Sunday, 7 October 2012

KUTURUNKAN PUSAKA DAN SESUNGGUHNYA YANG KUTURUNKAN ITU ILMU

KUTURUNKAN PUSAKA DAN SESUNGGUHNYA YANG KUTURUNKAN ITU ILMU Nov 23, '09 5:45 AM untuk semuanya Setelah mempelajari beberapa jenis senjata dari Lampung, secara tak sengaja perhatian tertarik kepada pola/gambaran urat kayu yang tampak pada sarung/sampir/warangka. Senjata yang saya amati adalah : Keris Kelingi luk 19 , Beladau/badik Pagar Dewa ada juga yang menyebut badik Liwa, Badik Kelingi, dan Tungkok Pedang (tongkat Pedang) Yang menjadi daya tariknya, karena pola urat kayu pada sarung/sampir/warangka beberapa jenis senjata ini ternyata sama. Ini menunjukkan bahwa kayu yang digunakan sebagai bahan sarung/sampir/warangka telah dipilih dengan sangat teliti untuk menampilkan pola-pola urat kayu tertentu yang unik. Gambaran/pola yang terbentuk pada sarung/sampir/warangka senjata-senjata tersebut adalah sebagai berikut : · Pada satu sisi sarung terdapat gambaran garis bersilang yang pada umumnya di sebut Tapak Jalak, di Jawa disebut juga Rajah Kala Cakra (Ensiklopedi Keris). · Sisi lain dari sarung berpola melingkar Puser Bumi, melingkar seperti obat nyamuk Kul Buntet , atau setengah lingkaran Batu Lapak Keunikan kedua jenis pola / gambar tersebut muncul pada sarung yang merupakan kayu utuh tanpa sambungan, sehingga dapat dibayangkan bagaimana sukarnya memilih satu bagian dari kayu ,apalagi kayu kemuning, yang memiliki pola urat kayu tapak jalak pada satu sisi sekaligus puser bumi atau batu lapak pada sisi sebaliknya Di bawah ini gambar pola serat kayu pada sarung senjata tersebut Pola Tapak Jalak Pada Sarung Keris Kelingi/Anak Rumbai Pola Batu Lapak Pada Sarung Keris Kelingi/Anak Rumbai Pola Tapak Jalak Pada Sarung Beladau/ badik Pagar Dewa/Badik Liwa Pola lingkaran (kul buntet?) pada sarung Beladau/ badik Pagar Dewa/ Badik Liwa Pola Tapak Jalak Pada Sarung Badik Kelingi / Anak Rumbai Pola Batu Lapak Pada sarung Badik Kelingi/ Anak Rumbai Pola Tapak Jalak Pada Sarung Tungkok Pedang Pola Lingkaran pada sarung Tungkok Pedang Dapat dibayangkan betapa sulitnya menemukan kayu yang sesuai untuk bahan sampir seperti ini pada masa sekarang, sehingga menimbulkan pertanyaan apa sebetulnya tujuan pembuat pusaka itu bersusah payah membuat sampir dengan pola tersebut dan menjadikannya satu pakem tersendiri. Kalau hanya untuk keindahan mungkin banyak pola lain yang lebih menarik akan tetapi dengan bahan yang lebih mudah diperoleh , tidak dibatasi pakem tertentu yang diwarnai pola rumit yang menyulitkan, mungkin ada tujuan tertentu dari pembuat pusaka itu untuk disampaikan kepada generasinya kelak. Memahami Pola Tapak Jalak/Kala Cakra Tapak Jalak /Rajah Kala Cakra berbentuk garis bersilang dengan titik di tengah-tengah, menunjukkan filosofi sbb: Pelajaran mengenai diri. Empat cabang yang tergambar dalam pola tapak jalak mengisyaratkan empat unsur alam yaitu, api, angin, air, tanah yang merupakan pembentuk tubuh manusia. Oleh karena itu manusia menjadi alam kecil yang berada di tengah alam besar. Manusia adalah bagian dari alam. Kesimpulannya, manusia yang begitu kecil di tengah luasnya alam semesta ternyata jauh lebih kecil lagi dibandingkan kebesaran Yang Maha Besar. Empat cabang dalam pola tapak jalak juga menyiratkan empat nafsu yang ada pada manusia harus bergerak dari nafsu amarah (api), lawamah (angin), sufiah (air), menuju mutmainah (tanah) sehingga layak mendapat seruan untuk kembali kepada Tuhannya. Sebagaimana difirmankan “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Robmu dengan ridho dan diridhoi” (Q.s. Al Fajr: 27-28) Kesadaran tentang tempat dan waktu Bayangkan ketika anda berada pada titik persilangan dua garis tersebut, garis ke depan dan belakang menunjukkan waktu yang akan datang dan waktu yang telah berlalu, sementara garis ke kanan dan kiri menunjukkan barat dan timur. ‘ kebaikan itu ada pada saat ini ‘ dan seperti dikatakan dalam Al Qur’an ‘bukanlah kebaikan mengarahkan wajahmu ke Timur atau ke Barat ....’ (Qs. AlBaqarah: 177) Kedamaian tidak akan kita peroleh selama kita hidup dalam angan-angan tentang masa depan, ketakutan akan masa depan, atau penyesalan tentang masa lalu. Ketenangan juga tidak akan diperoleh bila kita silau dengan pandangan kita pada sekeliling dengan melihat harta orang yang lebih kaya dan kekuasaan orang yang lebih kuat, dsb. Terlebih lagi kita tidak akan mencapai kedamaian kalau kita silau dengan pandangan barat atau filosofi timur sepanjang nurani kita tidak menemukan kebenaran hakiki. Kebenaran itu ada di sini pada nuranimu, seperti Syekh Abdul Qodir Jailani mengatakan “ yang pertama kali paham adalah nuranimu....” (Menjadi Kekasih Allah,Citra Media 2007hal 36) Makna yang tersirat dalam gambar tapak jalak adalah tuntunan bagi kita agar menjalani hidup di masa sekarang, saat ini, bukan nanti bukan kemarin. Kejadian yang lalu biarlah berlalu, tidak bisa diulang kembali, kejadian yang akan datang belum pasti, biarkan datang dan hadapi. Hidup kita pun harus dijalani di sini bukan di tempat lain, jangan biarkan pikiran kalut mengembara ke mana-mana, nikmati hidupmu di sini saat ini. Perhatikan dan rasakan apabila kita menjalani hidup SEKARANG, tanpa kekurangan. Semua kebutuhan telah tersedia dan telah kita peroleh . Kita butuh makanan, telah tersedia bahkan mungkin baru saja makan. butuh berpakaian, kita sudah kenakan. Akan bepergian, segala alat transportasi telah ada, tinggal pilih apa yang paling nyaman dan sesuai. Sebetulnya apalagi kekurangan yang ada pada diri kita. Satu hal yang membuat kita merasa kekurangan dan merasa selalu dihantui oleh ketakutan-ketakutan yang tidak beralasan adalah ketika membayangkan hal-hal yang membuat kita merasa tidak nyaman di masa NANTI, seperti takut miskin, takut dibenci, takut ditagih hutang, dan segala macam ketakutan lain yang mengganggu ketenangan hati. Semua penjuru mata angin tunduk pada yang satu Apabila kita sadar bahwa diri kita sangat kecil dan kita telah membebaskan diri dari ikatan pengharapan maupun ketakutan pada makhluk, kita akan mencapai kesadaran berikutnya bahwa tujuan hidup kita yang seharusnya adalah apa yang menjadi tujuan penciptaan kita oleh Yang Maha Pencipta. Tujuannya adalah seperti difirmankan “ Dan tidak kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah” (Q.s.Adz Dzariyat :56) Semua mahluk di segala penjuru harus menundukkan diri pada Yang Satu. Kesadaran kita kepada Yang Satu tidak akan muncul selama kita masih sibuk dengan segala sesuatu di segala penjuru. Syekh Abdul Qadir Jailani mengatakan “apabila seseorang tidak lagi menggantungka hatinya pada makhluk, tentu dia akan menggantungkan hatinya dengan Allah, yaitu khaliqnya,. Maka Allah akan memperkayakan dirinya dengan makrifat dan kedekatan dengan-Nya.” Di sini timbul kesadaran bahwa ada satu garis imajiner dari tengah persilangan ke atas menuju Yang Esa Gabungan gambar Tapak Jalak sebagaimana tergambar dalam satu sisi sarung /warangka dengan kul buntet (gambar Lingkaran seperti obat nyamuk) pada sisi lain sarung, dengan pusat lingkaran kul buntet bertemu ditengah persilangan garis, di Lampung ada yang menyebutnya Gayung Angin (penyebutan nama ini sepertinya pengaruh Pagar Ruyung) sedangkan di Betawi disebut Panca sona. Gambaran tapak jalak, gayung angin, pancasona sering dihubungkan dengan ilmu kanuragan tetapi saya lebih memandang ini sebagai ajaran untuk menyampaikan kebenaran tentang diri. Bagaimana kita memandang alam, ruang, waktu, diri, dan hubungannya dengan Sang Pencipta persis seperti konsep-konsep tasawuf dalam Islam. Hubungan antara Rajah Kalacakra dan Hikayat Paksi Empat dan Buay Bulan Konon berdasarkan cerita dari tambo-tambo masyarakat Lampung pembentukan Lampung Islam terjadi lebih kurang pada abad ke-14. Ceritanya berbeda-beda tapi garis besarnya hampir serupa. Diawali dengan kedatangan Empu Belunguh dengan tujuh orang pengiringnya dari pagaruyung bergabung dengan umpu sahujan di Ranau, ada yang menyebut umpu paksi dengan delapan anaknya dari Pagaruyung (ada juga yang menduga dari Samudera Pasai) bergabung dengan Putri Bulan dan Benyata, ada juga yang mengatakan tiga umpu dari Pagaruyung dan satu Puyang dari Baka Kahyangan (dr Pajajaran) kemudian bergabung dengan penduduk dan tokoh-tokoh Lampung di Ranau dan Cenggiring seperti Puyang Sakti jurai dari Naga Berisang, Puyang Kuasa (buay Semenguk), Puyang Serata di Langit (Buay Nuwat),Puyang Pandak Sakti) dll. Intinya pendakwah yang datang dan tokoh-tokoh asli Lampung yang sudah Islam membentuk persekutuan dan berhasil mengalahkan suku Tumi, yaitu penduduk Lampung /Sekala Brak kuno pra Islam yang tetap mempertahankan kepercayaan lama dipimpin Ratu Sekarumong. Ratu Sekarumong dan pengikutnya tidak mau menerima Islam karena masih menyembah Lemasa pak Kepampang (pohon nangka bercabang empat), pohon ini disembah karena memiliki keajaiban. Getah yang keluar dari salah satu cabangnya dapat menimbulkan penyakit sementara getah dari cabang yang lain bersifat menyembuhkan. Setelah mengalahkan kerajaan Sekala Brak kuno/suku Tumi, para pendakwah ini sebagai pemenang menebang pohon nangka bercabang empat tersebut dan menjadikannya pepadun (tahta) kemudian mendirikan kerajaan Sekala Brak baru yang bernafaskan Islam. Wilayah sekala brak kuno dibagi menjadi empat bagian yang dipimpin empat umpu/datuk/raja yaitu: Umpu Bejalan Diway berkuasa di Paksi Buay Bejalan Diway dan memerintah di Puncak Dalom. Umpu Nyerupa berkuasa di Paksi Buay Nyerupa dan memerintah di Tampak Siring. Umpu Belunguh berkuasa di Paksi Buay Belunguh dan memerintah di Barnasi. Umpu Pernong berkuasa di Paksi Buay Pernong dan memerintah di Hanibung. Ditambah dengan Si Bulan tinggal di Cenggiring Way Nerima namun Si Bulan berpindah dan keluar dari Sekala Brak. Umpu Benyata di Luas namun tidak memiliki daerah kekuasaan karena tidak menjadi Paksi. Keempat raja ini yang persekutuannya sangat erat dengan Putri Bulan melahirkan ungkapan ‘ cumbung pak kelima sia ‘(empat mangkok yang kelima juga) Cerita di atas tampaknya menunjukkan filosofi yang sama dengan rajah tapak jalak/ kala cakra. Lemasa pak kepampang (nangka bercabang empat) menunjukkan empat cabang yang mengisyaratkan pengetahuan mengenai unsur alam dan pengenalan terhadap diri. Cerita tentang empat paksi/ empat buay yang dipimpin empat raja ditambah putri bulan, yang diistilahkan dengan ‘cumbung pak kelima sia ‘(empat mangkok kelima juga) menunjukkan filosofi yang sama. Empat paksi, mewakili empat garis pada gambar tapak jalak dan Putri bulan menunjukkan titik/lingkaran ditengah-tengah. Lalu apa perbedaan keyakinan antara penduduk suku Tumi dengan pohon nangka bercabang empatnya, dengan penduduk sekala brak pasca Islam dengan Paksi Empat dan Buay Bulan? Sesungguhnya cerita orang-orang dahulu kebanyakan berupa perumpamaan dengan maksud untuk menyampaikan nasehat kepada anak cucunya. Pohon nangka bercabang empat dengan cabang yang dapat membuat penyakit dan yang dapat menyembuhkan adalah ibarat manusia yang telah mengembangkan dirinya sedemikian rupa. Persis seperti pohon yang tumbuh besar dan kuat, sang manusia ini memiliki berbagai kelebihan baik kekuatan/kesaktian, ilmu pengetahuan, harta dsb sehingga dengan kekuatannya itu dapat menimbulkan kesejahteraan bagi orang di sekelilingnya yang dia sukai, maupun menimbulkan kesengsaraan kepada orang lain yang dibenci. Di sini letak kesalahannya karena pengembangan pribadi yang sedemikian hebat mengakibatkan seseorang menjadi pongah dan secara tidak sadar telah menuhankan dirinya sendiri. Pohon/pokok dirinya mungkin juga membangggakan dan menuhankan pokok keturunannya. Mengenai hal ini mungkin lebih jelas cerita tentang Firaun yang karena kekuasaan kekayaan dan kekuatannya akhirnya mengaku dirinya sebagai Tuhan yang dapat menyengsarakan atau sebaliknya, membahagiakan orang lain. Berbeda dengan Paksi Pak (Empat Paksi ) dan Buay Bulan, para penguasa baru yang berlandaskan Islam ini menunjukkan bahwa kesadaran/pengenalan tentang alam, waktu, dan diri manusia ini pada akhirnya harus menjadikan manusia sadar tentang kekerdilan dirinya. Ini ditunjukkan dengan titik /lingkaran kecil dalam gambar tapak jalak) dan oleh karena itu manusia harus menjadi wadah yang terbuka (ibarat mangkok) menghadap kepada Tuhannya sebagai hamba dan wadah yang siap menerima perintah Tuhannya sebagai khalifah. Ini diibaratkan dengan putri bulan yang merupakan perumpamaan bagi benda langit yang memantulkan cahaya dari matahari. Al Ghazali dalam membahas hati mengatakan lebih kurang sebagai berikut “hatimu adalah cermin yang bila kau bersihkan dan kau arahkan ke arah yang tepat dia akan memancarkan...” penulis juga teringat buku Tao the Cing dimana Lao tzu mengatakan ” jadilah seperti danau di lembah apabila airnya tenang maka akan memantulkan...” alangkah sesuainya kalimat-kalimat tersebut dengan perumpamaan putri bulan di Cenggiring Way Nerima (Putri bulan di daerah Cenggiring di Sungai Nerima). Betapa dalam ajaran yang disampaikan oleh nenek moyang kita. Melalui gambaran pada pusaka peninggalannya serta hikayat yang dituliskan dan diceritakan secara turun-temurun, seolah mereka tersenyum pada kita anak cucunya seraya berkata ‘Kuturunkan pusaka dan sesungguhnya yang kuturunkan adalah ilmu dan yang kusampaikan adalah cerita. Namun sesungguhnya yang kusampaikan adalah ilmu, maka pelajarilah’ Berdasarkan kepada paparan di atas, saya ingin menyampaikan permohonan maaf kepada para sesepuh serta masyarakat Lampung, apabila ada paparan yang tidak sesuai dan kurang berkenan. Saya tidak bermaksud mengangkat salah satu buay dibanding buay lainnya. Perdebatan mengenai berbagai jurai dan kompleksitas masalahnya pun bukan menjadi fokus perhatian saya. Mengenai buay lain yang tidak disebutkan karena saya pikir hanya untuk kemudahan dalam usaha menyampaikan kebenaran secara tersirat bukan untuk mengecilkan peran buay lainnya. Hikayat empat paksi dan buay bulan dalam ungkapan ‘cumbung pak kelima sia’ adalah cerita untuk menyampaikan ilmu bukan pengesahan mengenai buay mana yang lebih berperan atau yang lebih unggul atau bahkan yang lebih dituakan. Demikian apa yang dapat saya sampaikan. Saya sadar, mungkin banyak kekurangan dan kesalahan yang telah saya paparkan, oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan nasihat dari para sahabat untuk meluruskannya, sehingga paparan ini bisa bermanfaat bagi yang memerlukannya sebagai tambahan pengetahuan. Malang 18 Nopember 2009 Kata kunci: filosofi, pusaka, sarung Sebelumnya: Tombak Biring Lanang Selanjutnya : AJI SAKA DARI LAMPUNG KE JAWA SATU STRATEGI PENYEBARAN ISLAM balas Tautan Bersponsor Shop at the Multiply Marketplace Low Prices on Shoes, Jewelry, Clothing, Food, Accessories, T-Shirts, Electronics and much more. Safe Shopping from friendly, trusted sellers. Great deals on local items. KomentarKronologis Kebalikan Berdasar topik abastajab balas abastajab menulis on Nov 23, '09 Terima kasih tuan. Saya juga pernah diceritakan mengenai hal ini. Namun sekarang ia amat berbeza. Tukang pembuat sampir, sarung dan juga hulu terlalu amat sukar untuk memenuhi hajat. Bukan sahaja hajat pembuat malahan hajat sipeminta agar dibuat begini atau begitu untuk sampir dan sarung senjata mereka. Namun masih kedapatan pembuat sampir ini yang tahu akan ilmu ini. Biasanya ia terlalu lambat untuk menyiapkan setiap penempahan bukan karena bahan yang susah didapati namun faktor waktu yang sesuai, hari dan bulan yang amat bagus untuk memulakan ukiran juga diambil kira. Hanya kesabaran kita sahaja yang bisa mengobati segala kemuskilan ini. husnul70 balas husnul70 menulis on Nov 24, '09 terimakasih tuan Abas karena mau berbagi ilmu di sini, tambahan ilmu bagi saya bahwa untuk memulai mengukir sampir seperti ini diperlukan perhitungan waktu yang sesuai, dan saya bersyukur bahwa di Malaysia masih terdapat pembuat sampir yang mengerti dan memegang ilmu membuat sampir semacam ini.Mungkin di Lampung sendiri ilmu memilih serat kayu dan proses pembuatan sarung seperti ini sudah punah meski saya sangat berharap masih ada yg memiliki ilmunya Saya rasa meskipun lama dan harus bersabar tetap layak kita memesan sarung sejenis kepada pembuat sarung yg masih mempertahankan ilmu lama ini, dengan begitu selain memperoleh sampir yang unik saya kira kita juga turut melestarikan budaya. dewangsakesuma balas dewangsakesuma menulis on Nov 24, '09 menurut silsilah yang ada di tulang bawang puyang nagabrisang yang menurunkan orang2 yang ada di tulang bawang dan dalam cerita adat yang ada putri bulan keluar dari sekala berak ke Tulang bawang menurunkan salah satu dari 4 marga yang ada yaitu buai bulan husnul70 balas husnul70 menulis on Nov 24, '09, telah disunting on Nov 24, '09 bang kesuma terimakasih, Puyang naga brisang menurunkan puyang sakti, puyang sakti menurunkan 2 org: putri bulan dan puyang junjungan sakti, putri bulan menurunkan buay bulan puyang junjungan sakti tdk disebut keturunannya http://institut-lampungologi.blogspot.com/2009/05/asal-usul-suku-lampung.html, menurut catatan dari Pugung Bambang-Krui, Raja Naga Berisang menurunkan pemuka Sakti Dewa dst sampai pugung Bambang di Krui sekarang, nama2 sering berbeda disebabkn adok/gelar, sering satu orang mempunyai banyak nama/ gelar. Naga Berisang ada jg yg menyebut minanga berisang Tambahkan Komentar Pasar Filipina · Pasar Indonesia · Buka Toko, Gratis © 2012 Multiply · Indonesian · Perihal · Blog · Syarat · Privasi · Perusahaan · Iklankan · API · Bantuan · Sitemap

No comments:

Post a Comment