Sunday, 7 October 2012

SEJARAH KERATUAN LAMPUNG

SEJARAH KERATUAN LAMPUNG Posted by nur pani on September 18, 2010 at 12:44 PM 1. Perpindahan Nenek Moyang Bangsa Indonesia Pada dahulu kala, nenek moyang bangsa Indonesia yang berasal dari daerah Yunan (Cina Selatan) melakukan perpindahan ke Selatan, hingga sampai ke pulau Sumatera. Di pulau Sumatera mereka pertama kali tinggal di daerah sekitar Danau Toba. Pada waktu itu - menurut cerita rakyat - Danau Toba dahulunya merupakan Gunung Berapi, sampai suatu saat Gunung itu meletus dan akibatnya letusannya yang besar terbentuk lah Danau yang besar yang dinamakan danau Toba. Akibat letusan itu sebagian rakyatnya berpindah ke berbagai penjuru diantaranya : Ada yang masih bertahan di daerah dekat Danau Toba menurunkan Suku Batak; ada yang pergi Pantai Timur Sumatera dan melakukan pelayaran hingga terdampar di Pulau Sulawesi dan menetap disana dan menurunkan Suku Bugis dan Minahasa ; Sedangkan yang mengungsi ke Selatan menuju Gunung Dempo (Sumatera Selatan) menurunkan Suku Lampung, Malayu, Rejang dan Palembang. 2. Masa-masa Keratuan Lampung Keratuan yang pernah berdiri di Lampung dan sekitarnya menurut masanya yaitu antara lain: a) Masa Keratuan Gunung Dempo Mungkin dinamakan Lamia Kepampang dalam sejarah lampung komering (dikaki Gunung Dempo). Setelah itu, sebagian anak keturunannya menyebar ke barat menurunkan suku Rejang, ke utara yaitu ke Pagaruyung menurunkan suku Malayu dan timur menurunkan suku Palembang, serta ke selatan menuju daerah Martapura dan Skala Brak (Lampung Barat) yang menurunkan suku Lampung yang masih menganut Agama Hindu atau Budha. b) Masa Keratuan Pemanggilan dan Puncak Keturunan keratuan dari Gunung Dempo tinggal di Martapura mendirikan Keratuan Pemanggilan dan Ke Skala Brak mendirikan Keratuan Dipuncak. Keratuan Pemanggilan dan Palembang mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Raja terkenal adalah Bala Putra Dewa. Raja Sriwijaya bersaudara dengan Raja Ho-Ling mendirikan kerajaan Mataram Kuno yaitu dinasti Sailendra (membuat monument Candi Borobudur) di Jawa Tengah. Setelah dinasti Sailendra, dilanjutkan dengan dinasti Sanjaya yang merupakan keturunan Kerajaan Sunda-Galuh Kuno di Jawa Barat dan Kerajaan Ho-Ling di Jawa Tengah. Jadi pada saat itu kerajaan Sriwijaya, Mataram Kuno dan Sunda-Galuh masih ada hubungan darah, karena ada perkawinan antar bangsawan kerajaan. Sedangkan Keratuan Dipuncak yang dalam catatan I-Tsing dikenal dengan nama To-Lo-Phwang (To: Orang dan Lo-Phwang: Lampung atau diatas bukit) atau Kendali (Kenali, Lampung Barat). Rajanya yang terkenal Sri Haridewa dan raja terakhir adalah Ratu Sekarmong (Ranji Pasai). Suku Lampung yang masih menganut agama Hindu Birawa ini dikenal dengan Buai Tumi. Kerajaan ini menjalin hubungan dengan Kerajaan Sunda-Galuh dengan pernikahan Putri Ratna Sarkati (Putri Raja Kendali Lampung) dengan Prabu Niskala Wastu Kencana (Putra Prabu Linggabuana, Raja Sunda-Galuh yang tewas di Perang Bubat). Kedatangan rombongan Putri Ratna Sarkati tersebut membawa Pisang Muli yang waktu itu hanya ada di Lampung. Sehingga pada saat ini di Jawa Barat dikenal juga dengan Pisang Muli atau Pisang Lampung. Dari pernikahan tersebut melahirkan Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan (Raja Sunda , ayah Kentrik Manik Mayang Sunda). Sedangkan istri kedua Prabu Niskala Wastu Kencana adalah Putri dari pamannya Resi Bunisora (adik Prabu Lingga Buana) dan melahirkan Prabu Ningrat Kencana (Raja Galuh, ayah Prabu Siliwangi). Setelah Keratuan Pemanggilan runtuh karena pusat kerajaan Sriwijaya berpindah ke daerah Palembang seiring perluasan daerah (penalukan sampai ke Asia Tenggara). Keturunannya menyebar ke selatan menuju Teluk Semaka, Pesisir Barat Krui, Teluk Lampung - atau ke Skala Brak yang masih berdiri Keratuan Puncak dan mengabdi sebagai penggawa (prajurit) disana - sehingga dikenal dengan nama Lampung Pesisir. Sedangkan keruntuhan Kerajaan Puncak (Kendali) disebabkan oleh penaklukan 8 orang putra Umpu Nggalang Paksi dari Kerajaan Malayu Pagar Ruyung yang sudah memeluk Islam. Mereka adalah Sibejalan Diway, Sinyekhupa, Sibelunguh, Sipernong, Si gekhok, Sitambuka (Sitambakukha), Sipetar, dan Sikumbar. Buai Tumi akhirnya meninggalkan Skala Brak menuju ke daerah pesisir pantai, mungkin ke Pesisir Barat Krui, Teluk semaka atau Teluk Lampung. Sedangkan empat putra Umpu Nggalang Paksi yang tertua menguasai daerah Skala Brak dan mendirikan Keratuan Paksi Pak yang sudah beragama Islam. Sedangkan empat putra yang lebih muda yaitu Sigekhok, Sitambuka (Sitambakukha), Sipetar, dan Sikumbar pergi ke matahari terbit. Mungkin ke Pesisir Teluk Semaka (Cukuh Balak), karena disana dikenal juga nama “Tamba Kukha” sebagai asal-usul salah satu Buai keturunan mereka (Sabatin Gedung, Makhga Putih Cukuh Balak – Baca : Sejarah Perkembangan Hukum Adat Lampung Pesisir Bandar Lima – Kecamatan Cukuh Balak). c) Masa Keratuan Balau, Pugung dan Paksi Pak Keratuan Puncak – yang berhubungan dengan Kerajaan Sunda-Galuh - yang telah runtuh mendirikan keratuan baru yang diberi nama Keratuan Balau yang terletak di kaki Gunung Jualang Tanjung Karang Timur. Keratuan ini masih berhubungan dengan kerajaan Sunda-Galuh baru yang dikenal nama kerajaan Padjajaran. Keratuan Balau runtuh karena terjadi perperangan yang tidak seimbang di wilayah Keratuan Balau atas campur tangan pihak Belanda. Keratuan baru juga berdiri di Labuhan Maringgai Lampung Timur yang dikenal dengan Keratuan Pugung. Ratu Pugung mempunyai anak yang bernama Putri Sinar Alam yang diperistri oleh Sunan Gunung Jati (Cucu Prabu Siliwangi dari permaisuri Subang Larang). Dari perkawinan tersebut melahirkan anak yang diberi nama Ratu Darah Putih yang kemudian hari mendirikan Keratuan Darah Putih di Kuripan, Kalianda Lampung Selatan. Keratuan Paksi Pak Skala Brak berdiri sekitar abad ke-15 dimana terdiri dari empat kepaksian yaitu : - Buay Bejalan Diway bertakhta kerajaan di Puncak Dalom - Buay Nyekhupa bertakhta kerajaan di Nampak Siring - Buay Belunguh bertakhta kerajaan di Tanjung Menang - Buay Pernong bertakhta kerajaan di Kota Hanibung Kepaksian Skala Brak tersebut masih ada hingga sekarang, dan sebagian keturunannya menyebar ke berbagai penjuru di Lampung. d) Masa Keratuan Darah Putih dan Berdirinya Adat Pepadun Keratuan Darah Putih yang didirikan oleh Ratu Darah Putih bersamaan masanya dengan pemerintahan Kesultanan Banten pertama oleh Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin (Sabangkingking) adalah kakak satu bapak lain ibu dari Ratu Darah Putih, dan keduanya putra Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ibu Sultan Hasanuddin adalah Nyai Kawunganten yang merupakan cucu dari Prabu Siliwangi dari Istrinya Centrik Manik Mayang Sunda (anak Prabu Susuk Tunggal, Raja Sunda yang berdarah Lampung). Jadi Sunan Gunung Jati dan Nyai Kawunganten merupakan sama-sama cucu dari Prabu Siliwangi yang berbeda nenek. Dengan adanya hubungan saudara antara Ratu Darah Putih dan Sultan Hasanuddin tersebut, menjadikan Lampung dan Banten saling membantu dalam menghadapi masalah atau konflik pada masa itu. Misalnya saja pada masanya pemerintahan Sultan Maulana Yusuf, Banten atas bantuan dari beberapa Kebuaian dari Lampung dapat menaklukan sisa-sisa Kerajaan Padjajaran yang masih beragama Hindu. Sehingga sisa-sisa prajurit Padjajaran yang tidak mau masuk islam mengungsi ke Banten Selatan yang kini disebut dengan Suku Badui. Disamping berdirinya Keratuan Darah Putih di daerah pesisir Teluk Lampung, berdiri pula di daerah Lampung Bagian Tengah dan Utara kesatuan Adat Lampung yang diberi nama Adat Pepadun sekitar abad ke-17 pada zaman kesultanan Banten. Pada mulanya terdiri dari 12 kebuaian (Abung Siwo Mego dan Pubian Telu Suku), kemudian ditambah 12 kebuaian lain yaitu Mego Pak Tulang Bawang, Buay Lima Way Kanan dan Sungkai Bunga Mayang (3 Buay) sehingga menjadi 24 kebuaian. Peranan Lampung dalam perdagangan abad ke-16 sampai abad ke-18 sebagai daerah penghasil Lada, Cengkeh, Kopi dan rempah-rempah, membuat Belanda ingin menguasai Lampung setelah menggunjang-ganjingkan kesultanan Banten dengan politik adu domba. Terjadilah perlawanan masyarakat Lampung atas bangsa Belanda yang telah berkedudukan tetap di Batavia (Jakarta). Perlawanan disetiap masanya itu dipimpin oleh Ratu Imba, Raden Intan I dan Raden Intan II yang merupakan keturunan dari Ratu Darah Putih. e) Masa Pembagian Marga Berdasarkan Teotorial-Genologis Setelah runtuhnya Keratuan Darah Putih karena sepeninggal Radin Intan II, Lampung menjadi kekuasaan Belanda. Tetapi perlawanan rakyat lampung tidak berhenti disitu saja tetapi berlangsung sampai zaman kedatangan Jepang. Pada masa Belanda, marga-marga Lampung yang tadinya kekuasaanya berdasarkan Geneologis-Territorial, diubah menjadi Territorial-Geneologis (Tahun 1928) yang membagi Suku Lampung menjadi 84 marga (lihat di wikipedia : Marga di Lampung). Dari itulah, maka marga-marga di Lampung itu berdiri sendiri, dan setiap penyimbang berkuasa pada marganya yang mewakili wilayah marga (kecamatan). Sampai kedatangan Jepang Tahun 1942, kekuasaan penyimbang dihapuskan dan diganti dengan kepala Kecamatan yang membawahi beberapa desa / pekon. Akan tetapi, sampai saat ini keberadaan Penyimbang Adat pada setiap marga masih ada, tetapi tidak berkewenangan dalam pemerintahan. Kesimpulan : Demikianlah sejarah singkat Keratuan Lampung yang pernah berdiri di Lampung dan sekitarnya. Hal ini, perlu kita ketahui bahwa diantaranya : - Suku satu dengan suku lainnya di Indonesia berasal dari nenek moyang yang sama, sehingga kita perlu mengerti untuk tidak membedakan suku-suku yang ada di Indonesia dengan tidak menganggap suku satu lebih beradab dan mulia dari suku yang lain. - Keberadaan Naskah Sejarah yang berasal dari Kitab dan Cerita Rakyat terdahulu, perlu dikaji lagi lebih dalam. Karena hal tersebut menjadi bukti bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang mempunyai kebudayaan yang tinggi yang telah ada sejak dahulu kala. Karena Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu akan sejarahnya. Sumber berasal dari beberapa naskah dan cerita yang pernah dibaca oleh Penulis. Jika ada kekeliruan atau kekurangan penulisan tempat atau nama, saya harap dapat pembaca dapat melengkapi artikel naskah “Sejarah Keratuan Lampung” ini. “Bangsa yang Besar Adalah Bangsa yang Mengenal Sejarahnya” Oleh : JAMA’UDDIN Categories: BUDAYA LAMPUNG

No comments:

Post a Comment