Sunday 30 September 2012

lampungisasi tanoh marga

New Jelajahi Kompasiana.com Bersama Teman-Teman Facebook Anda Home Humaniora Sosbud Artikel Abioyiq Jadikan Teman | Kirim Pesan Menulis menyalurkan redundansi agar tak menjadi keruntuhan diri 0inShare Mengapa Pendatang Tak ‘Terjajah’ Bahasa Lampung? OPINI | 10 January 2012 | 15:49 Dibaca: 784 Komentar: 5 Nihil 1326185132609886807 source: Google “Alaah udah kak, kalo nggak bisa ngomong lampung gak usah ngomong lampung!” begitu seorang teman wanita di tempat bekerja berkata ketika saya tak fasih berbicara dalam bahasa lampung. Lainnya mengatakan “Saya ini menghormati orang yang nggak bisa ngomong lampung, makanya kalo ada di antara temen ngobrol yang bukan orang lampung saya pake bahasa indonesia.” Sekilas memang ungkapan ini terkesan menebar rasa toleransi, tetapi di lain sisi cara seperti ini, terlebih di daerah sendiri justru akan meminggirkan penggunaan bahasa daerah. Mentalitas penggunaan bahasa daerah akan sangat mempegaruhi ketahanan bahasa tersebut eksis seiring masa. Kalau dari internal penggunanya tak bermental ‘penjajah’, maka sulit untuk melakukan ekspansi bahasa secara eksternal. Alih-alih menyebarkan bahasa kepada orang lain, justru bahasa daerah lain yang lebih sering kita dengar ketimbang bahasa daerah sendiri. Banyak dari orang asli suku Lampung yang malu menggunakan bahasanya sendiri kepada orang dari suku lain dan beberapa merasa lebih bangga atau merasa terpelajar jika bisa berbahasa Indonesia. Bagaimana dengan faktor eksternal? Kebijakan kurikulum Bahasa Inggris sejak jenjang paling bawah turut mempengaruhi minimnya perkembangan bahasa lain, demikian Nurachman Hanafi Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mataram (Unram) mengatakan http://www.berita8.com/news.php?cat=5&id=12132. Lalu selain pengaruh bahasa inggris, penggunaan secara sering bahasa dari daerah lain yang kemudian terserap akan menggeser bahasa daerah sendiri. Melanjutkan perkataan Nurachman bahwa ada 270 bahasa daerah di Indonesia yang dikagumi oleh peneliti asing dikarenakan bahasa-bahasa tersebut memiliki faktor pembeda yang jelas. Saya menilai bahasa Lampung termasuk dari beberapa bahasa aseli Sumatera yang bukan turunan bahasa melayu. Bahasa lainnya yang termasuk bahasa aseli adalah bahasa Batak. Fakta lain yang diungkap oleh Nurachman bahwa berdasarkan populasi pendukungnya, Bahasa Jawa menempati urutan pertama dengan penutur 60 juta jiwa, Bahasa Sunda kedua dengan penutur 24 juta jiwa, sedangkan bahasa daerah lainnya dalam daftar urutan berikutnya. Lalu bahasa lampung menempati urutan berapa saya belum mengetahuinya. Info BPS Lampung tahun 2000 membeberkan Lampung memiliki komposisi penduduk berdasarkan suku, Jawa 4.113.731 jiwa(61,88%); Lampung 792.312 jiwa (11,92%); Sunda, termasuk Banten 749.566 jiwa (11,27%); Semendo dan Palembang 36.292 jiwa (3,55%); Suku bangsa lain(Bengkulu, Batak, Bugis, Minang, dll) 754.989 jiwa(11,35%). Data diambil dari tahun 2000 sebab setelahnya BPS tak lagi mengelompokkan penduduk berdasarkan suku. Fakta ini memperlihatkan bahwa hanya sekitar 12% dari penduduk Lampung yang diasumsikan menjadi penutur bahasa Lampung. Multamia RMT Lauder dari Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, mengungkapkan dalam seminar Empowering Local Language Through ICT yang digelar Departemen Komunikasi dan Informatika, Senin (11/8) di Jakarta http://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam.punah Di antara 729 bahasa daerah, 169 di antaranya terancam punah, karena berpenutur kurang dari 500 orang, beliau melanjutkan bahwa bahasa yang dapat dikategorikan sebagai bahasa yang berpenutur sedikit namun masih mempunyai potensi untuk hidup, sebenarnya adalah bahasa-bahasa yang penutur sekurang-kurangnya 1.000 orang. Baiklah bahasa Lampung masih jauh dari angka kritis penutur sebanyak 1000 orang, tetapi ketika generasi baru tak lagi bangga dan menggunakan bahasa daerahnya sendiri maka lambat tapi pasti bahasa tersebut akan mengalami kepunahan. Orang aseli Lampung bisa belajar dari suku jawa, betapa mereka memiliki mental menjajah dalam urusan berbahasa. Tak peduli tinggal di mana dan seringkali dalam banyak kesempatan mereka selalu menggunakan bahasanya. Di kebun, di sekolah, di lingkungan rumah, di tempat beribadah, di luar daerahnya, dan di mana-mana. Tak pernah malu dan sungkan menggunakan bahasa daerah sendiri. Jujur saja, kita akan lebih memilih menggunakan nama depan ‘mas’ kepada laki-laki yang baru kita kenal atau ‘mbak’ kepada perempuan yang baru kita kenal, meskipun memang secara jumlah suku jawa mendominasi populasi penduduk Indonesia tetapi mental menyebarkan bahasa itu yang membuat bahasa jawa menjadi pemuncak dalam hal jumlah penuturnya. Bisa juga belajar dari suku Palembang yang tinggal di Lampung. Mereka memiliki mentalitas seperti orang-orang dari suku jawa, hanya saja secara populasi tak sebanyak dari suku jawa. Jumlah yang sedikit tak menghalangi mereka untuk bangga menggunakan bahasanya sendiri yang malah banyak mempengaruhi penggunaan bahasa penduduk aseli. Usaha reservasi budaya melalui pendidikan dinilai kurang berpengaruh. Kurikulum Bahasa Lampung yang dibuat oleh pendidik di Lampung terbatas pada mengajarkan aksaranya saja, tak terdapat pengajaran percakapan dalam bahasa Lampung secara terukur. Kemudian kebijakan dari beberapa instansi baik swasta maupun pemerintah untuk menerapkan hari berbahasa Lampung tak juga efektif. Sering kali bahasa Lampung digunakan pada saat pembukaan sebuah pidato atau rapat saja, selebihnya tetap menggunakan bahasa Indonesia. Harus ada usaha yang lebih efektif untuk pertama, merubah mental malu menggunakan bahasa daerah sendiri dan lebih sering mengenalkannya kepada orang lain, hal ini perlu dibicarakan bersama tetua adat dan pemerhati bahasa Lampung kedua kurikulum dan pola pengajaran kepada siswa di Lampung harus dibuat secara lebih baik dan efektif untuk mengenalkan dan membiasakan bahasa Lampung, ketiga pemerintah membuat regulasi yang pro terhadap penyelamatan bahasa Lampung yang akan mempengaruhi instansi pemerintah dan swasta untuk lebih sering menerapkan bahasa Lampung. Bahkan bila perlu bisa meniru pola pembelajaran bahasa lainnya dengan mengadakan lomba berbahasa Lampung. Ini bukan permasalahan suku satu lebih baik dari lainnya, melainkan usaha untuk menyelamatkan kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Saya sendiri adalah penduduk Lampung perantau dari Jawa Barat dan tinggal bersama suku lampung peminggir atau pesisir serta menikah dengan orang Lampung. Saya mengalami kesulitan belajar berbahasa Lampung. Seringkali di berbagai kesempatan berbicara dengan banyak orang saya justru mendengar percakapan lebih banyak di lakukan dalam bahasa jawa, sunda dan palembang. Seorang teman yang aseli orang Lampung kini pandai berbahasa jawa, lainnya pamer ketika dengan terpatah-patah berbicara denga bahasa sunda dan lainnya lagi kental logat palembangnya. Di lain pihak tak saya temukan teman-teman dari suku lain yang bisa berbicara dalam bahasa Lampung. Mari minak muakhi ulun lampung (saudara orang lampung) kekayaan ini tak boleh hilang. saya bangga menjadi orang sunda tapi setengah darah saya juga orang lampung dan saya juga bangga terhadap budaya lampung. Secara nasional ini menjadi kebanggaan Indonesia pada akhirnya. Kik mak kham sapa lagi Kik mak tanno kapan lagi… Laporkan Tanggapi Siapa yang menilai tulisan ini? KOMENTAR BERDASARKAN : 10 January 2012 15:57:23 hehe… ini yang pernah saya pertanyakan jaman masih kecil dulu pak… jaman saya SD kelas lima atau enam gitu baru sedikit diajarkan tulisan lampung pas SMP baru deh sedikit bahasa lampung padahal pada masa itu di daerah lain bahasa daerah sudah menjadi pelajaran wajib di sekolahnya…. tp skarang saya sedikit bangga setidaknya budaya lampung tidak ragu diungkap lagi lewat ciri khas kotanya seperti yang pernah saya tulis: http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/01/08/mau-mengenalkan-budaya-jadilah-kota-narsis/ tinggal “memanasi” generasi muda, entah darimana suku asalnya supaya mau menyemarakkan budaya dari tanah tempatnya berpijak kini… salam dari yang pernah wara wiri di bumi ruwa jurai… Laporkan Komentar [suka] 0 Balas Anjar Anastasia 10 January 2012 16:24:36 Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, bener mbak mdh2n yang aseli banget dr lampung jd ‘panas’ utk mempertahankan bahasa daerahnya sendiri Laporkan Komentar [suka] 0 Balas Abioyiq 30 March 2012 09:36:44 sebagai pendatang di lampung, saya jg pening bgmn mengajari bhs lampung pd anak saya yg msh kls 1 SD…pertama, beban anak sy sdh berat krn musti bljr bhs inggris…kedua, bhs lampung memiliki 2 dialek a dan o yg hrs dipelajari sekaligus (mgp sih tdk bertahap sj)…ketiga selain kosakata anak sy jg musti belajar aksara lampung (mgp ya tdk ditunda untuk materi SMP saja)…keempat buku ajar bhs lampung sangat tdk terstandar…ilustrasi kurang, glossary dan indeks pun tdk ada, dan kosakatanya pun susah (*beda skl dgn buku ajar bahasa inggris)…bukankah ini bisa menjadi bahan pemikiran?? Laporkan Komentar [suka] 0 Balas Retno Yuni Wicaksono 12 April 2012 13:55:35 Betul mbak Retno. mohon masukannya dari pihak akademisi agar kelengkapan instrumen pendidikan bahasa lampung bisa optimal. Orang2 lampung terdidik harus duduk bersama membahas ini kembali. dan usaha yang dilakukan harus terukur sampai adanya perubahan mental dan budaya dalam penggunaan bahasa lampung. Laporkan Komentar [suka] 0 Balas Abioyiq 26 April 2012 17:06:13 orang lampung harusnya belajar dengan orang palembang… di palembang suku2 yg tinggal mungkin yg paling plural di indonesia, di propinsi sumsel saja bahasanyanya banyak sekali seperti komering, ogan, sekayu, lahat, kayuagung dan masih banyak lagi. apalagi di tambah oleh pendatang dari luar provinsi seperti jawa, batak, minang dll… tetapi bahasa palembang selalu menjadi bahasa utama sehari2 dan sering di sebut bahasa persatuan, lalu bahasa daerah masing2 seperti bahasa komering dll… mau orang jawa, minang, batak, madura, bugis apalagi suku2 di sumsel, mereka semua harus bisa bahasa palembang jika ingin berinteraksi dengan warga di kota palembang, begitu juga di kota2 lain di sumsel. mereka jg harus bisa bahasa daerah dimana mereka tinggal… Laporkan Komentar [suka] 0 Balas Juki

No comments:

Post a Comment