Monday 24 September 2012

Krui

Gabung Multiply Buka Toko, Gratis Masuk ke Site Bantuan English MultiplyLogo CARI wordstraveler BerandaCatatanBlogFotoVideoTinjauanTautan Blog Entri Bondi Krui Oct 3, '11 1:04 PM untuk semuanya Thomas Stanford Raffles mungkin tak pernah menyangka bahwa kota pelabuhan yang pernah dikunjunginya pada sekitar tahun 1816 ini nantinya akan menjadi salah satu daerah wisata yang paling diincar para peselancar dunia. Saat itu Raffles datang bukan untuk menikmati deburan ombak di pinggir pantai, tapi lebih kepada urusan kolonial. Mungkin juga karena di zaman itu olah raga selancar air memang belum ada. Krui. Mendengar namanya saja sudah membuat sebagian besar orang bertanya-tanya tentang lokasinya. Ia memang tak setenar Bali atau Lombok. Desa nelayan yang terletak di sebelah barat Propinsi Lampung ini memang tak begitu dikenal oleh para pelancong domestik. Namun di kalangan peselancar, Krui adalah kawasan wajib kunjung. Menggunakan bus Krui Putra dari terminal induk Rajabasa di Bandar Lampung, perjalanan menuju Krui memakan waktru sekitar enam jam sudah termasuk beristirahat selama satu jam di tengah perjalanan. Informasi dari petugas di terminal, bus Krui Putra yang memang khusus melayani jalur Rajabasa – Krui ini terdiri dari dua rute. Pertama, bus ini melewati jalur barat yang membelah bukit dan kemudian menyusuri pesisir pantai barat Lampung. Kedua, bus melewati jalur selatan atau jalur tengah yang banyak melewati hutan dan perbukitan. Rute kedua ini memakan waktu lebih lama, yaitu sekitar 8 jam. Karena ingin mengirit waktu, saya memilih rute pertama yang lebih singkat. Bus seukuran Metro Mini tanpa AC ini juga lumayan penuh penumpangnya. Semua kursi terisi penuh meski saya harus menunggu dua jam di terminal. Dengan tarif Rp 36.000, saya sudah bisa menikmati perjalanan dengan pemandangan dan dentuman dangdut remix melalui empat buah speaker yang terpasang di bagian depan bus. Di era kekuasaan Orde Baru, Lampung juga merupakan salah satu daerah yang menjadi target pemerintah untuk membuka daerah transmigran. Tak heran di dalam bus, saya justru mendengar banyak sekali logat medok Jawa di antara penumpang. Tak cuma itu, kenek bus juga fasih berbicara dengan logat Jawa. Memasuki Krui, saya belum melihat tanda-tanda surga peselancar. Mungkin karena sudah sore, jadi para peselancar sibuk mengejar ombak dengan board-nya di pantai. Hotel Selalaw adalah tujuan pertama saya begitu tiba di Krui. Meski hotel ini berdiri persis di samping hotel lainnya, namun Hotel Selalaw terlihat lebih penuh. Sayangnya, kamar nyaman dengan fasilitas AC dan TV ini harus terusik dengan seringnya mati lampu. Mungkin itu sebabnya hampir di semua hotel dan toko di sini terdapat satu unit genset di depannya. “Krui memang sering mati lampu,” kata seorang warga lokal. Krui sebetulnya adalah sebuah desa nelayan. Letaknya yang di pesisir Samudera Hindia membuat Krui kaya akan hasil laut dan pantai dengan ombak yang menantang. Kini, Krui yang juga adalah ibukota dari Kecamatan Pesisir Tengah, Propinsi Lampung ini lebih dikenal dengan wisata pantainya. Bahkan Krui juga disinyalir sebagai surfing spot terbaik di Sumatera karena ombaknya yang tinggi dan konstan. Di bulan April hingga November bahkan ketinggian ombak bisa mencapai 7 meter. Pagi hari, saat air laut sedang pasang, saya hanya menemui tiga orang peselancar dengan bodyboard. Berbeda dengan pantai surfing lainnya yang ramai di pagi hari, pantai Labuhan Jukung yang letaknya tak jauh dari pasar ikan justru sepi. Menurut warga sekitar, biasanya peselancar unjuk gigi dengan surfboard-nya di sekitar Pantai Labuhan Jukung, pantai Werda dan pantai Walur. Ketiga pantai ini letaknya saling bersebelahan. Namun begitu, karakteristik sangat berbeda. Labuhan Jukung memiliki bibir pantai yang lebih luas dan terdapat banyak perahu nelayan yang berjejer di ujung pantai. Sesekali saya bisa melihat perahu nelayan yang berlalu-lalang di perairan dangkal mencari ikan. Sedangkan pantai Werda dan Walur lebih banyak dihiasi karang dan memiliki bibir pantai yang lebih sempit. Di dua pantai ini terdapat beberapa surfcamp atau penginapan yang dibangun oleh orang-orang asing khusus untuk mereka yang haus akan ombak. Keunikan pantai-pantai di Krui adalah adanya perairan dangkal yang cukup luas sebelum dataran curam dengan ombak tinggi yang menjadi target para peselancar untuk mengejar ombak. Semakin siang, semakin banyak peselancar yang saya jumpai di sepanjang pantai. Ombak saya perhatikan juga semakin tinggi dan bergulung-gulung liar. Beberapa peselancar kadang bersusah payah untuk mengejar sebelum akhirnya digulung ombak. Semakin besar ombak yang datang, semakin penasaran para peselancar. Mungkin itu sebabnya orang-orang ini betah seharian penuh berada di bawah terik panas sambil mencari-cari ombak. Berselancar ternyata menyebabkan kecanduan! Tak heran jika sekitar seratus ribu peselancar asing tiap tahunnya datang ke Krui. Meski di mata internasional Krui dikenal sebagai surfing spot, tapi maskot kota ini bukanlah papan selancar. Rentang sejarah telah membuktikan bahwa Krui dulu berawal dari sebuah kota pelabuhan yang kaya akan hasil laut. Bukan surfing! Di tengah kota terdapat patung ikan besar sebagai monumen dan simbol kota. Dari bentuknya yang mempunyai moncong seperti tombak, maskot ini mirip ikan marlin. Namun menurut beberapa warga lokal, itu adalah ikan layaran (sailfish) meski ada juga yang mengakui bahwa itu ikan marlin. Cukup aneh juga karena menurut informasi yang saya baca, Krui merupakan daerah penghasil ikan marlin terbesar di Sumatera. Ini disebabkan karena perairan Samudera Hindia adalah tempat hunian ikan black marlin. Iwan, salah satu nelayan yang punya lapak di pasar ikan mengakui bahwa di Krui memang banyak jenis ikan blue marlin meski menurut informasi, perairan Samudera Hindia justru banyak dihuni black marlin. Saya sendiri tak mengerti persis di mana letak perbedaan ikan yang dijual Rp 45.000 per kilonya itu. Bagi saya, blue marlin seberat 23 kilogram yang dijual ini pun juga berwarna gelap seperti black. “Kami pernah menangkap blue marlin seberat 6 kwintal,” aku nelayan yang juga pernah merantau di Jakarta selama empat tahun itu. Soal ikan marlin ini sebetulnya telah menjadi dilema. Sementara pemerintah setempat begitu antusias soal produksi ikan marlin di Krui, di dunia internasional sebetulnya marlin adalah ikan yang dilindungi. Dan itu pula mungkin sebabnya IGFA (International Game Fish Association) pernah memasukkan Indonesia ke dalam daftar hitam karena kontribusi negeri ini terhadap penjualan daging marlin di pasar internasional. Terlepas dari sengketa marlin, yang jelas ikan ini masih menjadi primadona di Krui. Bahkan pembeli ikan jenis ini di pasar Krui adalah orang-orang asing. Tak cuma marlin, di bulan-bulan tertentu pasar ini juga diramaikan dengan berlimpahnya lobster. Setiap nelayan bisa menjual hingga 50 kilogram lobster per harinya. “Memasuki bulan Haji adalah musim lobster,” jelas Iwan lagi. Meski nelayan adalah mata pencaharian utama warga Krui, namun untuk kapal, warga masih menggunakan milik juragan kapal. Masih sangat jarang nelayan yang sekaligus memiliki kapal sendiri. Saat musim badai tiba, nelayan di pusat kota Krui kebanyakan tidak melaut dan tidak melakukan pekerjaan apapun. Sedangkan warga di daerah selatan masih bisa mengolah sawah karena di daerahnya masih banyak terdapat sawah. Sore hari saat saya kembali mengunjungi pantai, ternyata pemandangan telah berubah. Air laut yang surut memang tak ikut menyurutkan ombak, tapi hamparan batu karang yang ditumbuhi rumput laut muda membuat pemandangan seperti permadani hijau yang membentang sepanjang garis pantai. Surutnya air juga dimanfaatkan warga untuk bermain-main di atas permadani rumput laut. Kebanyakan dari mereka sibuk mencari siput laut untuk dikonsumsi. Tak cuma itu, rumput laut juga bisa dikonsumsi tapi harus dipilih dulu, tidak semuanya bisa diambil. Yang masih berwarna hijau terang adalah rumput laut yang masih muda dan tak bisa dimakan. Jika sudah berwarna gelap, rumput laut baru bisa dikonsumsi. Saya jadi terbayang betapa makmurnya warga Krui. Ingin makan, tinggal mengambil bahan utamanya di pantai! “Siput ini tidak kami jual, tapi kami masak sendiri,” jelas Andri, salah seorang warga. Sebaga warga asli, Andri juga menceritakan pada saya serba-serbi Samudera Hindia. Seperti kebanyakan kepercayaan warga pesisir, keberadaan penunggu laut juga berlaku di pesisir Krui. Karena berhadapan langsung dengan lautan lepas, warga percaya bahwa laut mempunyai roh atau semacam “penunggu”. Andri juga menceritakan bagaiamana seseorang tidak boleh berbicara sombong atau memiliki niat jahat jika tinggal di daerah pesisir. Jadi itu sebabnya selama saya berkunjung ke Krui, warga menyambut saya dengan ramah. Tak ada tukang ngamen saat saya makan di warung, tak ada tukang parkir dadakan dan tak ada preman yang berkeliaran di pasar. Kata kunci: lampung Sebelumnya: Takjil yang 'Ganjil' Selanjutnya : Pesta Para Dewa balas Tautan Bersponsor Shop at the Multiply Marketplace Low Prices on Shoes, Jewelry, Clothing, Food, Accessories, T-Shirts, Electronics and much more. Safe Shopping from friendly, trusted sellers. Great deals on local items. KomentarKronologis Kebalikan Berdasar topik sittisadja balas sittisadja menulis on Oct 6, '11 Omnya juga main selancar? Hehehe. Kayaknya jarang posting akhir-akhir ini~ beautindonesia balas beautindonesia menulis on Oct 6, '11 sittisadja} berkata Kayaknya jarang posting akhir-akhir ini~ sedang merenung...*jyaaaaah* Tambahkan Komentar beautindonesia beautindonesia Yudasmoro Pesan Pribadi Laporkan Pelanggaran buy posters and art prints Fast Food United Pasar Filipina · Pasar Indonesia · Buka Toko, Gratis © 2012 Multiply · Indonesian · Perihal · Blog · Syarat · Privasi · Perusahaan · Iklankan · API · Bantuan · Sitemap

No comments:

Post a Comment