Sunday, 21 October 2012

joni sepriyan::lampung ethnic--Cikoneng: Perkampungan Suku Lampung di Banten, Lahir Dari Ikrar Persaudaraan

Wednesday, May 16, 2007 Cikoneng: Perkampungan Suku Lampung di Banten, Lahir Dari Ikrar Persaudaraan -- Muhammad Ma'ruf LAMUN ana musuh Banten, Lampung pangarep Banten tut wuri. Lamun ana musuh Lampung, Banten pangarep Lampung tut wuri... (Jika ada musuh Banten, Lampung yang akan menghadapi dan Banten mengikuti. Dan jika ada musuh Lampung, Banten yang akan menghadapi dan Lampung mengikuti...) Petikan Dalung Kuripan (Prasasti Kuripan) ini salah satu bukti kuatnya persahabatan masyarakat Banten dan Lampung. Persahabatan yang sudah berumur 400 tahun lebih inilah yang melahirkan sebuah perkampungan suku Lampung yang akrab disebut Lampung Cikoneng atau Cikoneng, di Kecamatan Anyer, Kabupetan Cilegon, Propinsi Banten. Tepatnya di Jalan Raya Anyer kilometer 128-129. Tidak terlalu susah menuju tempat ini. Dari Pelabuhan Merak kita bisa turun di Simpangan Anyer Cilegon. Dari situ kita naik oplet sampai Cikoneng dengan jarak tempuh setengah jam. Cikoneng terbagi menjadi empat, Kampung Tegal, Kampung Bojong, Kampung Cikoneng dan Kampung Salatuhur. Keempatnya secara administratif berada dalam satu pemerintahan desa, Desa Cikoneng. Dengan 11 RT dan 618 KK yang menempati areal seluas 18 hektare. Secara geografis Cikoneng terletak di bentangan Pantai Anyer Selatan. Jika diamati tipikal lokasinya, memang sama dengan yang disukai kebanyakan suku Lampung yakni dekat dengan pantai atau di pedalaman yang dekat aliran sungai. Tingkat ekonomi masyarakatnya sebagaian besar cukup sejahtera. Hanya sekitar 25 persen yang masuk kategori prasejahtera. Nelayan dan petani adalah profesi yang secara umum digeluti warga Cikoneng. Walaupun sektor pertanian hanya bisa panen satu kali dalam setahun. "Maklum di sini tidak ada irigasi, jadi untuk pertanian, ya tadah hujan," tutur H Yakub, Kepala Desa Cikoneng dalam perbincangan dengan Teknokra di kantornya, Jalan Raya Anyer kilometer 128 Kampung Salatuhur. Kini, saat kita menjejakkan kaki di perkampungan Cikoneng, kesan perkampungan Lampung memang seperti tak tampak. Semua terkesan biasa saja. Perumahan penduduk yang padat, permanen dan jauh dari kesan kumuh. Setelah menjelajah hampir separuh perkampungan, Teknokra tak menemui satu pun bukti kuat, seperti rumah panggung ataupun Siger Lampung di atap rumah penduduk. Annah (39), seorang pemilik warung kecil di ujung jalan Kampung Cikoneng mengakui walaupun menurut almarhum bapaknya ia masih punya keluarga di Kalianda tapi sejak lahir ia belum pernah ke Lampung. Apalagi menyaksikan adat Muli Meghanai (bujang-gadis), adat Sebambangan (larian) atau ramainya pesta tujuh hari tujuh malam pada waktu resepsi pernikahan adat Lampung. Gelombang perubahan memang terjadi di sana. Di era tahun 40-an, pembauran antar suku mulai dirasakan. Banyak para pendatang baru ke Cikoneng. "Mereka kebanyakan berasal dari suku Jawa dan Sunda," ungkap H Yakup. Meskipun begitu proporsinya masih didominasi suku Lampung, sekitar 75 banding 25 persen. Pada tahun 1958 Kampung Cikoneng menjadi sasaran bumi hangus pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo yang melumat habis Kampung Cikoneng beserta isinya. Kemudian di pertengahaan 70-an, kawasan Pantai Anyer yang ada di sepanjang perkampungan menjadi incaran invsetor Jakarta. Alhasil seperti terlihat Teknokra, nyaris tidak ada pantai yang bebas dan gratis. Semuanya dikapling oleh hotel-hotel maupun resort. Hanya Bahasa Walaupun begitu warna Lampung tak semuanya hilang. Bahasa mungkin satu bukti sejarah yang hingga kini masih lestari. Jangan heran kalau kita menyaksikan seluruh penduduk mulai dari orang tua sampai anak kecil biasa menggunakan bahasa Lampung. Misalnya Ilham (7) ketika mengantarkan Teknokra ke rumah H Agus Rasyidi, salah satu tokoh masyarakat Cikoneng, cakap berbahasa Lampung, pun sama dengan teman sebaya yang mengikutinya. Kebanggaan lain, justru masyarakat pendatang banyak mengikuti budaya mereka. Berlawanan dengan suku asalnya di Lampung yang justru tak mampu mempertahankan budaya asli dari budaya luar. "Mereka (warga pendatang,red) malah yang membaur dengan kami, terutama bahasanya," tutur H Hasyim, tokoh masyarakat Kampung Salatuhur. Namun bahasa lampung Cikoneng memang berbeda dengan bahasa Lampung di daerah asalnya. Bahkan sampai saat ini masih belum teridentifikasi dari dialek mana. Dan masuk akal memang, sebab menurut cerita, kedatangan rombongan warga Lampung ke Cikoneng berjumlah 40 kepala keluarga dari sembilan buai (marga,red). Menurut H Hasyim, kemungkinan besar hal ini yang membuat bahasa lampung di Cikoneng terdengar sedikit aneh ditelinga. "Kadang terdengar dialek api, di tengah percakapan tau-tau belok ke dialek nyow," ujar Hasyim. Usaha-usaha pelestarian budaya memang digalakkan. Pada 21 Agustus 1999 lalu, Cikoneng secara resmi menjadi bagian dari Organisasi Lampung Sai Wilayah khusus Pakpekon (empat kampung) yang saat ini diketuai H Agus dengan gelar Pemuka Pati. Beberapa penelitian pernah dilakukan oleh peneliti dari Universitas Pendidikan Bandung dan kabarnya ada peneliti dari FKIP Bahasa dan Sastra Universitas Lampung hendak meneliti unsur bahasa lampung Cikoneng. Epik Sejarah Embrio Cikoneng ditandai dengan ikrar saling membantu menjaga kedaulatan dan syiar Islam antara Pangeran Saba Kingking dari Kesultanan Banten dengan Ratu Darah Purih dari keratuan Lampung pada abad ke-16. Ikrar itu tertulis dalam sejarah Babat Kuripan dengan Dalung Kuripan (Prasasti Kuripan) yang ditulis dalam bahasa Jawa Banten. Realisasi Dalung Kuripan berlanjut pada penaklukan kerajaan Padjajaran, Kedaung, Kandang Wesi, Kuningan dan terakhir daerah Parung Kujang oleh prajurit dari Keratuan Lampung. Penaklukan daerah Parung Kujang (sekarang Kabupaten Sukabumi) terjadi pada abad ke-17, satu abad sesudah peristiwa Dalung Kuripan, menjadi janin keberadaan Cikoneng. Pada waktu penaklukan Parung Kujang, Keratuan Lampung tidak diketahui sedang dipimpin oleh siapa. Sebab kerajaan Lampung waktu itu ada dua, Kuripan (Kalianda) dan Tulang bawang (Menggala). Tetapi saat itu Kesultanan Banten diketahui sedang berada dalam pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Keratuan Lampung mengirimkan empat orang prajurit kakak beradik, yaitu Menak Gede, Menak Iladiraja, Menak Sengaji dan Menak Parung. Setelah keempat utusan datang ke Kesultanan Banten dan melapor, Sultan Agung nampak kecewa karena jumlahnya hanya empat, padahal biasanya 40 prajurit. Akan tetapi keraguan Sultan Agung dapat ditepis, setelah keempat prajurit itu dengan taktik tipu muslihatnya mengalahkan pasukan Parung Kujang. Kisah penaklukan itu sampai kini terkenal dengan cerita rakyat Cikoneng, Taktik Manusia Kerdil dan Baju Dendeng. Karena kesuksesan keempat prajurit Keratuan Lampung ini, Sultan Agung akhirnya mengangkat Menak Gede sebagai adipati di Kerajaan Banten. Namun setelah satu tahun menjabat, Menak Gede Meninggal dunia. Jabatan Adipati pun diserahkan kepada adiknya, Minak Iladiraja. Ia pun mengalami nasib yang sama, wafat setahun kemudian. Sayang, makam kedua kakak beradik itu tidak pernah diketahui sampai saat ini. Sepeninggalan Menak Iladiraja, Menak Sengaji dipanggil Sultan untuk menggantikan Menak Iladiraja. Akan tetapi Menak Sengaji tidak langsung menerima jabatan itu. Ia meminta syarat mau diangkat menjadi adipati di luar daerah kekuasaan kakaknya. Menak Sengaji ingin daerah Banten bagian barat, daerah yang langsung berhadapan dengan daerah leluhurnya. Ia juga meminta dibolehkan membawa saudara-saudaranya dari Lampung. Syarat itu diluluskan Sultan Agung. Malahan Sultan Agung memberi Menak Sengaji hak kepemilikan atas selat sunda termasuk Pulau Sangiang dan tanah sepanjang pesisir Selat Sunda, mulai dari Tanjung Purut (Merak) sampai ke Ujung Kulon. Dari Tanjung Purut ke pedalaman hingga ke Gunung Panenjuan (Mancak) dan terus membentang ke arah barat mencapai Gunung Haseupuan berakhir di Ujung Kulon. Setelah persetujuan itu, berangkatlah Menak Sengaji membawa 40 kepala keluarga yang terdiri dari sembilan buai, di antaranya Buai Aji, Arong, Rujung, Kuning, Bulan, Pandan, Manik dan Besindi. Pertama kali datang, kemungkinan terbawa arus timur, rombongan Menak Sengaji terdampar di teluk perak. Akhirnya rombongan beristirahat tidak jauh dari teluk, tempat itu kemudian diberi nama Kubang Lampung, artinya tempat mendarat kumpulan warga Lampung di Banten. Setelah mengalami tiga kali perpindahan tempat rombongan Menak Sengaji sepakat menempati kawasan pantai Anyer yang dulu bernama Alas Priuk dan pelabuhannya dinamai Pelabuhan Priuk. Kemudian mereka mendirikan pemukiman lampung yang diberi nama Kampung Bojong. Berputarnya roda waktu jumlah 40 KK itu beranak pinak, Kampung Bojong dimekarkan menjadi empat kampung yaitu Kampung Bojong, Kampung Cikoneng, Kampung Tegal dan terakhir Kampung Salatuhur. Ada cerita menarik, ketika rombongan ini sedang membuat kampung Salatuhur, Sultan Ageng tiba-tiba datang berkunjung. Kampung Salatuhur belum memiliki nama waktu itu. Dengan segera Menak Sengaji lalu meminta Sultan untuk memberi nama. Karena waktu sudah masuk waktu salat Zuhur, diberilah nama Kampung salat Zuhur dan karena perkembangan bahasa, kini ejaannya berganti menjadi Kampung Salatuhur. Masih di Kampung Salatuhur, Sultan Ageng mengajak untuk salat Zuhur berjamaah. Tapi sial, kampung belum memiliki sumur untuk mengambil air wudu. Kemudian Sultan berdiri dan berjalan ke suatu tempat lalu menancapkan tongkatnya. Setelah dicabut bekas tancapan itu mengeluarkan air (versi lain mengatakan Sultan menunjuk suatu tempat dengan tongkatnya untuk digali menjadi sumur). Tapi yang jelas, mata air itu masih utuh hingga kini dan terkenal dengan nama Sumur Agung, berdiameter kira-kira dua meter. Yang disayangkan semua cerita asal muasal perkampungan Cikoneng, hanya didapat dari para orang tua mereka yang mewariskan dari mulut ke mulut. "Saya sih dapat semua cerita ini dari orang tua, orang tua juga dari orang tuanya, turun-temurun gitu, kalau ditanya bukunya, ya nggak ada," tutur H Hasyim yang juga masih keturunan ke delapan Menak Sengaji mengakhiri perbincangan dengan Teknokra. Meskipun begitu, bukan berarti tak ada bukti sejarah. Selendang Cinde Wulung milik Ulubalang Raden Japati yang konon mampu mengeluarkan kilatan api dan menangkis tembakan meriam Belanda, kini diwarisi H Agus. Baju Antakusuma yang diwarisi H Hasyim, Sumur Agung yang terletak sepuluh meter di belakang kediaman H Hasyim dan Makam Menak Sengaji yang berada di pinggir Jalan Raya Anyer, Kampung Cempaka, Desa Anyer Kecamatan Anyer adalah saksi sejarah yang masih bisa kita saksikan. Sumber: Teknokra, tanggal tidak terlacak Posted by Udo Z Karzi at 5:22 AM 0 comments Ihwal: budaya, sejarah Cikoneng: Komunitas Lampung di Banten Sejak Abad XVI -- Yulia Sapthiani SIANG hari, di sebuah jalan desa yang berbatu-batu, beberapa anak kecil terlihat bermain sepeda. Tak jauh dari mereka, sekelompok ibu sedang mengelilingi pedagang sayur, berbelanja kebutuhan mereka. DARI celotehan anak-anak dan obrolan ibu-ibu di Kampung Cikoneng, Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Banten, itu terdengar logat khas Melayu, seperti logat bahasa orang-orang di beberapa daerah di daratan Sumatera. Tidak hanya sekelompok anak kecil dan ibu-ibu yang bicaranya berlogat Melayu. Seluruh penduduk di desa yang lokasinya tak jauh dari tempat wisata Pantai Anyer itu memiliki logat yang sama ketika berkomunikasi. "Sini nak, masuk. Silakan duduk," ujar seorang nenek bernama Sapariah (70-an), mempersilakan masuk ke dalam rumahnya. Bersama suaminya, Abdul Halim (80), nenek 12 cucu itu bercerita mengenai kehidupan mereka dan komunitas penduduk Desa Cikoneng. Dari cerita Sapariah terkuaklah bahwa mereka bersama ribuan warga lainnya di desa tersebut adalah komunitas orang-orang Lampung, provinsi yang letaknya tepat di seberang lautan tempat Sapariah, Abdul Halim, dan ribuan penduduk Lampung Cikoneng-begitu komunitas mereka dikenal-sekarang tinggal. Keberadaan mereka di tanah Banten yang terkenal dengan para jawaranya ini tumbuh bukan semata-mata ada perpindahan sekelompok orang Lampung ke daerah Banten. Tumbuhnya komunitas Lampung Cikoneng memiliki riwayat tersendiri yang berkaitan dengan sejarah bangsa ini. Konon, seperti yang diceritakan Abdul Halim dengan gamblang, keberadaan komunitas orang-orang Lampung di provinsi ke-30 di Indonesia ini tumbuh sejak abad XVI, di masa Kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570). Ketika itu, Sultan Maulana Hasanuddin, yang juga memiliki ikatan saudara dengan orang Lampung-khususnya dari Kerajaan Tulang Bawang-meminta bantuan orang-orang daerah tersebut untuk melaksanakan tugasnya, yaitu menyebarkan agama Islam di wilayah Banten. Bersamaan dengan dikirimkannya 40 orang dari Kerajaan Tulang Bawang dari sembilan buay (marga) untuk membantu tugas Sultan tersebut, disepakati pula perjanjian antara Sultan Maulana Hasanuddin dengan Ratu Dara Putih dari Kerajaan Tulang Bawang. Dalam perjanjian yang ditulis di atas dalong (tembaga)-konon hingga sekarang masih tersimpan di Kuripan, Lampung Selatan-ini dinyatakan bahwa jika orang-orang Banten memiliki masalah, orang-orang Lampung akan memberikan bantuan. Hal ini berlaku sebaliknya. "Sejak saat itulah, orang-orang Lampung berada di tanah Banten ini," jelas Abdul Halim, yang mengaku lahir di tanah Lampung. Matanya berkaca-kaca mengenang masa lalunya ketika pertama kali datang ke Banten. "Tahun 1950-an, saya datang ke Banten untuk menjadi nakhoda kapal. Saat itu, ada juragan perahu di Banten yang memiliki banyak kapal, tapi tidak punya nakhoda. Sejak itulah saya merantau ke Banten untuk bekerja menjadi nakhoda, sampai akhirnya bertemu ibu (Sapariah-Red) dan tinggal di sini," cerita Abdul Halim. Tidak seperti suaminya, Sapariah lahir di tanah Banten, tepatnya di Desa Cikoneng. Namun, seperti halnya Abdul Halim, orangtua Sapariah adalah orang-orang asli kelahiran Lampung. SELAIN keluarga Abdul Halim, sekitar 1.470 keluarga keturunan Lampung lainnya tinggal di Desa Cikoneng. Mereka tersebar di papekon (empat kampung). Selain Kampung Cikoneng, ribuan penduduk itu tinggal di Kampung Tegal, Kampung Tuhur, dan Kampung Bojong. Kepala Desa Cikoneng Yakub (50) menceritakan, hingga tahun 1940-an, penduduk Lampung yang tinggal di Desa Cikoneng sangat tertutup terhadap orang luar. Sampai-sampai ada larangan untuk menikah dengan orang di luar komunitas mereka. "Alasannya, takut putus garis keturunan," kata Yakub. Namun, dengan pertimbangan semakin majemuknya penduduk di sekitar desa yang sebagian besar mata pencaharian warganya adalah bertani ini, pengisolasian diri penduduk Desa Cikoneng pun dicabut. Sejak itu mereka dibebaskan bergaul bahkan menikah dengan orang-orang dari luar desa. Kini, dengan dibukanya batas-batas pergaulan komunitas Lampung Cikoneng, 25 persen penduduknya adalah orang -orang luar yang menikah dengan orang-orang dari komunitas tersebut. Namun, tak ubahnya orang-orang asli Lampung, warga "pendatang" pun sangat fasih berbahasa Lampung dengan ciri khas logat Melayu-nya. Saat ini, bahasa memang menjadi satu-satunya budaya Lampung yang masih melekat pada komunitas penduduk Lampung Cikoneng. Tradisi lainnya, seperti upacara adat pernikahan tak pernah lagi dipraktikkan secara utuh. "Kalau ingin melaksanakan upacara-upacara adat Lampung seratus persen, biayanya sangat mahal. Masyarakat tidak mampu lagi menyediakan biaya untuk melaksanakan upacara-upacara itu. Kalaupun dilaksanakan, paling-paling hanya bagian intinya saja," kata Mohammad Husin (60), tokoh masyarakat lainnya. Untuk itu, setiap keluarga komunitas Lampung Cikoneng berusaha melestarikan tradisi berbahasa Lampung mereka dengan menjadikan bahasa itu sebagai alat berkomunikasi sehari-hari. Sejak kecil, anak -anak mereka diajari bahasa Lampung. Akibatnya, tak sedikit di antara anak-anak itu yang dengan bangganya berkata "saya orang Lampung", meskipun Banten adalah tanah kelahiran mereka dan belum pernah sekalipun mereka menginjakkan kaki di tanah Lampung, tanah nenek moyangnya itu. Sementara itu, untuk menjalin ikatan persaudaraan antara sesama orang Lampung dari berbagai tempat di seluruh Indonesia, komunitas Lampung Cikoneng bergabung dalam sebuah perkumpulan yang disebut Lampung Say (Lampung Satu). Secara periodik mereka mengadakan pertemuan di berbagai daerah secara bergiliran. "Dengan semangat Lampung Say, persaudaraan orang-orang Lampung tetap terjaga, meskipun kami tersebar di berbagai daerah di Indonesia," kata Husin. Sumber: Kompas, Selasa, 18 Maret 2003 Posted by Udo Z Karzi at 5:20 AM 0 comments Ihwal: budaya, sejarah sumber : http://ulunlampung.blogspot.com/2007_05_01_archive.html Don't let your dream ride pass you by. Make it a reality with Yahoo! Autos. < Prev Next > SPONSOR RESULTS Ticket www.local.com - Find Ticket Here at Local.com! In Jobs indeed.com/in - Search for In Jobs. Find your new job today. Indeedx2122;. Girokonto Vergleich www.banken-auskunft.de - Top Konditionen & Zinsen jetzt Girokonten vergleichen! Expand Messages Author Sort by Date Cikoneng - perkampungan suku Lampung di BANTEN Wednesday, May 16, 2007 Cikoneng: Perkampungan Suku Lampung di Banten, Lahir Dari Ikrar... anung rey arigsi Offline Send Email Oct 4, 2007 4:44 pm < Prev Topic | Next Topic > Copyright © 2012 Yahoo! Inc. All rights reserved. Privacy Policy - Terms of Service - Copyright Policy - Guidelines NEW - Help

No comments:

Post a Comment