya lama yang selama ini dianut sudah ditinggalkan, sementara untuk menjadi masyarakat modern juga belum sepenuhnya. Menghadapi kondisi ini, Masnuna bertutur lirih: Sejarah sa dibuang // Kak ghadu kualami // Ibaghat ngubak bawang // Wat bawak mak buisi. Artinya: “masa lalu telah berlalu, ibarat mengupas bawang, ada kulit tapi tidak berisi. Di sini, Masnuna berharap agar generasi muda berhati-hati dalam menjalani kehidupan. Jangan lupa dengan perjalanan kehidupan (seni budaya-red) agar tidak menjadi sia-sia. Semua itu (seni budaya-red) harus benar-benar dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan.” Mulai Pikun Kini Masnuna sudah memasuki usia senja dan mulai agak pikun. Ia sering meminta makan meskipun baru saja selesai makan. Anehnya, bait-bait dadi masih dihafalnya di luar kepala. Giginya tampak masih utuh, meski warnanya agak menghitam akibat hampir sepanjang hidupnya memakan sirih—sebuah kebiasaan kaum perempuan di Lampung. Rambutnya pun memutih. Wajahnya juga menampakkan guratan-guratan penuaan, tetapi sorot matanya masih tajam seakan menyiratkan ketegaran hidup. Ia berbicara tidak selancar sebelumnya. Oleh karena itu, sejak 2005 ia sudah jarang melantunkan dadi. Di hari tuanya ini, Masnuna yang nama aslinya adalah Hanuna tidak rela sastra lisan Lampung kuno tersebut punah. Namun sayang, tiada satu pun cucu-cucu atau para generasi muda di kampungnya yang mau mempelajarinya. Jangankan mau melantunkan dadi yang menggunakan bahasa Lampung tingkat tinggi, untuk berbicara dalam bahasa Lampung saja sebagian generasi muda sudah tidak lancar. Kecuali itu, masyarakat sekarang pun juga sudah banyak yang tidak menyukai kesenian asli marga Pubian tersebut. “Anak-anak sekarang lebih senang menonton orkes dangdut,” ujarnya lirih, dengan sorot mata berkaca-kaca. Pertanda risau. Apalagi hingga kini belum ada pihak yang khusus membukukan dadi. Kecuali buku yang ditulis seorang mahasiswa asal Amerika Serikat, Tim Smith, ketika mendalami seluk-beluk masyarakat Pubian Dakhak, beberapa tahun lalu. Lalu disusul sebuah stasiun televisi swasta nasional yang memvideokan kehidupan sehari-hari Masnuna. Mungkin inilah satu-satunya yang bisa ditonton generasi berikutnya, guna memberitahukan bahwa nenek moyangnya pernah memiliki sebuah sastra lisan kuno yang bernama dadi. Sumber : Sinar Harapan

lampung ;Naskah Kuno Lanka Letusan Krakatau 1883

Naskah Kuno Lanka Letusan Krakatau 1883 Jauh sebelum peneliti asing menulis tentang meletusnya Gunung Krakatau (Krakatoa, Carcata) tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883, seorang pribumi telah menuliskan kesaksiaan yang amat langka dan menarik, tiga bulan pascameletusnya Krakatau, melalui Syair Lampung Karam. Peneliti dan ahli filologi dari Leiden University, Belanda, Suryadi mengatakan hal itu kepada Kompas di Padang, Sumatera Barat, dan melalui surat elektroniknya dari Belanda. Naskah Kuno Lanka Letusan Krakatau 1883 "Kajian-kajian ilmiah dan bibiliografi mengenai Krakatau hampir-hampir luput mencantumkan satu-satunya sumber pribumi tertulis, yang mencatat kesaksian mengenai letusan Krakatau di tahun 1883 itu. Dua tahun penelitian, saya menemukan satu-satunya kesaksian pribumi dalam bentuk tertulis, " katanya. Sebelum meletus tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883, gunung Krakatau telah batuk-batuk sejak 20 Mei 1883. Letusan dahsyat Krakatau menimbulkan awan panas setinggi 70 km dan tsunami setinggi 40 meter dan menewaskan sekitar 36.000 orang. Sebelum meletus tahun 1883, Gunung Krakatau telah pernah meletus sekitar tahun 1680/1. Letusan itu memunculkan tiga pulau yang saling berdekatan; Pulau Sertung, Pulau Rakata Kecil, dan Pulau Rakata. Suryadi menjelaskan, selama ini yang menjadi bacaan tentang letusan Gunung Krakatau adalah laporan penelitian lengkap GJ Symons dkk, The Eruption of Krakatoa and Subsequent Phenomena: Report of the Krakatoa Committee of the Royal Society (London, 1883). Spoiler for Info Selengkapnya: Sedangkan sumber tertulis pribumi terbit di Singapura dalam bentuk cetak batu (litography) tahun 1883/1884. Kolofonnya mencatat 1301 H (November 1883-Oktober 1884). Edisi pertama ini berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu (42 halaman). " Tak lama kemudian muncul edisi kedua syair ini dengan judul Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut (42 halaman). Edisi kedua ini juga diterbitkan di Singapura pada 2 Safar 1302 H (21 November 1884), " paparnya. Edisi ketiga berjudul Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air Laut (49 halaman), yang diterbitkan oleh Haji Said. Edisi ketiga ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 27 Rabiulawal 1301 H (3 Januari 1886). Dalam beberapa iklan, edisi ketiga ini disebut Syair Negeri Anyer Tenggelam. " Edisi keempat syair ini, edisi terakhir sejauh yang saya ketahui, berjudul Inilah Syair Lampung Karam Adanya (36 halaman). Edisi keempat ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 10 Safat 1306 H (16 Oktober 1888)," ungkap Suryadi, yang puluhan hasil penelitiannya telah dimuat di berbagai jurnal internasional. Menurut Suryadi, khusus teks keempat edisi syair itu ditulis dalam bahasa Melayu dan memakai aksara ArabMelayu (Jawi). Dari perbandingan teks yang ia lakukan, terdapat variasi yang cukup signifikan antara masing-masing edisi. Ini mengindikasikan pengaruh kelisanan yang masih kuat dalam tradisi keberaksaraan yang mulai tumbuh di Nusantara pada paroh kedua abad ke-19. Suryadi yang berhasil mengidentifikasi tempat penyimpanan eksemplar seluruh edisi Syair Lampung Karam yang masih ada di dunia sampai saat ini menyebutkan, Syair Lampung Karam ditulis Muhammad Saleh. Ia mengaku menulis syair itu di Kampung Bangkahulu (kemudian bernama Bencoolen Street) di Singapura. " Muhammad Saleh mengaku berada di Tanjung Karang ketika letusan Krakatau terjadi dan menyaksikan akibat bencana alam yang hebat itu dengan mata kepalanya sendiri. Sangat mungkin si penulis syair itu adalah seorang korban letusan Krakatau yang pergi mengungsi ke Singapura, dan membawa kenangan menakutkan tentang bencana alam yang mahadahsyat itu," katanya. Suryadi berpendapat, Syair Lampung Karam dapat dikategorikan sebagai syair kewartawanan, karena lebih kuat menonjolkan nuansa jurnalistik. Dalam Syair Lampung Karam yang panjangnya 38 halaman dan 374 bait itu, Muhammad Saleh secara dramatis menggambarkan bencana hebat yang menyusul letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Ia menceritakan kehancuran desa-desa dan kematian massal akibat letusan itu. Daerah-daerah seperti Bumi, Kitambang, Talang, Kupang, Lampasing, Umbulbatu, Benawang, Badak, Limau, Lutung, Gunung Basa, Gunung Sari, Minanga, Tanjung, Kampung Teba, Kampung Menengah, Kuala, Rajabasa, Tanjung Karang, juga Pulau Sebesi, Sebuku, dan Merak luluh lantak dilanda tsunami, lumpur, dan hujan abu dan batu. Pengarang menceritakan, betapa dalam keadaan yang memilukan dan kacau balau itu orang masih mau saling tolong menolong satu sama lain. Namun, tak sedikit pula yang mengambil kesempatan untuk memperkaya diri sendiri dengan mengambil harta benda dan uang orang lain yang ditimpa musibah. Selain menelusuri edisi-edisi terbitan Syair Lampung Karam yang masih tersisa di dunia sampai sekarang, penelitian Suryadi juga menyajikan transliterasi (alih aksara) teks syair ini dalam aksara latin. "Saya berharap Syair Lampung Karam dapat dibaca oleh pembaca masa kini yang tidak bisa lagi membaca aksara Arab-Melayu (Jawi). Lebih jauh, saya ingin juga membandingkan pandangan penulis pribumi (satu-satunya itu) dengan penulis asing (Belanda/Eropa) terhadap letusan Gunung Krakatau," jelas Suryadi. Peneliti dan dosen Leiden University ini menambahkan, teks syair ini bisa direvitalisasi untuk berbagai kepentingan, misalnya di bidang akademik, budaya, dan pariwisata. Salah satunya adalah kemungkinan untuk mengemaskinikan teks Syair Lampung Karam itu dalam rangka agenda tahunan Festival Krakatau. Juga dapat direvitalisasi dan diperkenalkan untuk memperkaya dimensi kesejarahan dan penggalian khasanah budaya dan sastra daerah Lampung.

Peninggalan Sejarah: 480 Kitab Kuno di Masjid Jami' Al Anwar 'Merana"

September 7, 2010 Peninggalan Sejarah: 480 Kitab Kuno di Masjid Jami' Al Anwar 'Merana" BANDAR LAMPUNG — Sedikitnya 480 kitab kuno yang berbahasa Belanda, Melayu, dan Arab yang ditulis dengan huruf Arab-Melayu kini tersimpan di Masjid Jami Al-Anwar, Jalan Laksamana Malahayati, Kelurahan Pesawahan, Telukbetung Selatan, Bandar Lampung. Namun, kitab kuno peninggalan para ulama muslim baik dari Indonesia dan dunia tersebut kondisinya memprihatinkan. Terbengkalai, acak-acakan, dan sudah banyak yang rapuh. KITAB KUNO. Pengurus Masjid Jami Al Anwar, Jalan Laksamana Malahayati, Telukbetung Selatan, Bandar Lampung, Tjek Mat Zein, memperlihatkan kitab kuno yang terbengkalai, Kamis (2-9). Kitab kuno yang mempunyai nilai sejarah tersebut seharusnya dirawat dan dimanfaatkan dengan baik. (LAMPUNG POST/IKHSAN) Benda bersejarah ini hanya disimpan "di gudang" dan di dalam menara masjid tertua di Bandar Lampung tersebut. Padahal, kitab kuno berumur ribuan tahun atau sejak tahun 1300-an itu merupakan "harta karun" yang tak ternilai harganya. Namun, kini harus "merana". Selain tak dirawat juga tak pernah dimanfaatkan dengan baik. Menurut Tjek Mat Zein, sesepuh sekaligus pengurus Masjid Jami Al Anwar, kitab-kitab tersebut sebagian besar merupakan peninggalan Kiai Nawawi yang kemungkinan dibawa dari Arab Saudi. "Kiai Nawawi itu belajar di Arab Saudi dan kembali sekitar tahun 1930. Kemungkinan sebagian besar kitab-kitab kuno yang ada di sini (Masjid Jami Al Anwar, Red) adalah peninggalan beliau," kata Tjek Mat Zein ketika ditemui Lampung Post, Kamis (2-9). Selain peninggalan dari Kiai Nawawi, menurut Tjek Mat, kitab-kitab tersebut juga merupakan wakaf ilmu dari tokoh ulama Masjid Al Anwar lainnya, seperti K.H. Toha, Abdurrahman Bawak, Ibrahim Magad, dan K.H. Rauf Ali. Tjek Mat menjelaskan keberadaan kitab-kitab tersebut sebelumnya dimanfaatkan sebagai sumber kepustakaan dan kerap dibaca H. Syamsul Arifin yang mempunyai kemampuan membaca huruf Jawi atau Arab Melayu. Namun, sejak dua tahun silam, tepatnya tahun 2008, ketika H. Syamsul Arifin meninggal, keberadan kitab-kitab tersebut kurang dimanfaatkan dan dimaknai dengan baik. Pasalnya, sepeninggal H. Syamsul Arifin, pengkajian kitab-kitab tersebut terputus seiring tidak adanya pengurus yang memahami huruf Jawi. "Rencananya kami juga akan membangun perpustakaan dengan kondisi yang lebih baik, sehingga selain dapat menjaga kondisi kitab, tentunya juga agar bisa dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya," kata Tjek Mat. Sementara itu, dosen STAI Ma'arif Metro Nasir menjelaskan kitab-kitab kuno tersebut merupakan kitab klasik dan karya besar dari para ulama dari Indonesia maupun dunia. Untuk itu, kitab tersebut hendaknya dapat dimanfaatkan dengan baik. Caranya mengkaji dan mengungkap makna yang ada di balik tulisan huruf Jawi yang tertulis di dalamnya. Terlebih, kata Nasir, di tengah kehidupan saat ini yang penuh dengan fenomena dan permasalahan. Tidak menutup kemungkinan isi dari kitab tersebut merupakan perbaikan dari penjelasan Alquran dan Hadis. Menurut Nasir, ada dua cara untuk memanfaatkan kitab-kitab kuno tersebut. Pertama, jika takmir Masjid Al Anwar mampu memberdayakan untuk dikaji dan dimaknai, kitab tersebut bisa dipakai untuk keperluan pengetahuan jemaah di masjid. Kedua, jika keberadaannya kurang dimanfaatkan, dapat diwakafkan kepada lembaga agama. Sehingga intisari dari isi kitab tersebut dapat diaplikasikan dengan baik. (IYAR JARKASIH/L-2) Sumber: Lampung Post, Selasa, 7 September 2010 Diposkan oleh Udo Z Karzi Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook 1 comment: english teacher12:50 AM bukti sejarah harus diwariskan pada anak cucu kita. kalau tidak sekarang ya kapan? kalau tidak kita ya siapa lagi? Reply

Naskah Kuno Lampung di Luar Negeri

Warisan Budaya: Naskah Kuno Lampung di Luar Negeri 26 Nov Bandar Lampung, Kompas – Museum Lampung memastikan, sebanyak 400 naskah kuno Lampung tersimpan di museum-museum di luar negeri, sedangkan yang tersimpan di Museum Lampung hanya sekitar 34 buah. Hal itu menyulitkan bagi para peneliti yang hendak melakukan pengkajian tentang budaya atau kehidupan Lampung masa lalu. Kepala Museum Lampung Pulung Swandaru, Selasa (21/10), mengatakan, dari inventarisasi koleksi dan dari penelusuran mengenai naskah-naskah kuno Lampung di luar negeri, diketahui naskah kuno Lampung tersimpan di 20 perpustakaan milik museum atau lembaga penelitian di luar negeri. Beberapa negara yang diketahui menyimpan naskah kuno Lampung antara lain Belanda, Denmark, Inggris, dan Jerman. Di Belanda, naskah kuno Lampung tersimpan di lembaga penelitian Koninklijk Instituut Voor de Tropen, Amsterdam, dan di lembaga penelitian Koninklijk Instituut voor Taal di Leiden. Di Denmark, naskah kuno Lampung diketahui disimpan di Museum Nasional atau Nationalmuseet. Di Inggris, naskah kuno Lampung disimpan di Brynmor Jones Library, University of Hull. Adapun di Jerman, naskah kuno Lampung tersimpan di Museum fur Volkerkunde, Berlin; Museum fur Volkerkunde, Leipzig; Bayerische Staatsbibliothek, Muenchen; dan di Linden Museum, Stuttgart. (HLN) Sumber ulun.lampunggech Via : Beguwai Jejama (its mine^^)

Gamolan, Alat Musik Tradisional Lampung*

Gamolan, Alat Musik Tradisional Lampung* REP | 19 July 2012 | 09:21 Dibaca: 406 Komentar: 0 2 dari 2 Kompasianer menilai menarik Mahasiswi Program studi Tari Universitas Lampung memainkan alat musik asli Lampung Gamolan di Lapangan Korpri Rabu (7/12). Pemprov Lampung menggelar acara pemecahan rekor museum rekor Indonesia (MURI) tabuh gamolan Lampung,Pemecahan rekor akan dilakukan dengan menabuh gamolan selama 25 jam oleh 25 grup yang terdiri dari 25 penabuh. Sumber: TRIBUNNEWS.COM/Perdiansyah Mahasiswi Program studi Tari Universitas Lampung memainkan alat musik asli Lampung Gamolan di Lapangan Korpri Rabu (7/12). Pemprov Lampung menggelar acara pemecahan rekor museum rekor Indonesia (MURI) tabuh gamolan Lampung,Pemecahan rekor akan dilakukan dengan menabuh gamolan selama 25 jam oleh 25 grup yang terdiri dari 25 penabuh. Sumber: TRIBUNNEWS.COM/Perdiansyah Pukulan-pukulan kecil mulai dihentakkan. Kadang cepat, kadang melambat. Semuanya dalam kesatuan nada sehingga menimbulkan alunan bunyi seirama. Tepat pukul 10.05 WIB, 25 orang mulai memainkan alat musik tradisional Lampung, gamolan, untuk memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) pada awal Desember 2011 lalu. Gamolan merupakan alat musik pukul serupa gamelan di Jawa. Alat musik yang terbuat dari bambu itu diperkirakan sudah dimainkan masyarakat Lampung kuno sejak abad ke-4 masehi. Meskipun demikian, hingga awal abad 21, banyak masyarakat Lampung tidak mengetahui hal tersebut. Adalah Margaret J Katomi yang berhasil mendapatkan penemuan itu. Peneliti asal Australia tersebut melakukan penelitian terhadap alat musik itu selama 27 tahun sejak 1980. “Ketika saya sedang melewati Liwa (Lampung Barat), ada orang yang memainkan gamolan. Saya tertarik karena belum pernah mendengar bunyi serupa itu dari alat musik lain. Di seluruh dunia, tidak ada bunyi seperti ini (gamolan). Sebagai ekomusikologi, saya tertarik untuk meneliti gamolan,” terang Margaret. Berbeda dengan gamelan, gamolan merupakan alat musik tunggal yang bisa dimainkan sendiri tanpa digabungkan dengan alat musik lain. Sedangkan, gamelan baru bisa dimainkan dalam bentuk orkestra bersama alat musik lain. Margaret menerangkan, usia gamolan pun diyakini lebih tua dibandingkan dengan gamelan. Bukti itu terlihat dalam relief Candi Borobudur. Pada salah satu relief, gambar serupa gamolan sudah terpampang. “Berarti, gamolan sudah ada sebelum candi itu dibangun. Mereka membangun relief tentunya karena melihat kejadian yang sudah ada,” papar Margaret. Gamolan yang ada saat ini, menurut Margaret, telah memiliki perbedaan dibandingkan dengan gamolan kuno. Gamolan kuno memiliki delapan bilah bambu yang sejajar di atas satu bongkahan bulat bambu sebesar sekitar lengan orang dewasa. Delapan bilah bambu masing-masing mewakili delapan tangga nada, yaitu do re mi fa so la si do. Sementara, gamolan modern hanya memiliki tujuh bilah bambu yang mewakili tujuh tangga nada. Satu tangga nada yang hilang adalah tanga nada fa. Margaret mengatakan, dirinya pun belum memahami alasan penghapusan tangga nada fa. “Saya belum tahu alasannya kenapa. Saya rasa saya akan meneliti kembali hal itu,” terang Margaret. Perbedaan lain antara gamolan kuno dan modern adalah musisi yang memainkan gamolan. Gamolan kuno dimainkan dua orang untuk satu alat musik. Sementara, gamolan modern bisa dimainkan satu orang. Margaret meyakini, gamolan merupakan alat musik tradisional asli Lampung. Hal itu karena gamolan hanya bisa ditemukan di Lampung Barat dan Way Kanan. Keberadaan gamolan di Way Kanan diduga karena budaya tersebut dibawa dari Lampung Barat. Wakil Gubernur Lampung Joko Umar Said mengatakan, pemprov berinisiasi mengadakan pemecahan rekor MURI supaya gamolan menjadi identik sebagai alat musik tradisional Lampung. “Penemuan gamolan ini merupakan sejarah bagi Lampung. Tetapi, kita masih sering lalai dengan sejarah. Sehingga, bangsa lain bisa mengklaim sejarah milik kita. Pemecahan rekor MURI ini supaya gamolan menjadi identik dengan Lampung. Kami juga akan berupaya mempatenkan alat musik ini,” jelas Joko. Pemecahan rekor MURI dilakukan dengan memainkan gamolan selama 25 jam tanpa henti. Acara yang berlangsung di Lapangan Korpri Kompleks Kantor Pemprov Lampung itu diikuti 25 kelompok dengan 25 gamolan. Masing-masing kelompok akan bermain selama satu jam. Para pemukul gamolan sebanyak 625 orang terdiri dari pelajar mulai dari SD hingga SMA dan mahasiswa. Joko mengatakan, hal ini merupakan upaya agar gamolan bisa mulai dipelajari di sekolah. “Ini alat musik tradisional khas Lampung. Nantinya, ini harus dikenalkan (kepada pelajar) di sekolah-sekolah,” terang Joko. [] *Tulisan ini telah diterbitkan di Tribun Lampung pada 8 Desember 2011

KUNTAKHA KHAJA NITI "Naskah Kuno Asal Lampung"

KUNTAKHA KHAJA NITI "Naskah Kuno Asal Lampung" Posted by Erwansyah AR Budaya 07:24 Kitab ini merupakan Rujukan Utama falsafah hidup ulun / orang lampung yang secara garis besar membahas 5 (lima) pokok hidup antara lain : Pi'il PesenggikhiMalu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri . Segala sesuatu yangmenyangkut harga diri, prilaku dan sikap hidup yang dapat menjaga dan menegakkan nama baik danmartabat secara pribadi maupun kelompok yang senantiasa dipertahan Sakai SambaianGotong Royong, Tolong-menolong, bahu membahu, dan saling memberi sesuatu yang diperlukanbagi pihak lain. Nemui NyimahSaling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu. Bermurah hati dan ramahtamah terhadap semua pihak baik terhadap orang dalam kelompoknya maupun terhadap siapa sajayang berhubungan dengan dengan masyarakat lampung Nengah NyampukhTata pergaulan masyarakat Lampung dengan kesediaan membuka diri dalam pergaulan masyarakatumum dan pengetahuan luas. Bejuluk AdokTata ketentuan pokok yang selalu diikuti dan diwariskan turun temurun dari zaman dahulu.Mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya Kitab itu terdiri dari dua bagian, bagian pertama ditulis dengan aksara Lampung gaya abad 17 (huruf-hurufnya lebih tidur dari aksara Lampung yang digunakan sekarang). Satu bagian lagi ditulis dengan huruf Arab gundul. Sedang bahasa yang digunakan pada seluruh teks adalah bahasa Jawa pertengahan dengan logat Banten. Masing-masing bagian memuat keseluruhan isi dari kitab Kuntara Raja Niti. Jadi, bagian yang satu dialihaksarakan pada bagian yang lain. Isi manuskrip tersebut sebenarnya bukan hanya masalah tata cara adat secara seremonial, seperti upacara pernikahan, kematian dll. tapi kitab tersebut memuat peraturan-peraturan kemasyarakatan atau yang lebih tepat disebut perundang-undangan. Sebagaimana disebutkan dalam manuskrip tersebut, bahwa kitab Kuntara Raja Niti dan Jugul Muda adalah kitab undang-undang yang berlaku di tiga wilayah, yaitu Majapahit, Padjadjaran, dan Lampung. Sebagai kitab undang-undang atau dasar hukum kemasyarakatan, kitab tersebut ditulis dengan sistematis. Setiap pembahasan diatur dalam bab-bab. Bab I (pada kitab terjemahan terdapat pada halaman 25), membahas tentang kiyas. Kiyas adalah hal yang mesti pada hukum, yang menyangkut tiga persoalan yaitu 1. Kuntara, 2. Raja Niti, 3. Jugul Muda. Selanjutnya pada kitab tersebut diterangkan, di antara raja-raja yang mempunyai tiga kebijakan itu adalah Prabu Sasmata dari Majapahit, Raja Pakuan Sandikara dari Pajajaran dan Raja Angklangkara dari Lampung. Bab II memuat sejarah Bab III menyebutkan penjelasan tiga pokok hukum di antara prinsip-prinsip hukum yang ada dalam Kuntara Raja Niti, yaitu igama, dirgama dan karinah. Igama adalah yang dihukumkan, berarti sesuatu yang nyata dan kasatmata, bisa diakui keberadaan dan kebenarannya oleh semua orang. Dirgama itu hati nurani yaitu hukum-hukum yang ada pada kitab Kuntara Raja Niti sesuai dengan hati nurani. Karinah berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan. Dengan ketentuan tiga pokok hukum ini, diterangkan bahwa hukum-hukum yang ada bisa diogolongkan; hukum yang bersifat nyata itu kuntara, hukum yang sesuai dengan hati nurani disebut raja niti, sedangkan hukum yang yang berhubungan dengan sebab akibat suatu perbuatan disebut jugul muda. Bab IV, V, dan VI membahas seputar kaidah hukum yang ada pada Bab III. Produk hukum atau bab yang berisi tentang aturan-aturan secara detail termuat dari Bab VIII sampai Bab XVII. Pada Bab VIII, diterangkan tentang hukum-hukum suami-istri. Bab IX membahas tentang peraturan jual beli. Pada Bab X menerangkan tentang tanah. Bab XI membahas tentang utang. Bab XII tentang gadai dan upah. Bab XIII berisi tata cara bertamu dan menginap. Bab XIV berisi tentang larangan mengungkit-ungkit persoalan. Bab XV membicarakan tentang perjanjian. Bab XVI tentang talak, sedangkan Bab XVII membahas tentang utang piutang. Kitab tersebut secara perinci mengatur tata cara kemasyarakatan yang termuat dalam pasal-pasal. Dalam pasal-pasal juga diatur tata cara berperahu dan menggunakan air, bahkan sampai tentang cara seorang laki-laki bertamu ke rumah perempuan ketika suaminya tidak ada di rumah. Tiap-tiap pasal tidak hanya memuat peraturan, juga hukuman yang melanggar peraturan tersebut. > Artikel Terkait : Budaya Arkeoastronomi: Kesegarisan Candi Borobudur-Candi Pawon-Candi Mendut Budaya Subak Bali Ditetapkan Sebagai Warisan Dunia Oleh UNESCO KUNTAKHA KHAJA NITI "Naskah Kuno Asal Lampung"

GERABAH NUSANTARA: jambangan motif lampung kuno

GERABAH NUSANTARA: jambangan motif lampung kuno: tinggi :85 cm diameter :90 cm jenis : jambangan motif : lampung kuno Alamat : jl. Sawah Luhur KM.10 Kasemen Kota Serang 42191 banten...

On The Spot Bloggersetu: Kata Orang Singapure Tentang Fakta Di Indonesia khusus nya lampung

On The Spot Bloggersetu: Kata Orang Singapure Tentang Fakta Di Indonesia

5 Falsafah Hidup orang Lampung&7 Pedoman Hidup orang Lampung :

Sebagai orang yang lahir di Lampung sangat sedikit sekali saya kenal dengan budaya Lampung. Ini aja taunya setelah membaca twitnya akh Salim Fillah..hehe, jadi aupaya saya ingat terus ya saya copas aja ke blog saya…. 5 Falsafah Hidup orang Lampung: 1) Pi’il pesenggiri: Miliki harga diri, tegakkan kehormatan, malulah melakukan hal yang hina dalam pandangan agama dan adat. 2) Sakai sambaian: bekerjasama, bergotongroyong, tolong menolong, bahu membahu, saling memberi nan dihajatkan sesama. 3) Nemui nyimah: silaturrahim, murah hati, ramah tamah terhadap semua pihak, dari dalam kelompoknya maupun orang asing nan tetamu. 4) Nengah nyappur: pro-aktif dalam pergaulan, ambil peran di tengah masyarakat, jauhi individualisme. 5) Bejuluk baedek: Selalulah bertindak selaras dengan yang disandang; bukan hanya soal boleh-tak boleh, tapi jua pantas-tak pantas. 7 Pedoman Hidup orang Lampung : 1) mak nyerai ki mak karai, mak nyedor ki mak bador: beranilah hadapi tantangan. 2) ratong banjir mak kisir, ratong barak mak kirak: teguhlah dalam pendirian. 3) asal mak lesa tilah ya pegai, asal mak jera tilah ya kelai: tekunlah dalam meraih cita-cita. 4) pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu, sepuluh pandai sebelas ngulih-ulih, sepuluh tawai sebelas milih-pilih: fahami prbedaan 5) wat andah wat padah, repa ulah riya ulih: fahami bahwa hasil sebanding dengan ikhtiyar. 6) dang langkang dang nyapang, mari pekon mak ranggang, dang pungah dang lucah, mari pekon mak belah: Utamakan persatuan&kekompakan 7) wayni dang robok, iwani dapok: sungai tak keruh ikannya dapat, bijaksanalah atasi masalah. Semoga Bermanfaat ya Suka Be the first to like this. Komentar Somad sahidin mengatakan: 21 Februari 2011 pada 22:39 Tolong perjelas dan perdalam lagi materi2 nya dikarnakan ini sangat minim sekali untuk dipelajari Balas AM mengatakan: 6 Juli 2011 pada 13:59 wah, sepertinya harus cek website lampung aja…. Balas

pedEhku:arogansi pendatang yg takdiundang,dan hinaannya karena piil pesenggiri kita

pedEhku:arogansi pendatang yg takdiundang,dan hinaannya karena piil pesenggiri kita

All Comments (62) Sign In or Sign Up now to post a comment! This has been flagged as spam show indojantan 4 months ago This has been flagged as spam show indojantan 4 months ago bangga2 in bali padahal anak di bali anus nya udah pada dobol semua dihantam ma bule2 phedophilia ini fakta sampe masuk national geographic chanel tentang surga phedophille di bali BUKA MATA LO LEBAR2 ORANG BALI yang komen orang jawa lahir lampung i love lampung dan orang asli lampung indojantan 4 months ago ketahuan sekali bohongmu... ngaku orang jw lahir dilampung,,, budaya pembohong dipelihara..., paling kamu bernaksud jadi propokator.. kamu ngomongin orang lain tidak baik,,, apakah dirimu sudh baik atau sudah benar,,, urusin dirimu dan saudra2mu dulu..., Yang dibilang kamu itu berita kapan.? tgl berapa? yg lengkap.., saya juga nonton Chanel itu,,, jangan bohong..., kalau bisa kamu tunjukin orang mana saja,, siapa saja yg jadi korban,,namanya siapa orangnya mana, asal mana, bali atau luar bali.. antiterorable in reply to indojantan (Show the comment) 3 months ago Kejahatan memang ada dimana2.. seperti Kriminal, Teroris, kerusuhan, prostitusi, penipuan dll..dan masing2 daerah pasti ada...cuman ada yg parah & tidak.. dan masing2 daerah beda2, itu tergantung & pengaruh budaya prilaku orng setempt,,, Prostitusi/asusila termsk jg, di Bali msh ada wlaupun sedikit,,pdhal pemerinth sdh berusaha membernts.. Dan PELAKU2 DARI ORG ITU KEBANYAKAN DARI LUAR. YG MENCRI NAFKAH DIBALI..gak percya???,CEK langsung KeTKP, conth: Kejahatan Teroris,Tmt ESEK,pencril,dll antiterorable in reply to indojantan (Show the comment) 3 months ago This has been flagged as spam show indojantan 4 months ago This has been flagged as spam show indojantan 4 months ago DIMANA2 ORANG BALI ITU TERKENAL SOMBONG SAYA UDAH KETEMU ORANG BALI DILAUT,DIDARATAN EROPA CINA,SAUDI amerika, KARAKTER ORANG BALI ITU SOMBONG NGGK MAU BERKUM[PUL DGN SUKU LAIN YG SAMA2 ASAL INDO ,ORANG BALI MERASA LEBIH DAN ANGKUH padahal sama tki alias kuli yg komen orang jawa lahir lampung neehh indojantan 4 months ago yang begini biasanya sifat iri dari seseorang,,,,, kalau lihat orang orang lain maju,, sukses, atau berkembang... pasti orang itu berpemikiran semua dibilang sombong... INILAH CIRI2 ORANG IRI,,, kyknya semua sdh pada tahu.. jadi betul juga ya.... ini terjadi karena kecemburuan sosial,,, orang2 mencari cari-cari alasan.. supaya gak ketahuan... siafatnya yg yg memalukan.... antiterorable in reply to indojantan (Show the comment) 3 months ago @antiterorable mankanya bali kena bom dulu..sudah ketenuan allah mungkin..supaya mereka sadar..eh tpi kayaknya ada org yg blom sadar deh. poppy intan 5 months ago ngawur lagi logikamu, ajaranmu sesat..., memang dikitabmu itu ada bom karena tenuan allahmu.., apakah diajarkan untuk membunuh orang.., merakit bom untk diledakan,, SESATTT..., itu perbuatan manusia yg menekuni aliran sesat..., bukan dari allah..., Saya tahu semua Agama mengajarkan kebaikan, kalau ada agama mengajarkan membunuh, kerusuhan, bunh diri, menghancurkan,,, Itu sesattttt, orang goblok yg mempelajarinya... antiterorable in reply to poppy intan (Show the comment) 5 months ago @antiterorable di indonesia sudah disediakan bnyk sekolah..ya gak mungkin don kalo gak ada sekolah..lucu sih lu..oh ya buy the way lu sekolah lulusan apa? aku lulusan s2 di malaysia tpi gak sombong kayak kamu. poppy intan 5 months ago ya... kmu memang S2, saya gak mau tahu, maksud S2mu itu apa, sekolah setan atau strata sogokan, atau ngaku aja dikomen ini S2, klau memang S2,, mesti bisa nunjukin, bukan nunjukin pake ngaku2, itu sombong namanya,cara berfikir, ngomong, berbuat, cara menyelesaikan masalh itu sdh kelihatan... dari sana sdh kelihatan bohongnya... antiterorable in reply to poppy intan (Show the comment) 5 months ago @antosokangkuh bukan tidqk berpendidikin..org balinya aja yg berpendidikan dan gak ada.sopan santun gimana org lampung mau ada sopan santun..LOL..think positif if your village like this so what u doing poppy intan 5 months ago ngawurrrrrr. kamu.. bali sudah terkenal diseluruh dunia..kamu itu kurang berwawasan.. masalah sopan santun, keramah tamahan, toleransi, dan sebgainya,itu budaya bali seluruh dunia sudah tahu,,, kamu tahu.. kenapa banyak wisatawan asing banyak berlibur kebali, salah satuny karena itu,, gak ada yng berlibur kekampungmu yg penuh dengan kesombongan dan keangkuhan itu.kamu saja yg gak.punya sopan santun,,karakter orang yg terlalu ego, sombong, ingin selalu di hormati, kmu itu ngasi apa??, KAMPUNGAN. antiterorable in reply to poppy intan (Show the comment) 5 months ago org lampung tidak akan menganggu org bali KALAU org bali tidak.menggangu dulu..org lampung tidak akan iri hati dhn keberhasilan org bali itu..oh ya bagai mna dengan org bali yg suka2 keroyok org lampung dan tiba2 di bunuh dgn kejam? yg dibunuh itu yg tak tau apa2..so makanya jgn sombong sbb pakai.ilmu hitam..go to hell. poppy intan 5 months ago Jangan memberikan komentar jika tidak tahu asal muasal perkaranya, ini terjadi dikarenakan suku pribumi yg sudah geram dngan tingkah laku suku bali yg suka membakar & mnghancurkan desa lain, sasaran suku bali adlh suku jawa, sunda, dll. Akhirnya suku bali trkena batunya dngan menyerbu & membakar desa suku pribumi. Akhirnya suku pribumi & suku2 pndatang lain nya bersatu mnyerang desa suku bali. abdul munim 5 months ago This has been flagged as spam show antiterorable 6 months ago SEMUA MEMAKAI IKATAN DI KEPALA, ITU ADALAH JIMAT ......TAK SADAR BAHWA YANG DI PAKAI ITU IKATAN RAMBUT SETTTAAANN !!!! ikonmusa007 7 months ago Yg lebih parah lg orang bali, setan di sembah.xixixi abdul munim in reply to ikonmusa007 (Show the comment) 5 months ago kalo diadu satu kampung vs satu kampung,belum tentu menang kunyuk2 lampung ini, lagian mereka dibantu anjing2 bugis dan jaserang..payahhhh !!! mesecuricor 7 months ago hahaha..itu bukti kalo orang bali di Lamsel ituselalu buwat resah etnis2 disana...sehingga jaserang dan bugis mbantu lampung...biasanya kan kalian yg paling jago keroyokan mbakar2 rumah orang, ya sekali-kali lah biar tau gimana rasanya rumahnya dibakar orang, hihihi sungkaikobum in reply to mesecuricor (Show the comment) 7 months ago alah beraniy ngomong aja lok berani 1 by 1 Dedi Ian in reply to sungkaikobum (Show the comment) 7 months ago ok 1 by 1, dmn? abdul munim in reply to Dedi Ian (Show the comment) 5 months ago alah beraniy cman pas orang" baliy lg pda k kebun baru nyerang cobak lok orany ada mna berani dasr primitif... Dedi Ian in reply to sungkaikobum (Show the comment) 7 months ago itu mah alasan..pagi harinya orang bali jam 09.00 WIB menyerbu kampung kotadalam, bukannya pada ke kebon...lalu orang lampung nyerang balik ke Napal jam 12.00 WIB, lagian salah sendiri, tau kampung mau diserang malah ngacir ke kebon...heheheh sungkaikobum in reply to Dedi Ian (Show the comment) 7 months ago haha...buang selah aja lo. Jlas2 kalian lari terbirit2.hahaha abdul munim in reply to Dedi Ian (Show the comment) 5 months ago babi kamu !! jgn menghina suku lampung kamu ya, menilai baik buruk orang jgn dari suku & agama Dedi Zainuri in reply to mesecuricor (Show the comment) 6 months ago benar gan.... ini kan kejadiannya... pas lagi warga bali tidak ada disana..., disamping itu... moral warga2 ini kelihatan sekali premitif..., kampungan dan kekanak-kanakan... kalau memang suku atau agamanya bagus..... Pantaskah hal itu terjadi.... Konon saya dengar bahkan ada pura yg dibakar....apa itu yg dikatakan benar.../ bagus... kalau memang suku & Agama di lampung ini bagus TUNJUKANLAH......!!!!, buktinya?????..... """Pantas dihina.....""" antiterorable in reply to mesecuricor (Show the comment) 6 months ago This has been flagged as spam show abdul munim in reply to antiterorable (Show the comment) 5 months ago knapa mreka membantu???? tdk mungkin suku lain membantu jika tdk krn bali slalu mresahkan warga lain. abdul munim in reply to mesecuricor (Show the comment) 5 months ago lok mang cmburu sosial knapa orang lampung krjaany malaok aja..gk d sekolah gk d pasar sama aja masih aja otak primitf kmna" bawa golok cemen amat... Dedi Ian 7 months ago Sepertinya inilah representasi dari kebodohan ! Kenapa warga bali di lampung dianiaya ?? Sungguh arogan orang-orang seperti ini, adegan orang udik n sok jago ! SuperKomunikasi 7 months ago bagi yg mau marah ya silahkan marah...toh gak akan ada gunanya lagi, nasi udah jadi bubur, dan kampung udah rata jadi abu, hanya tinggal sesalan,... Pagi jam 09.00 WIB tampil jago, gagah banget nyerang kampung kotadalam, siangnya cuma bisa ngeliat dari jauh asep membumbung diatas kampungnya...sorenya rumah dan harta cuma tinggal kenangan, ilang sudah kegagahannya seprti di waktu pagi.... kasiaan... sungkaikobum 7 months ago jelas kami orang bali marah...  Dedi Ian in reply to sungkaikobum (Show the comment) 7 months ago matilah karena kemarahan kamu!!...emang kalo orang bali marah, mau ada tindakan apa?? mau perang lagi?? jadi pengen tau? waktu gak bisa diputar lagi bung...ntu akibatnya kalo semena-mena menyerbu kampung kotadalam, akhirnya sekarang jadi pecundang...:-) sungkaikobum in reply to Dedi Ian (Show the comment) 7 months ago disni tidak ada yang mati seperti yg kamu coment.. apa setelah ini... wargamu akan hidup bahagia???... bodoh sekali kamu....sangat jelas ciri2 orang primitif dan kampungan....dari warga lampung ini..... antiterorable in reply to sungkaikobum (Show the comment) 6 months ago apa disana tidak ada sekolah???,,, antiterorable in reply to antiterorable (Show the comment) 6 months ago kelihatan sekali warga ini kurang berpendidikan...,,, paling2 rata2 orang disana cuman lulusan SD doang..., makanya moralnya kurang... antiterorable in reply to antiterorable (Show the comment) 6 months ago @ip4nk91 @ip4nk91 ..kalau pun ada masalah.. bisa diselesaikan,, seharsnya bisa diseleaikan dg bijak.... kamu bilang penduduk bali suka main keroyok,,, buktinya yang dikeroyok mlh orang bali bahkan ada yg terluka... itu masalah lahan parkir aja...., ITU SPELE KOPLAK... kalaupun ada maslah lain... mana??? buktinya,,,???, antosokangkuh in reply to ip4nk91 (Show the comment) 8 months ago eh koplak, kamu ga tau permasalahan, yg masalah parkir sudah selesai, eh malah pagi nya orang bali yang nyerang orang lampung duluan, ya jelas donk kami tidak terima, buktinya itu dari pihak lampung 2 warga yg tidak tahu apa2 yg hendak bekerja terkena bacokan dan tangannya nyaris putus... pake otak mas kalo ngomong jangan pake pantat tod ip4nk91 in reply to antosokangkuh (Show the comment) 7 months ago in playlist Liked videos @ip4nk91... Kalau orang ngomong ya Pake MULUT,,, gak ada orang ngomong pake Otak atau pakae Pantat,,, Sama halnya orang berbuat atau bertindak,,, Gak ada orang bertindak Pake Otak,, pasti pakai tangan, kaki, atau fisik,,, Tetapi Otak yg mengendalikan utk berfikir terlbh dahulu, Kalau disini namanya KOMENTAR.. atau coment,,,, tahu gak ?gimana bisa mebedakan mana benar & salah,,, Buktinya dari logika saja kamu sudah ngawur..Otak sedangkal dengkul pura2 pinter kamu... sy tnggu comentnya... antiterorable in reply to ip4nk91 (Show the comment) 7 months ago .. buktinya yg main keroyok.... mana... tu liat diatas yg main keroyok..., warga mana???,,, manusia2 berkepala anjing... yg makan tai..., kamu orang mana???, kamu pernah gak tinggal didaerah lain..., kamu pernah ditinggal di Bali,,, asal kamu tau penduduk bali,,, orang seluruh indonesia banyak yang mengais rejeki dibali,,, orang asing juga banyak..., tapi gak KAMPUNGAN seperti ini... ini orang2 PRIMITIF dan KAMPUNGAN...pasti gak BERPENDIDIKAN.. antosokangkuh in reply to ip4nk91 (Show the comment) 8 months ago itu jelas2 warga bali udah pada ngungsi bodoh, mreka awal nya yg menyerang perkampungan duluan, sebelum warga lampung geram dan balik menyerang. ip4nk91 in reply to antosokangkuh (Show the comment) 7 months ago in playlist Liked videos fakta yg gak bisa dibantah, banyak etnis lain yg mbantu rame-rame mbakar kampung bali, karena mereka sudah resah dngn kelakuan orang bali di lampung selatan yang arogan...silahkan marah bagi yang mau marah...toh waktu gak akan bisa diputar kembali, dokumentasi2 diatas akan menjadi kenangan pahit, terhinanya orang2 yang berbuat sombong di tempat orang lain... sungkaikobum 8 months ago yang bentrok ini pun bukan hanya warga pribumi, tapi warga semendo, waarga jawa yang sudah geram dengan tingkah laku warga bali ini yang sok jago dan berani main keroyok, mreka juga sudah kelewat sabar untuk menghadapi warga bali yang semena-mena ip4nk91 8 months ago hey gg usah maen komennt aneh" lo qta gg akan reseh lox gg di reseh'in made9899 in reply to ip4nk91 (Show the comment) 8 months ago justru kalian itu yg suka reseh duluan stiap ada acara, pasti mw menguasai panggung dan daerah, sperti mreka yg punya acara. ip4nk91 in reply to made9899 (Show the comment) 7 months ago in playlist Liked videos bos yang mungkin anda orang bali yang berkomentar tidak mengetahui fakta, saya juga banyak temen orang bali, tapi bali yang tinggal di lampung selatan ini khususnya warga napal ini tidak berpendidikan dan sok jago semua, wajar jika anda orang bali membela kaum anda, tapi anda harus melihat fakta yang ada dilapangan bukan malah menjelekan kaum pribumi, anda harus tahu bagaimana kelakuan orang bali yang berada di lampung selatan ini seperti apa kelakuan sebenarnya. camkan itu bos. ip4nk91 8 months ago SAYA KASI TAHU ya...untu warga disana,...Kalau dibali itu penduduk mana saja ada,,,, wrg dari seluruh indonesia ada yg tinggl dibali, bahkan orang asing pun banyak...tetapi sbg tuan rumah jg tahu bagaimana memperlakukannya.... jikapun ada suatu permasalhan..itu bisa diselesaikan dengan bijak, GAK KAMPUNGAN SPRT ORANG2 INI,,,, KAYA GAK BERPENDIDIKAN SAJA.... antosokangkuh 8 months ago Sesuai dengan fakta,,, sikap arogansi orang lampung, suka maen keroyokan, semena2 dan menyerbu,, membakar,,,perumahan warga,,, itu faktanya sudah ada...., jangan dibalik...!!!, mungkin itu suatu alasan saja,, bhwa kejadian ini penyebabnya,, sprt yg dijelskan diatas,,, krn malu mengakuinya..., Itulan ciri2 orang KAMPUNGAN,,, apapun bs diselesaikan dengan bijak.... apalagi ada kejadian orng bali kena tusuk... krn suatu mslh... antosokangkuh 8 months ago masak hanya masalah spele saja sampai... seperti ini...., pasti ada sesuatu yang lain..., betul juga ya... pendapat orang lain... kecemburuan sosial...., Saya ajarin ni untuk wargga2 disana..., "orang itu berhasil karena bekerja keras"...., Seberapa besar kerjamu, segitulah hasilmu...., seberapa berat daya pikulmu, sebesar itulah yang kamu nikmati..... antiterorable 8 months ago penyebanya bukan karena kecemburuan sosial, tapi sikap arogansi dan kesombongan orang bali, banyak etnis lain selain bali yg lebih maju taref ekonominya, tapi gak pernah terjadi perang dng suku lampung, penyebabnya karena orang bali itu sok jago, maen keroyokan dan semena-mena menyerbu kampung kotadalam/ sungkaikobum in reply to antiterorable (Show the comment) 8 months ago This has been flagged as spam show antiterorable 8 months ago miris banget lihat nya...... hanya krna ulah segelintir orang semua jdi kena imbas nya... jdi kpkiran keluarga yg ada di sana.... wlpun gak ikut''an tpi rasa takut ttp ada..... cintailah DAMAI saudara'' q.... jutex girl 8 months ago Yg bilang ini karena warga B**I sok jagoan dan mengeroyok warga lokal hanya trik warga pribumi yang merasa kalah bersaing secara ekonomi dengan warga pendatang khususnya warga B**I, mereka iri melihat orang2 pendatang yang pkerja keras, pandai mengolah lahan sehingga timbul kecemburuan sosial. Jangan karena kalian warga pribumi harus mau selalu di hormati, setiap orang dilahirkan sama meskipun dia pendatang ato pribumi. kalau kalian takut bersaing jgn mengalihkan fakta! antisara100 8 months ago .saya orang smendo...kami juga sadar diri bahwa kami tinggal di lampung .ingat lah warga ba'''i ,kita di sini numpang..jd jangn seenak nya . ..ini akibat prilaku yang sok jago 15aditiyaify 8 months ago bumi ini kepunyaan Allah Bukan milik manusia hina mynarayhan 8 months ago Comment removed Author withheld maaf mas, yang dimaksud iri itu bagaimana ? ini sudah ga bisa dikasih hati lagi, kami orang lampung kurang welcome apalagi coba, kami sudah sangat ramah dengan golongan pendatang, asal anda ketahui saja, bukan kami orang lampung saja yang sudah tidak tahan dan pernah bentrok dengan kaum b**i ini, coba mas tengok dengan warga palas pasemah, warga jabung, marga catur, itu mreka smua warga jawa dan semendo yang juga tidak tahan dengan perilaku warga b**i yang semena-mena. ip4nk91 in reply to AM070809 (Show the comment) 8 months ago inilah akibatnya jika suatu golongan pendatang yang ingin menguasai suatu daerah, merasa paling hebat sendiri dan tidak memiliki sopan santun yang berani keroyokan dan bergerombol, tidak pernah berani sendiri - sendiri jika ingin membuat kerusuhan dan menginjak-injak harga diri orang yang bukan kaum mereka terutama menginjak-injak harga diri kaum suku pribumi. ip4nk91 8 months ago