Monday 24 September 2012

ORANG KRUI MENAKHLUKKAN DIPTEROCARPACEAE

ORANG KRUI MENAKHLUKKAN DIPTEROCARPACEAE Pesisir Krui adalah suatu wilayah perpaduan antara pantai dan pegunungan yang tipis memanjang – lebih dari 120 km – yang terletak di sebelah barat Bukit Barisan, dan merupakan wilayah paling barat dari Provinsi Lampung. Pesisir Krui terdiri atas 3 kecamatan induk, 3 kecamatan pembantu, dan 74 desa; merupakan bagian wilayah dari Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung. Kepadatan penduduk Pesisir Krui sangatlah beragam; antara yang kurang dari 20 orang/km2 (Kec. Pesisir Selatan) sampai dengan 100 orang/km2. Masyarakat Pesisir Krui adalah Suku Pesisir (Peminggir) yang berdasarkan wilayah adat seluruhnya terbagi atas 16 marga dan masing-masing marga dipimpin oleh seorang Saibatin. Wilayah adat dari keenambelas marga di Pesisir Krui ini di sebelah barat berbatasan dengan Samudra Indonesia dan di sebelah timur (daratan) dikelilingi oleh Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Hutan-hutan alam Indonesia menghasilkan paling tidak tiga jenis resin : terpentin (resin dari pohon jenis pinus), kopal (resin dari pohon jenis agathis), dan damar (resin dari pohon keluarga dipterocarpaceae). Biasanya damar dianggap bermutu rendah dibandingkan dengan kopal atau terpentin. Akan tetapi damar mata kucing – pada umumnya dihasilkan oleh Shorea javanica – mempunyai kualitas yang tinggi, sebanding dengan kopal dan terpentin. Yang sangat menakjubkan adalah bahwa 80% produksi resin damar Indonesia yang jumlah produksinya kurang lebih 10.000 ton per tahun berasal dari Pesisir Krui. Yang lebih menakjubkan lagi adalah hampir seluruh resin damar yang dihasilkan Pesisir Krui berasal dari keluarga dipterocarpaceae (keluarga meranti) – terutama Shorea javanica – yang telah dibudidayakan oleh Masyarakat Pesisir Krui paling tidak selama 100 tahun. Di antara 70 desa yang tersebar sepanjang Pesisir Krui ternyata hanya 13 desa (20%) saja yang tidak memiliki repong[1] damar. Lebih dari separuh penduduk Pesisir Krui terlibat dalam produksi damar (pemilik repong, pedagang pengumpul, kuli angkut, pedagang besar damar, pengusaha angkutan, buruh sortir, dsb.). Pada masa yang akan datang repong damar di Pesisir Krui akan semakin meluas. Orang Krui pelopor penakhlukan dipterocarpaceae ! Dari sudut pandang ekologi, proses Masyarakat Pesisir Krui membuka lahan sampai dengan membentuk repong damar sangat mirip dengan urutan suksesi ekologi hutan : 1) Pada tahap pertama lahan dibuka dan dijadikan ladang padi tadah hujan (fase rerumputan); 2) Tahap berikutnya adalah menanami bekas ladang dengan tanaman kopi atau lada (fase pohon perintis); 3) Tahap berikutnya adalah penanaman damar, pohon buah-buahan dan kayu-kayuan yang pada akhirnya akan menjadi dewasa dan kemudian disebut repong (fase hutan dewasa). Urutan yang ekologis ini juga menjamin fungsi perlindungan tanah dan evolusi iklim mikro. Tahapan kebun kopi dan penanaman dadap – tempat merambat tanaman lada – memberikan suasana lembab dan teduh sehingga anakan damar yang ditanam di sela-selanya bisa tumbuh dengan subur dan tanpa terganggu gulma. Dipterocarpaceae yang secara teoritis sulit untuk dikembangbiakkan ternyata hal yang remeh-temeh bagi Masyarakat Pesisir Krui. Proses suksesi vegetasi ini juga penting secara ekonomi. Dalam kondisi biasa areal lahan yang hanya melulu ditanami pohon damar akan menjadi tidak produktif paling tidak selama 20 – 25 tahun; baru menjadi produktif apabila pohon damar sudah bisa mulai ditakik dan diambil getahnya. Dengan strategi suksesi vegetasi seperti di atas (padi – kebun kopi/lada – buah-buahan – damar) maka masa tidak produktif lahan hanya menjadi 5 sampai 10 tahun saja. Masalah tenaga kerja dan biaya untuk memelihara tanaman damar menjadi tersamar ke dalam tenaga kerja dan biaya budidaya kopi / lada. Repong damar di Pesisir Krui adalah contoh dari keberhasilan sistem yang dirancang dan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat setempat dalam mengelola sumberdaya hutan dengan lestari dan menguntungkan. Sistem ini unik dan dengan nyaris sempurna telah berhasil merekonstruksi ekosistem hutan alam pada lahan-lahan pertanian, dan bukannya menjinakkan jenis pohon hutan dengan memodifikasi ciri-cirinya agar sesuai dengan ekosistem budidaya. Ini menunjukkan satu penguasaan ekologi sumberdaya pohon hutan yang luar biasa. Sistem ini terbukti mampu berproduksi dalam jangka panjang, mendatangkan hasil ekonomi yang memuaskan, dan memiliki dasar sosial budaya yang mengakar dalam kehidupan masyarakat. Sayangnya budaya budidaya damar yang luar biasa itu dan dikembangkan oleh Masyarakat Pesisir Krui di tanah adatnya sendiri itu tidak dipandang sebelah mata oleh para pengambil kebijakan. Sangatlah jelas bahwa tanah marga di Krui, yang di sebelah barat berbatasan dengan laut dan di sebelah timur berbatasan dengan TNBBS dan memanjang sepanjang pesisir, adalah sepenuhnya menjadi kedaulatan marga-marga di Pesisir sejak jaman Belanda dulu. Akan tetapi pada saat ini, secara sepihak, pemerintah menetapkan separo dari tanah adat itu menjadi hutan negara. Karena dianggap hutan negara maka pada tahun 70-an hutan di Pesisir Krui ditetapkan menjadi wilayah kerja pengusahaan hutan[2]. Sejak Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) ditetapkan pada tahun 1982 separo dari tanah adat Masyarakat Pesisir Krui ditetapkan menjadi hutan produksi terbatas (HPT). Masyarakat Pesisir Krui keberatan atas penetapan HPT pada tanah adat mereka; mereka melakukan protes dengan mengirimkan berbagai surat keberatan kepada Menteri Kehutanan. Untuk mengakomodir tuntutan ini Menteri Kehutanan kemudian menetapkan Kawasan Hutan di Pesisir Krui menjadi Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KDTI) berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 47/1998. Inipun tidak memuaskan masyarakat. Sangatlah kuat tuntutan masyarakat agar tanahnya dikeluarkan dari kawasan hutan dan mereka diberi kebebasan mengelola dan memanfaatkan tanahnya; tidak ada alasan melarang Masyarakat Krui mengurus tanahnya, mengingat kemampuannya yang luar biasa membudidayakan tanaman hutan. Sangatlah tidak jelas alasan pemerintah menetapkan kebijakan sepihak yang begitu buruk di atas. Fakta menunjukkan bahwa Masyarakat Pesisir Krui telah berhasil dengan berhasil merencanakan dan mengaplikasikan sistem budidaya kehutanan (budidaya repong damar), sementara itu pemerintah yang mempunyai kewenangan yang luar biasa terhadap kawasan hutan ternyata sama sekali tidak sanggup menghalangi pengrusakan hutan. Tidak ada alasan menuduh Masyarakat Pesisir Krui sebagai calon perusak hutan. Penetapan sepihak Tanah Adat Masyarakat Pesisir Krui menjadi hutan negara adalah pelanggaran hak hidup yang perlu diluruskan. Penetapan kebijakan buruk ini apakah karena memang pemerintah tidak memiliki informasi yang cukup tentang keberhasilan masyarakat Krui, atau karena “kesilauan” sistem yang dianut pemerintah selama ini yang cenderung meremehkan pengetahuan masyarakat atau karena memang kecenderungan pemerintah untuk hanya memperkukuh kewenangannya ? Sebenarnya sudah cukup banyak berbagai data dan penelitian yang menunjukkan kearifan masyarakat dalam mengurus sumberdaya hutan. Masyarakat Das Mengkatip di Kalimantan Tengah, yang tanahnya dirampas untuk dijadikan “lahan gambut sejuta hektar”, secara turun-temurun telah membudidayakan rotan. Beberapa desa di Tapanuli telah puluhan tahun membudidayakan tanaman kemenyan. Masyarakat Adat di Kalimantan Barat telah mengembangkan pemanfaatan tanah adatnya menjadi berbagai poligon kecil tata guna lahan (perladangan, kebun karet rakyat, keramat, rimba larangan, kompokng, dsb.) yang arif dan penuh logika keruangan. Masih banyak contoh-contoh kearifan masyarakat dalam mengurus sumberdaya hutan. Sayangnya pada umumnya mengalami nasib yang sama; keberadaanya, baik hak maupun sistemnya, cenderung diremehkan oleh para pengambil kebijakan. [1] Repong adalah istilah lokal Pesisir Krui yang menggambarkan suatu kebun hutan atau wanatani yang berisikan berbagai macam pohon dengan pohon damar sebagai tanaman utama. [2] Perusahaan pengusahaan hutan ini pada akhirnya tidak bisa beroperasi sepenuhnya karena mendapatkan tentangan keras dari masyarakat Pesisir Krui.

No comments:

Post a Comment