Saturday, 22 September 2012

lampungologica

, 26 Mei 2009 Standardisasi Bahasa Lampung: Polemik Pemerintah, Adat, dan Akademisi Imelda, peneliti bidang Antropologi Linguistik di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI-Jakarta. PASCAREFORMASI pembicaraan yang mengangkat tema-tema kearifan lokal menjadi pembicaraan yang menarik untuk diikuti. Terlebih lagi ketika kearifan lokal tersebut dianggap menjadi jawaban atas kerusakan alam dan kehidupan sosial untuk menjadi ancangan strategis melakukan pembangunan di daerah, khususnya Lampung. Salah satu hal yang menjadi polemik dan menarik dalam sebuah seminar di Universitas Lampung beberapa waktu lalu ialah masalah standardisasi bahasa Lampung. Hal ini menjadi perdebatan yang menarik ketika pembicara, baik itu kalangan struktur, pemangku adat, serta akademisi memiliki jawaban yang berbeda. Inti permasalahannya ialah isoleks Lampung yang mana yang akan dijadikan standar bahasa Lampung yang akan dimunculkan di tingkat nasional dan internasional karena dalam seminar tersebut saya mendengar bahwa Lampung yang harus muncul itu adalah Lampung yang satu. Lampung yang satu menjadi sebuah kata kunci yang kemudian juga, menurut asumsi saya, menjadi latar kemunculan polemik Sang Bumi Ruwa Jurai atau Sai Bumi Ruwa Jurai. Meski demikian, setakat ini saya tidak ingin mengangkat polemik sai dan sang karena perdebatan mengenai standardisasai bahasa Lampung ini menjadi lebih menarik karena ada pertimbangan-pertimbangan tidak rasional, secara akademik, yang menggelitik ruang pikiran saya sebagai peneliti bahasa sekaligus orang Lampung. Lampung merupakan sebuah ruang yang saya diami sejak saya lahir dan di sana pula saya tahu bahwa ada berbagai macam isoleks yang menurut peneliti pendahulu yang berasal dari negeri Belanda, disebut dialek a dan o. Namun, seiring dengan perkembangan masyarakat yang cair, entitas yang berhubungan dengan kebahasaan ini terus berkembang dan makin hari jaraknya makin meluas sehingga memunculkan dialek yang berbeda serta jarak kemengertian yang makin meluas. Dalam seminar tersebut saya mendengar pula pendapat yang mengatakan bahwa pada masa lalu bahasa Lampung itu satu, akan tetapi menjadi berbeda ketika persebaran dan kontak dengan para pendatang menjadikan bahasa Lampung sebagai dua dialek yang berbeda. Pendapat pertama mengenai standardisasi bahasa Lampung ialah pendapat seorang pejabat struktural yang mengatakan Lampung harus mempunyai satu bahasa standar. Ia menambahkan ragam bahasa yang selayaknya diangkat ialah bahasa "Lampung cadang" yang menurutnya dapat dimengerti orang Lampung dengan berbagai dialeknya. Pendapat tersebut sekilas terdengar menjembatani perbedaan dialek, tetapi terdengar sangat eksentrik karena orang-orang Lampung yang merasa bahasanya tidak cadang (rusak) tentu keberatan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah masyarakat dapat menerima ketika ragam Lampung cadang diangkat menjadi bahasa standar? Pendapat lain ialah pendapat yang dikemukakan pemuka adat yang cukup terkemuka di Lampung. Dia mengatakan tidak perlu melakukan pemilihan bahasa seperti itu karena yang menjadi pengikat bahasa Lampung ialah bahasa tulisnya. Beliau juga menambahkan bahwa untuk berbahasa dengan dialek apa saja tidak menjadi permasalahan karena beliau cukup mengerti, meskipun berbeda dialek. Selain pendapat mengenai kemengertian, secara eksplisit dia pun menambahkan berbahasa dengan dialek api lebih disukai karena terdengar lebih halus dan sopan. Apakah kemudian bahasa berdialek a yang seharusnya diangkat? Tentu ini masih menjadi tanda tanya karena, sepanjang pengetahuan saya, egoisme subetnis Lampung masih cukup kental. Pendapat-pendapat yang dikemukakan pemuka adat tersebut tidaklah keliru, tetapi menjadi bertabrakan ketika pemerintah daerah harus mengalokasikan dana untuk pengembangan kebahasaan di Lampung. Biaya yang dikeluarkan untuk mengembangkan dialek menjadi bahasa tentu menjadi pertimbangan. Persoalan dana kemudian membuat elite birokrat Lampung untuk memilih dialek mana yang akan dikembangkan karena dialek tersebut kemudian akan dibuat menjadi buku pelajaran yang kemudian dengan konsekuensi dikenal dan dimengerti secara luas oleh generasi muda di Lampung. Pendapat lain ialah pendapat implisit seorang elite ilmu yang dikemukakan peneliti bidang teknologi yang membuat kamus digital bahasa Lampung dengan dialek yang dikuasainya. Tidak menjadi masalah ketika kemudian pembuatan kamus digital tersebut menjadi karya pribadi, tetapi akan menjadi masalah ketika kamus tersebut tidak menjawab kebutuhan masyarakat luas akan dialek yang sepantasnya dikembangkan untuk masyarakat. Pemilihan dialek yang tidak dilakukan secara cermat, tidak hanya mengambur-hamburkan biaya yang besar, tetapi juga menjadi tidak begitu bermanfaat ketika masyarakat luas tidak menerima dialek yang dikembangkan. Dengan kata lain, jerih payah akademis yang disalut dengan obsesi pribadi hanya akan menjadi pemborosan karena respons masyarakat yang kurang atau malah tidak ada. Pendapat-pendapat yang dikemukakan dalam seminar tersebut berakar pada ketidaktahuan akan action yang seharusnya diambil ketika identitas ke-Lampung-an ingin diangkat dalam tataran yang lebih luas, dunia, khususnya dalam hal kebahasaan. Selain itu, belum ada kerja yang harmonis antara pemerintah, adat, dan akademisi. Dalam hal pengembangan kebahasaan diperlukan dialog yang egaliter antara pemerintah, adat dan akademisi karena tidak ada salah satu di antaranya yang memiliki kewenangan lebih karena kerja standardisasi ini bukan untuk kepentingan pemerintah, adat atau akademik saja, melainkan lebih jauh, untuk kepentingan generasi muda yang akan memakai dan mengembangkan bahasa Lampung standar. Catatan: Isoleks merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam ilmu linguistik untuk mengacu pada suatu ragam wicara kelompok masyarakat yang belum diketahui statusnya sebagai bahasa atau dialek. Sampai kini, dialek yang diketahui secara luas di lampung ialah dialek a dan o. Source: Lampost 24 Mei 2009 Diposkan oleh INSTITUT LAMPUNGOLOGI di 22:19 Tidak ada komentar: Senin, 18 Mei 2009 BAHASA LAMPUNG DAN MASYARAKAT ADAT LAMPUNG Oleh: Marwansyah Warganegara (TMII, Jakarta 1994) Bahasa Lampung termasuk rumpun keluarga bahasa Austronesia yang dapat di bagi dalam dua golongan yaitu : 1. Bahasa Belalaw berlogat A 2. Bahasa Abung berlogat O 1. Bahasa Belalaw terdiri dari : a. Bahasa Jelma Daya yang di pakai orang di daerah Muara Dua Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan, Way Kanan. b. Bahasa pemanggilan Peminggir yang dipakai oleh orang bunga mayang Sungakai , Martapura disepanjang peisir Teluk Semangka , Ranauder Skala Brak c. Bahasa Melinting Peminggir yang dipakai orang disekitar pegunungan Raja Bas Way Handak d. Bahasa Pubian ynag dipakai oleh disekitar Way Sekampung , Belau Rantau Tijang Pugung dan Negeri Bapayungungan. 2. Bahasa Abung terdiri dari : a. Bahas aAbung yang dipaki oleh orang-orang di daerah sepanjang Way Abung , Way Rarem, Way Terusan, Way Pengubuan, Way Seputih, Way Batang Hari, Way Sekampung Ilir termasuk juga orang-orang yang merembes ke daerah Marga Balaw seperti Gedung Meneng, Lbuhan Ratu dan Langka Pura. b. Bahasa Tulang Bawang yang dipakai oleh orang- orang sepanjang Way Tulang Bawang mulaidari gunung Terang, Kerta, Pagar Dewa, Menggala, Gedung Aji sampai ke Dente Teladas. c. Bahasa Melinting sekampungLabuhan Meringgai dan di sepanjang Way Sekampung bagian Ilir. MASYARAKAT ADAT LAMPUNG Dalam masyarakat Lampung seluruh warga harus mematuhi semua ketentuan dalam hukum adat cepalo. Ketentuan itu berupa larangan terhadap perbuatan dan ucapan yang tidak baik di dalam adat. Pelanggaran adat larangan tersebut akan dijatuhi hukuman sesuai dengan kesalahan yang dibuat. Hukuman itu berupa denda, pengucilan dari adat dan yang paling berat dihukum mati. Jadi dalam adat Cepalo masing-masing anggota masyarakat adat menerima hukuman secara pribadi, tetapi di dalam adat ngejuk ngakuk seperti perkawinan adat antara bujang dan gadis, maka yang wajib memikul tugas adat adalah pemimpin adat (penyimbang adat) di dalam Jurai yang bersangkutan yaitu penyimbang Jurai /sebatin. Begitu juga dalam adat kebumian hak dan tanggung jawab adat berada dalam tangan Punyimbang /Sebatin selaku pemimpin adat delam Jurainya. Disini kita dapat melihat bahwa warga masyarakat Lampung trbagi dalam dua golongan yaitu : 1. Golongan Pemangku Adat 2. Golongan Bukan Pemangku Adat Dalam perkembangan selanjutnya warga masyarakat adat Lampung terutama yang beradat Pepadun terbagi dalam dua golongan yaitu : 1. golongan Lampung jajar 2. Golongan Lampung sebah Dua golongan ini timbul akibat dari cara pengambilan dan tujuan mengawini seorang gadis oleh seorang kepala adat. Bilamana pengambilan dilakukan secara adat dengan tujuan menjadai istri raja maka keturunannya disebut Lampung Jajar. Tetapi kalau diamil tidak secara adapt dan tujuannya untuk menjadi isteri Senebah , maka keturunannya disebut Lmapung Sebah. Isteri seorang kepala adapt yang mempunyai kedudukan dalam adapt disebut Inggeman yang mempunyai empat tingkatan : 1. Pertama Inggeman Pereppu 2. Kedua Inggeman Pematu 3. Ketiga Inggeman Pengelaku 4. Keempat Inggeman Penyerudu Masing – masing mereka menempati kamar : 1. Apai/ Kebik Pereppu 2. Apa I / Kebik Belangan 3. Apa I / Kebik Tengah 4. Apa I / Kebik Serudu Isteri Senebah seorang kepala adapt yang disebut Isikan terdiri dari beberapa macam : 1. Yang diambil untuk Senebah disebut Gundik 2. Yang asalnya Pengajin ( bawaan isteri adapt ) disebut Pengisik 3. Yang berasal dari Taban ( rmpasan perang ) disebut Pacal 4. Yang diambil sebelum kepala adapt mengambil isteri Inggeman disebut Penunggu. Ada juga lelaki dan perempuan yang didapat dari membeli atau budak belian disebut beduwo. Mereka bertempat tinggal diladang atau huma. Jadi semua isikan disebut Lampung Sebah. Keturunan Lampung Jajar diberi hak untuk mendirikan adapt / memiliki kekuasaan adapt sampai tingkat kepenyimbangan, melalui ketetapan adapt yang ada. Tingkattan kepenyimbangan itu adalah sebagai berikut : 1. Penyimbang Bumi 2. Penyimbang Ratu 3. Penyimbang Dalem 4. Penyimbang Batin 5. Penyimbang Gayo Tingaktan ini berdasarkan kedudukan ibunya atau kedudukan yang bersangkutan dalam saudara seibu. Tentang Lampung Sebah pada mulanya dalam adat Lampung Pepadun sama sekali tidak boleh mendirikan adat. Akan tetapi sesuai dengan perkembangan masyarakat dan adat yaitu lebih kurang abad 20 adat sudah membolehkan keturunan Lampung Sebah mendirikan adat dengan persyaratan antara lain berupa : Sekurang- kurangnya sudah lima kerbau diberikan kepada penyimbang Memberikan bahan makanan setiap waktu panen Beberapa persyaratan lain bagi penyimbangnya dan penyimbang- penyimbang dalam kampungnya Kepenyimbangan yang dipakai baruu penyimbang Gayo Dalam keadaan terbuka untuk memiliki hak adat semacam ini maka warga masyarakat Lampung Pepadun sebagian besar dapat menghayati isi dan hakekat adat. Dengan demikian timbulah kegiatan masyarakat Lampung Pepadun untuk menaikkan harkat dan kepenyimbangan dengan Begawi Adat Cakak Pepadun. Sebaliknya dalam masyrakat adat Lampung Sebatin ( Peminggir ) hak adat hanya dimiliki oleh seorang dalam satu kampung hingga hukum adat hanya dihayati oleh beberapa orang saja dalam satu kampung. Akibat tidak meratanya penghayatan dapat memegang teguh norma- norma adat, lebih–lebih jika dalam kampungnya banyak warga pendatang dari luar daerah. Pada masyarakat Lmapung adat Sebatin keturunan Ratu di Belalaw (Paksi Pak Skala Brak) sebenarnya ada Pepadun pertama terbuat dari kayu Melasa Kepampang yang di anut oleh Ratu Empat semula di Bukit Pesagi akibat system Pepadun yang tidak dikembangkan sedangkan masyarakatnya sudah berkembang biak secara kuantitas maupun secara kualitas, maka dahulu telah timbul perebutan hak dalam penguasaan Pepadun tersebut. Oleh pemerintah Belanda yaitu Residen bengkulu di putuskan bahwa hak menguasai Pepadaun tersebut jatuh ke tangan Marga Buay Belunguh. Sejak itu penggunaan Pepadun setiap perayaan adapt dalam Paksi Pak Skala Brak jarang sekali di lakukan. Mereka menganut adat Sebatin sebagaimana yang ada sekarang. Terakhir dalam tahun dalam rangka pengangkatan Paksi Buay Parenong kebiasaan menggunakan Pepadun Melasa Kepampang diterapkan kembali. Diposkan oleh INSTITUT LAMPUNGOLOGI di 19:49 Tidak ada komentar: CEPALO: NORMA ADAT LAMPUNG ADAT CEPALO Marwansyah Warganegara (Anjungan Lampung TMII, 1994) Sebagaimana lajimnya setiap suku bangsa di dunia mempunyai adat istiadat, sekalipun tingkat kebudayaannya masih rendah. Demikian pula halnya suku Lampung mereka sejak semula telah memiliki adat istiadat. Adat yang merupakan peraturan dan ketetapan sebagai hasil musyawarah sejak ada mereka berdiam disekitar Danau Ranau. Setelah mereka berada di Skala Brak Bukit Pesagi lalu di tambah dan disempurnakan. Adat yang mula-mula itu disebut Cepalo Dua Belas. Adat Cepalo ini berisi larangan-larangan dengan sangsi-sangsibagi setiap pelanggaran, serta hukuman mati. Cepalo Dua Belas ini diwujudkan dalam bentuk Kain Tabir (Lassai) sapu tangan dan taplak dengan cara menyambungkan satu dengan lain, terdiri bermacam-macam warna : Isi Cepalo Dua Belas sebagai berikut : 1. Dilarang melihat isteri dan anak gadis orang lqin dengan pandangan mencurigakan. 2. dilarang berbicara yang kotor, menghasut, memfitnah orang lain. 3. Dilarang duduk lebih tinggi tempatnya dari pada orang yang lebih tua . 4. Dilarang terbuka kemaluannya ditempat orang ramai. 5. Dilaran tidur tengkurap di gardu kampung pada waktu siang hari, sedangkan para ibu dan gadis lewat di situ. 6. Dilarang memulkul perut sendiri di dekat wanita yang sedang hamil. 7. Dilarang naik ruma orang lain dari pintu belakang. 8. Dilarang seorang tamu masuk ruang tanmu atau tengah rumah tanpa izin tuan rumah. 9. Dilarang orang laki-laki ditepian kakus tempat wanita atu sebaliknya. 10. Dilarang mengambil buah-buahan milik orang lain tanpa meminta lebih dahulu. 11. Dilarang melarikan isteri orang lain. 12. Dilarang berbuat mesum. Dari nomor 1sampai 10 mendapat hukuman denda, sedangkan nomor 11 mendapat pengucilan dari adapt dan keluarga serta nomor 12 hukuman dibunuh mati. Adat Cepalo Dua Belas ini kemudian dikembangkan jumlahnya menjadi dua puluh empat, empat puluh dan terakhir delapan puluh. Bila kita perhatikan adat Cepalo ini bertujuan mendidik dan menanamkan nilai-nilai dasar dari akhlak dan budi pekerti yang luhur sehinggga mereka kelak dapat bergaul dalam masyarakat dan dapat mennjadi pemimpin masyarakat yang dapat di senangi. Setelah mereka berada di Bukit Pesagi mereka menyusun suatu peraturan tentang cara melaksanakan perkawinan mulai dari proses awal sampai akhir yang disebut adapt Ngujuk Ngakuk yang disingkat dengan Adat Pengakyuk. Maksudnya ialah bagaimana cara memberi dan mengambil seorang gadis yang akan menikah dengan seorang bujang. Bebrapa ketentan dalam Adat Ngejuk Ngakuk ini ialah : 1. Bilamana mengambil gadis keturunan Lampung dari Pemangku Adat, maka dari pihak yang akan mengambil gadis diwajibkan menyerahkan daw (benda) sejumlah sama ( 400 real) 2. Bagi anggota keluarga lain yang bukan Pemangku Adat, jumlah dawnya hanya satak ( 200 real). 3. gadis harus di pinang lebih dahulu melalui orang tuanya dan keluarga besar. 4. Mempelai wanita harus di berangkatkan dari Lunjuk Peccah Aji dan diterima dan ditemukan (kawin adat) juga di atas Lunjuk Peccah Aji. 5. Peristiwa ini harus dirayakan ndengan memotong kerbau baik ditempat gadis maupun ditempat bujang. Lebih jelas tentang adat Ngejuk Ngakuk dealam perkembangan selanjutnya yang tertera dalam pasal-pasal belakang. Pasal-pasal adat Cepalo Dua Belas dari Ranau di tingkatkan menjadi dua puluh empatyang kelak bertambah menjadi dalam keterem adat Abung Siwo Migo dan menjadi delapan puluh dalam adapt Pubian Telu Suku serta adapt Seputih Bandar Pak. Ditinjau dari proses pembentukan dan tujuan diadakannya maka ada tiga macam adat : 1. Adat Cepalo 2. Adat Ngejuk Ngakuk 3. Adat Kebumian Ditinjau dari sifatnya ada tiga macam : 1. Adat Kutara 2. Adat Keterem 3. Adat Puratti Adat Kutara adalah buku seperti apa terbentuknya dahulu. Adat Keterem adalah hasil perundingan untuk mencari jalan keluar terhadap suatu keadaan yang memerlukan pengesahan yang tidak da dalam adapt Kutara. Adapt Puratti Yurisprudensi dari adapt Keterem sehingga nampaknya sudah menjadi adapt yang sebenarnya padahal hanya kebiasaan saja. A. Nama-nama Lingkungan Adat Pepadun : 1. Lingkungan adat Migo a. Marga Buay Nunyai b. Marga Buay Beliyuk c. Marga Buay Kunang d. Marga Buay Selagai e. Marga Buay Tuho 2. Lingkungan Adat Bandar a. Marga Buay Subing b. Narga Buay Unyi c. Marga Buay Nuban d. Marga Tiga e. Marga Buay Nyerupo Seputih 3. Lingkungan Adat Suku a. Marga Pubian Way Seputih b. Marga Pubian Doh c. Marga Bukujadi d. Marga Merak Batin e. Maega Balau f. Marga Pugung g. Marga Ketibung 4. Lingkungan adat Sumbai a. Marga Buay Pemuka b. Marga Buay Bahuga c. Marga Buay Semengu d. Way KAnan + Sungkay Marga Buay Baradatu a. Marga Buay Bara Sakti b. Marga Bunga Mayang Megow Pak Tulang Bawang a. Marga Buay Bulan b. Marga Buay Tegamoan c. Marga Buay Suay Umpu d. Marga Buay Aji Diposkan oleh INSTITUT LAMPUNGOLOGI di 19:42 Tidak ada komentar: PERANG DENGAN SANG GARIHA TIYUH MEMON Oleh: Marwansyah Warganegara (TMII, Jakarta 1994) Sewaktu keturunan Sakawira di Tiyuh Tegineneng Rantau Tijang mereka bertetangga dengan Tiyuh Memon keturunan Sang Gariha. Keturunan Sang Gariha selalu mengganggu dan meranpas hak milik orang Tiyuh Tegineneng Rantau Tijang, sehingga batas kesabaran orang Tegineneng meledak dengan peperangan menindas orang Tiyuh Memon. Orang Tiyuh Tegineneng ketutunan Buay Bulan dibantu oleh orang Abung dan Pubian Telu Suku. Peperangan ini mengakibatkan orang Tiyuh Memon sebagian besar terbunuh dan Tiyuh Tegineneng Rantau Tinjang habis terbakar. Sebenarnya Sang Gariha ini keturunan Buay Bulan yang menjadi hulubalang Poyang Sakti lagi di Skala Brak. Rasa dendam penduduk Tegineneng Rantau Tijang dengan Sang Gariha berasal dari terbunuhnya Sakawira akibat ulah Sang Gariha yang merasa iri dengan kepatuhan orang Tiyuh Tegineneng terhadap Sakawira, sehingga sebagian penduduk Tiyuh Memon banyak yang menyatakan patuh dan setia kepada Sakawira. Secara diam-diam Sang Gariha membuat rencana untuk menyingkirkan Sakawira yang masih hubungan sepupu dan masih bujangan. Sang Gariha menawarkan jasa baik untuk mengawinkan Sakawira dengan serang gadis cantik bernama Samba Helau berasal dari Tiyuh Mulang Maya Buay Turgak Kota Agung. Perkawinan ini adalah direncanakan oleh Sang Gariha untuk mengetahui kelemahan Sakawira dengan memperalat Samba Helau yang masih sepupu Sang Gariha. Dari perkswinan ini lahirlah Minak Sebalo Kunto dan Puteri Sumanik. Setelah diketahui kelemahan Sakawira oleh Samba Helau secara diam-diam diceritakan kepada Sang Gariha Tiyuh Memon. Pada suatu hari digalilah sebuah lubang didekat Way Mincang didalam diberi getah kerbing dan diatasnya ditutup dengan dedaunan dan rumput serta disediakan rumput sipulut lidi. Setelah rencana diatur secara matang pada suatu pagi Sakawira dan Samba Helau pergi ke huma. Sang Gariha telah siap bersembunyi dibalik pepohonan dekat lobang perangkap. Ketika Sakawira didekat lobang tersebut lalu Sang Gariha meloncat dan mendorong Sakawira kedepan sehingga terjatuh kedalam lobang perangkap. Sakawira menjerit lalu dikepung oleh anak buah Sang Gariha dan oleh Sang Gariha dubur Sakawira ditusuk dengan rumput sipulut lidi sampai meninggal. Sakawira lalu dikuburkan di Tiyuh Memon tepat di Galah Tanoh. Kematian Sakawira didengar olehadiknya Singecang Yang berada di Tiyuh Terbang Tegineneng Way Sekampung. Singecang lalu menyusul kakak iparnya Samba Helau dan kedua orang kemenakannya beserta penduduk Tegineneng Rantau Tijang yang selamat dibawa pindah ke Tegineneng Way Sekampung. Ketika Singecang mandi di Way Sekampung tiba-tiba ikan yang mengikuti aliran Way Sekampung mati yang mengakibatkan Singecang agak heran, lalu diam-diam diselidikinya ternyata bagian hulu ada seorang yang sedang mandi. Setelah jumpa ternyata orang tersebut bernama Minak Kuasa keturunan PoyangSejadi asal dari pihak nenek Singecang. Di Tegineneng inilah Minak Singecang atas perintah Minak Trio Diso dan Minak Kuasa menikah dengan Semba Helaw meneruskan keturunan Minak Sakawira (kawin tegak tegi) dari perkawinan ini lahirlah Minak Ratu Di Bumi keturunan Tiyuh Tegineneng sukuLingai. Setelah Minak Ratu Di Bumi besar barulah Minak Singecang kawin dengan Rarang anakMinak Puhawang keturunan Ratu Di Pugung Hulu Way Sekampung. Dari perkawinan ini lahirlah : 1. Minak Rio Sakti 2. Puteri Linggang Minak Rio Sakti mempunyai anak : 1. Minak Rajo Dunio Tiyuh Gunung Besar 2. Minak Brajngesiso Tiyuh Kibang Pagar Dewa Setelah beberapa generasi keturunan Sakawira dan Singecang pindah dari Tegineneng Way Sekampung menyelusuri Way Rarem terus ke Way Tualang Bawang. Keturunan Sakawira dibawah pimpinan Minak Sebalo Kunto dan Minak Rio Bacaw berhenti di Wat Rarem mendirikan kampung Bujung Menggalou dan laim-lain. Sedangkan ,keturunan Minak Singecang di bawah pimpinan Minak Ratu Di Bumi mendirikan kampung Lingai Tuho seberang Bujung Menggalou. Minak Rajo Dunio mendirikan kampung Gunung Besar dan Mnak Brajongesiso menetp di Kibang Pagar Dewa. Dalam perjalan mereka mengikuti aliran Way ulang Bawang sesampai di persimpangan Way Kanan dan Way Kiri mereka jumpa dengan Buay Runjung Jurai Tegamon di kampung Pagar Dewa yang lebih terdahulu disana. Diceritakan bahwa poyang Naga Barisang waktu di Cinggiring Skala Brak kawin dengan Puteri Dayang Metika anak Poyang Kuasa Buay Semenguk lahir dua orang anak yaitu : 1. Poyang Junjungan Sakti – Buku Jadi 2. Puteri Indra Bulan Puteri Indra Bulan kawin dengan Raja Sangara anak Raja Dewata Siliwangi. Oleh Ratu Di Puncak dirayakan di Bukit Pesagi dan oleh Ratu Di Puncak, Raja sangara di beri Gelar Kun Tunggal dan puteri Indra Bulan diberi gelar Puteri Indrawaty,. Darai perkawinan ini lahirlah : 1. Puteri Bulan Purnama 2. Poyang Naga Barisang 3. Puteri Bulan Bara Poyang Naga Barisang nama kecilnya mandala Bulan. Semanjak kecil mereka bertiga saudara tidak pernah ikut orang tuanya Raja Sangara di Pakungwaty tetapi ikut Ratu Di Puncak. Setelah Ratu Di Puncak meninggal mereka bertiga dengan ibunya Putri Indra Bulan selalu dalam pengawasan Nunyai sampai mereka dewasa baru dilepaskan, hal in karena wasiat Ratu Di Puncak yang begitu sayang terhadap Putri Bulan dan aaknya. Putri Bulan Prnama kawin dengan Empu Runjung anak dari Sang Bali Kuang. Sebelumnya Empu Runjung telah menikah dengan Putri Nuban anak Ratu Di Puncak. Stelah menikah dengan Putri Bulan Purnama Empu Runjung bergelar Minak Tabo gayou dan keturunannya menetap di Tiyuh Pagar Dewa Tulang Bawang. Sedangkan Putri Bulan Bara kawin dengan Empu Pemuka dan menuunkan : 1. Empu Menyata 2. Empu Turgak Keturunan ini menetap di Luas Lampung Barat dan Kota Agung Lampung Selatan. Pada tahun 1552 Maulana Hasanuddin memimpin pemerintahan Islam di banten. Berita kemajuan Islam di Banten sampai kepada kepala adapt/ penyimbang dari masyarakat Lampung. Hal ini menarik perhatian keluarga-keluarga Lampung terutama bagi mereka yang telah mnganut agama Islam aliran Syiah yang mereka warisi dari nenek moyang mereka di Skala Brak yang berasal dari Samudera Pasai Via Pagaruyung. Mereka melakukan seba untuk memperdalam ajaran Islam dengan membawa hasil bumi seprti lada. Hal ini berarti mengakui kekusaan Banten walaupun pemerintahan dalam daerah diatur sendiri secara adat. Para utusan yang ke Banten diakui oleh Sultan sebagai kepala adapt masing-masing kebudayaan. Oleh Sultan pengakuan ini dicantumkan dalam lembaga resmi kesultanan (Book Dalung) dan diberi gelar Pangeran. Untuk dakwah agama Islam Sultan mengutus keluarga kesultanan yang pandai agama disamping melaksananak pembelian lada. Untuk jual beli lada dipusatkan di Menggala. Sebagai bandara penjualan lada Menggala menjadi ramai dikunjungi orang terutama pedagang seperti orang Portugis, Belanda, Cina, Arab, Persia disamping orang Riau, Johor, Bugis, palembang dan Banten. Tahun 1570 di zaman Maulana Yusuf Banten memerintahkan rakyat Lampung sebagai berikut : Bagi orang laki-laki yangsudah berkeluarga diharuskan menanam lada sebanyak 1000 pohon yang masih bujangan 500. hasilnya harus dijual kepada Banten. Untuk ini Sultan Maulana Yusuf mengankat Jenjem pertama di Lampung sebagai wakil Sultan Banten dalam perdagangan hasil bumi terutama lada. Disamping itu juga diperjual belikan hasil hutan seperti Damar., Rotan dan lain-lain. Jenjem pertama kali diangkat ialah : I. Denten Teladas Tulang Bawang : 1. Ki Ngabehi Jaga Pati 2. Ki Ngabehi Jagantaka II. Semangka : 1. Pangeran Purbanegara 2. Depati Rayanegara III. Way Seputih : 1. Ki Arya Cendrasana 2. Depati Suralaga di Pened IV. Pesisir : 1. Ki Arya Wiraraja 2. Depati Natanegara Keadaan di sepanjang Tulang Bawang lebih-lebih di muara Tulang Bawang tidak sama karena banyak bajak laut dan perampok. Bajak Laut dari Riau sangat terkenal dengan pemimpinnya yang disebut Raja Dilawok dimana mereka mendirikan perkampungan di daerah penawar dekat Gedong Aji, sedangkanorang Bugis dipimpin oleh Daeng Raja. Sungai Tulang Bawang pada waktu itu menjadi ajang pertempuran antara orang Buay Tegamoan, Buay Bulan, Buay Aji dengan Bajak Laut dari negeri Cina, Lingga dan Bugis. Yang lebih menyedihkan sebagian dari penduduk Gedong Aji, Gedong Meneng, Gunung Tapa, Gunung Besar, Mecaksa dan Teladas habis terbunuh oleh Bajak Laut. Rakyat Tualang Bawang mendapat bantuan dari armada Ibnu Iskandar dari Minangkabau dan berakhir dapat dihancurkan oleh Bajak Laut Cina. Banyak pemimpin dari Buay Tegamoann Aji dan Bulan tebunuh oleh bajak laut seperti Minak Rio Sakti dari Buay Bulan Tiyuh Kibang, Minak Rio Besano dari Buay Aji Tiyuh Kota Karang. Minak Rio Sakti di makamkan di Kibang Tebing Suluh dekat Pagar Dewa kemudian disusul oleh armada dari Sultan Malaka dibawh pimpinan anak Sultan Malaka sendiri bernama Pangeran Mnsyursyah yang lebih dikenal Datuk Raja Malaka. Mereka baru dating dari sungai Musi membantu peperangan orang Kayu Agung Komering Ilir melawan bajak laut. Seusai perang dengan bajak laut di Tulang Bawang, datuk Raja Malaka menikah dengan puteri Anom keturunan Tuan Rio Mangkubumi Tuho Pagar Dewa atas persetujuan Sultan Malaka Setole. Tak lama kemudian daerah Tulang Bawang menjadi prebutan antara Sultan Banten dan Sultan Palembang. Sedangkan rakyat Lampung sebagian besar mengakui kesultanan Banten terkecuali orang-orang sekitar daerah Way Komering mengakui kesultanan Palembang. Pada tahun 1596 – 1608 terjadilah peperangan antara Banten dan Palembang. Banten menbdapat bantuan dari Tulang Bawang dibawah pimpinan Minak Rio Mangkubumi Pagar Dewa Tuho Buay Tegamoan. Peperangan ii diakhiri terbunuhnya Maulana Muhammad Banten dan Minak Rio Mangkubumi di Palembang. Tahun 1682 oleh Sultan Haji kedudukan Jenjem di Teladas dipindahkan sementara di Pagar Dewa. Tahun 1684 seluruh penyimbang marga Lampung melakukan perdagangan dengan V.O.C di Bandar Menggala Way Tulang Bawang. Perdagangan langsung leh V.O.C akibat yulah Ratu Fatimah isteri Sultan Banten yang ikut campur dala pemerintahan dalam kesultanan Banten. Untuk mengawasi jual beli hasil bumi di Menggala V.O.C mendrikan Loji dan meresmikan Bandar Menggala sebagai pusat jual beli hasil bumi di Tulang Bawang. Padahal sejak zaman Sultan Maulana Hasanudin tahun 1555 jual beli hasil bumi dilakukan disepanjang Way Tulang Bawang melalui Tanggo Rajo setiap kampung sebagai Bandar kecil milik setiap penyimbang di dalam tiyuh-tiyuh sepanjang Way Tulang Bawang. Barulah pada tahun 1684 V.O.C meresmikan Bandar Menggala serta Loji guna kepentingan V.O.C. Tahun 1668 V.O.C mendirikan benteng Petrus Albertus di Menggala tepatnya di kampung ujung Gunung Menggala, tetapi tidak berumur lama benteng tersebut dapat di hancurkan oleh rakyat Menggala. Tahun 1662-1706 pertikaian antara Palembang dan Banten hamper meletus lagi, hal ini disebabkan beberapa kerabat dari Abung dan Tulang BAwang menghadap Raden Aria Putera Sultan Palembang agar ikut terlibat persoalan mengenai daerah Tulang Bawang, yang mengakibatkan pada tahun 1734 Tulang Bawang serta Bandar Menggala jatuh ketangan Palembang. Untuk memperkuat pertahanan V.O.C membangun kembali benteng Petrus Albertus Muda di Menggala. Akibat Bandar Menggala dan Daerah Tulang Bawang dapat dikuasai oloeh Sultan Palembang., secara diam-diam Sultan Abdul Fathi Muhammad Syifai Zainal arifin Banten memperkuat armada perangnya untuk merebut kembali Tulang Bawang. Armada Perang Banten dan Palembang tahun 1773 berhantam kembali di sungai Tulang Bawang dan diamankan V.O.C dibawah pimpinan Reiner De Klerk. Akibat dari kericuhan ini pada trahun 1738Penyimbang Abung menboikot V.O.C dan melakukan pemasaran lada ke Palembang melalui Way Komering, akibatnya V.O.C mendirikan benteng VALKEN OOG di Kerbang Bumi Agung way Kanan. Pada waktu pemerintahan Belanda berkuasa terjadilah sengketa antara Terbanggi Balak dengan Buay Bulan Ilir di Menggala. Tahun 1856 seorang pemuka adat dari Terbanggi Balak diinstruksi oleh penguasa Militer belanda (Militaire Gezag hebber ) mengumpulkan pemuka adat dari Abung Siwo Migo, Pubian Telu Suku, Way Kanan dan Tulang Bawang, masing-masing harus membawa silsilah kebudayaan masing-masing dan surat-surat peninggalan yang berharga.setelah kumpul di Terbanggi Balak di rumah VAN DELMAN ternyata utusan dari Tulang Bawang terutama dari marga Buay Bulan dan Tegamoan tidak hadir, yang hadir Cuma MInak Geti wakil dari Suay Umpu, yang menimbulkan ketegangan antara kedua belah pihak dan mengakibatkan terbunuhnya Minak Geti di Terbanggi Balak akibat tembakan dari serdadu Belanda. Pemerintah Belanda di Terbanggi Balak pada waktu itu sebagai pusat pemerintahan menghakimi perselisihan dan pembunuhan tersebut. Penembak Minak Geti adalah opsir Belanda keturunan Bugis disingkirkan ke Batavia dan Buay Bulan dikucilkan dari Abung Siwo Migo. Keputusan Belanda ini banyak di tentang perwatin terutma dari Buay Nunyai, Buay Nuban, Buaqy Subing, dari kampung Mataram Tuho. Kejadian tersebut diatas menimbulkan kerenggangan antara Buay Subing dan Buay Bulan dan Buay Suay Umpu. Sementara itu Buay Nyerupa Way Seputih yang datang Sukaw pada zaman si Gajoh Dalam Pikulun Ratu dibawah Si Lamat dengan anak buahnya sebanyak 18 orang mendirikan kampung dalam lingkungan daerah Seputih Bandar Pak terutama Buay Subing dan Unyi dan masuk kedalam lingkungan adapt Seputih Bandar Pak. Pada tahun 1930 sewaktu DR. J.W VAN ROYEN selaku Controleur Residentil Lampungsche Districten dengan Resident F.Y Yunius yang berkedudiukan di Teluk Betung mengumpulkan seluruh penyimbang Adat dan Pasirah dari Abung, Pubian Way Kanan, Sungkai dan Tulang Bawang di Sesat Gunung Sugih Way Seputih dalam rangka mencatat marga-marga di Lampung. Pada waktu itu terjadilah kesimpang siuran tentang urutan Abung Siwo Migo. Dari pihak Marga Buay Nunyai diwakili H. Murad Bumi Kul Paseban Kota Bumi dengan tegas menyatakan Buay Bulan yang duduk di Abung Suay Migo sejak di Canguk Gaccak. Keterangan H. Murad Bumi Kul ini didkung oleh penyimbang dari kampung Bumi Jawa, Gedung Dalem Buay Nuban, Matarm Tuho Buay Subing, Buyut dan Sukadana Buay Unyi, Aji Kagungan Buay KUnang dan Gedong Wani Buay Selagai. Kemudian seorang pemuka dari kampung Terbanggi Balak Buay Subing mengatakan bahwa Buay Nyerupa Komering Seputih itulah yang duduk dalam Abung Siwo Migo dengan alasan sudah dua generasi sampai kedia pengejengan Buay Bulan sudah diduduki oleh Buay Nyerupa. Dari pihak Tulang Bawang yang diwakili empat Pasirah yang hadir pada waktu itu tidak mempersoalkannya, sebab semenjak tahun 1856 Buay Bulan dikucilkan dan selalu absent jika ada gawi Abung Siwo Migo. Pengejengan Buay Bulan sering diisi oleh Buay Nyerupa dan Buay Nuwat. Buay Bulan sendiri bergabung dengan Buay Tegamoan Suay Umpu dalam adat Sumbay Tulang Bawang dan terakhir tahun 1911 Buay Aji bergabung dam membentuk Mego Pak Tulang Bawang dengan urutan sebagai berikut : 1. Marga Buay Bulan 2. Marga Buay Tegamoan 3. Marga Buay Suay Umpu 4. Marga Buay Aji Marga Pak Tulang Bawang diakui oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1914. Kejadian ini yang menybabkan anggapan seolah-olah Buay Bulan bukan unsur pembentukan aAbung Siwo Migo pertama kali, padahal sudah berpuluh generasi Buay Bulan duduk dalam Abung Siwo Migo sejak Canguk Gaccak. Diposkan oleh INSTITUT LAMPUNGOLOGI di 19:38 1 komentar: ASAL USUL SUKU LAMPUNG Oleh: Marwansyah Warganegara (TMII, Jakarta-1994) Zaman dahulu kala ada sekelompok suku bangsa bertempat tingal di sungai Tatang dekat Bukit Siguntang Sumatera Selatan. Merka dibawah pimpinan sebagai berikut : 1. Lebar Daun 2. Anak Dalam 3. Serang 4. Naga Barisang 5. Dayang 6. Rakihan Diantara mereka berenam tersebut, yang tiga pergi mengembara untuk mencari penghidupan. Ketiga orang tersebut adalah : 1. Anak Dalam 2. Naga Barisang 3. Dayang Pertama kali mereka bertiga bertempat tinggal di pinggir sungai Batang hari, lalu anak Dalam ke Bengkulu, Naga Barisang ke Danau Ranau sedangkan keturunan Dayang kedaerah Pasemah. Keturunan Anak Dalam lalu pergi menyusul keturunan Naga Barisang yang lebih dahulu berada di Danau Ranau dan terakhir menyusul keturunan Dayang. Di daerah Ranau ini mereka mengadakan musyawarah untuk mengatasi kesulitan yang di hadapi. Mereka melakukan baercocok tanam dan menangkap ikan. Selang beberapa lama dating menyusul anak cucu Rakihan kedaerah Ranau. Perselisihan selalu terjadi antara anak buah mereka, lalu diambil keputusan bersama sebagai berikut : I. Pembagian daerah berdasarkan keturunan masing-masing harus mempunyai tanda : 1. Cabang kayu sebelah bawah sekali dipotong adlah tanda hak milik anak cucu Talang Tunggal Peteting Anak Aji. 2. Cabang kayu nomor dua dari bawah dipotong adalah tanda hak milik anakcucu Ruh Tunggal dan Jagad Hyang Prabu. 3. Apabila dibawah pohon kayu itu ada unggukan batu adalah tanda hak milik anak cucu Naga Barisang. 4. Apabila kayu itu diikat batangnya denagan rotan adalah tanda hak milik anak cucu Sigeriyang. II. Antara maereka tidak diperbolehkan membuat keributan sehingga berkelahi. Jika ytaerjadi perkelahian akan dihukum dan diusir keluar kampong. III. Perkawinan harus melalui musyawarah dengan kedua orang tua masing-masing. Tidak diperbolehkan kawin dengan saudara kandung dan sepupu. IV. Suami tidak boleh memukul isteri sampai cidera / mati. Dari daerah Ranau ini keturunan Naga Barisang dibawah pimpinan Poyang Sakti pindah ke Cinggiring Skala Brak. Poyang Sakti sewaktu pindah dari Ranau masih berusia remaja, sedangkan kedua orang tuanya Poyang Naga Jaya sudah tua dan dalam keadaan sakit. Di Skala Brak Poyang Sakti berjumpa dengan Poyang Serata Di Langik dan Poyang Kuasa. Rombongan Poyang Sakti sebagian menetap di tiyuh Canggu dengan pimpinan Poyang Sai Jadi Saktiyang lain menuju cinggiring dibawah pimpinan Poyang Sakti. Sewaktu perjalanan menuju ke Cinggiring disekitar tiyuh Batu Brak, Poyang Sakti berjumpa dengan Poyang Pandak Sakti yang dating dari daerah Muara Dua. Mereka berempat sepakat membentuk persekutuan “Paksi Pak Tukket Pedang” yang terdiri dari : 1. Poyang Sakti (Buay Balam) 2. Ppoyang Kuasa Buay Semenguk) 3. Poyang Serata Di Langik (Buay Nuwat) 4. Poyang Pandak Sakti (Suku Pak Ngepuluh Buay Aji) Maksud mereka mendirikan persekutuan ini adlah untuk menjaga keamanan disekitar Skala Brak karena selalu terancam dari perampokan yang dating arah Pesisir dan Palembang. Perampok ini berasal dari Negeri Cina yang merajalela dipedalaman Sumatera, yang dikepalai oleh Leang Tao Ming dan dapat ditangkap Laksamana Cheng Ho pada tahun 1407 atas perintah Kaisar Yung Lo. Poyang Sakti Menikah dengan Dayang Metika, Anak Poyang Kuasa Buay Semenguk. Dari perkawinan ini lahirlah : 1. Poyang Junjungan Sakti 2. Puteri Indera Bulan Puteri Indera Bulan setelah remaja sangat camtik dan tangkas. Suasana hidup ketika itu sangat keras akibat perampokan terjadi di mana-mana, sehingga membentuk watak dan pribadi Puteri Bulan menjadi keras. Dia belajar ilmu bela diri dan pandai main senjata tajam. Setelah itu datanglah rombongan tiga orang Empu secara berturut-turut yang berasal dari Pagaruyung Laras Bodi Chaniago. Mereka masing-masing : 1. Empu Cangih yang kelak bergelar RAtu Di Puncak 2. empu Serunting yang kelak bergelar Ratu Di Pugung 3. empu Rakihan yang kelak bergelar Ratu Di Belalaw Mereka meninggalkan Pagaruyung tahun 1347 akibat pertentangan antara Datuk Ketemanggungan dengan Datuk Parpatih Nan Sabatang sewaktu pemerintahan Adityawarman mantan mahamenteri Majapahit. Datuk Perpatih Nan Sabatang memerintah scara adat di minangkabau yang bersifat disentralisasi dan demokratis yang sudah dipengaruhi Ajaran Islam, sedangkan datuk ketemanggungan system sentralisasi dan otokratis, sehingga tidak dapat berkembang dan brtolak belakang dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Ketiga orang Empu ini adalah keluargan dari Parpatih Nan Sabatang yang berasal dari Laras Bodi Chaniago yang meninggalkan Pagaruyung menuju Bengkulu dan menetap didaerah perkebunan lada di Ranau. Akibat bencana alam dan letusan gunung api mereka terpaksa pindah kearah selatan sampai di Bukit Pesagi Skala Brak. Kedatangan mereka ini sekaligus menyebarkan agama Islam kepada penduduk Skala Brak Yang beragama Animisme dan Hindhu Bhairawa dan mereka tahun 1350 muari dengan Puteri Bulan di Cinggiring lalu meneruskan perjalan ke Bukit Pesagi. Sesampai mereka di Bukit Pesagi terlebih dahulu mereka ngedudu (memanggil) dengan menanyakan apakah ada orang disana. Maka di jawab dengan jawaban “Wat” yang berarti ada. Lalu mereka menuju kearah suara dan berjumpa dengan seorang yang bernama Poyang Serata Di Langik. Poyang Serata Di Langik yang menurunkan Buay Nuwat. Nuwat berasal dari kata ”Meno Wat” berarti lebijh dulu berada disana. Tidak lama kemudian datanglah orang yang mengaku berasal dari Segara Baka Kahiyangan bernama Poyang Aji Saka. Terlebih dahulu diadaka uji coba kekuatan dengan Poyang Sakti ternyata tidak ada yang kalah dan menang. Poyang Aji Saka dan Poyang Sakti berpadu (berunding) ternyata mereka masih satu keturunan dari sungai Tatang Bukit Siguntang. Kemudian mereka disusul Poyang Makuda, Poyang Mapuga, Sang Gariha dan terakhir disusul Poyang Lunik beserta pengikutnya Sai kundang, Sai Badak, Sai Jalang, Sai Nima dan Pakku. Selanjutnya beberapa waktu kemudian empat orang Empu yaitu Empu Cangih, Empu Serunting Empu RAkihan dan Empu Aji Saka berjumpa dengan sekelompok orang yang mereka anggap aneh karena cara penghidupan mereka sangat berbeda. Sekelompok orang ini mereka sebut orang Tumi. Karena mereka memakan buah durian hutan yang dalam bahasa Lampung disebut Tumi. Suku Tumi ini bertempat tinggal didaerah luas. Mereka menyambah sebatang pohon nangka yang bercabang dua yang disebut “Lemaaa Kepampang”. Cabang yang satu terdiri dari pohon nangka dan satunya lagi pohon sepukaw. Kaneham pohon nangka ini akarnya tumbuh keatas dan puncak nya kebawah. Getahnya sangat beracun dan hanya dapat sembuh dengan getah Sepukaw. Pada saat tertentu mereka mempersembahkan korban kepala manusia hasil dari mengayaw warga kampung lain untuk dipersembahkan pada pohon Melasa Kepampang. Pimpinan suku Tumi seorang wanita yang bernama Puteri Sekar Mong. Setelah hal ini diketahui oleh empat orang Empu lalu mereka berunding dan mereka berunding untuk menaklukan suku Tumi serta meng-islamkan mereka. Tugas ini dibebankan kepada tujuh orang : 1. Poyang Kuasa 2. Poyang Pulagai 3. Sanbg Balik Kuang 4. Sang Gariha 5. Poyang Makuda 6. Poyang Mapuda 7. Poyang Nyurang Mereka bertugas menaklukan orang Tumi. Puteri Sekar Mong dan Anaknya bernama Puteri Sindi dapat ditawan, sedangkan orang Tumi yang selamat melarikan diri mengikuti aliran Way Semangka lalu bersembunyi disekitar Gunung Tanggamus. Pohon Lemasa Kepampang mereka tbang lalu dibawa ke Ranji Pasai dekat Kenali sekarang. Kayu Lemasa Kepampang dijadikan simbul kesatuan dan persatuan serta kesepakatan dan kebulatan kata dalam pergaulan. Benda ini disebut”Pepadun” yang berasal dari kata perpaduan. Bentuk bulatnya setinggi lutut dan cabangnya menjadi sandaran. Pepadun Lemasa Kepampang ini menjadi milik bersama oleh empat orang Empu di Skala Brak. Dari daerah luas mereka menuju Ranji Pasai terus menyelusuri dataran tinggi Belalaw sampai di Chinggiring, mereka berjumpa dengan sekelompok orang dibawah pimpinan Puteri Indra Bulan. Oleh Empu Rakihan diadakan uji coba kekuatan ternyata tidak ada yang kalah dan menang. Empu Canggih lalu mengangkat Puteri Indra Bulan menjadi anak, karena Empu Canggih hanya mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Puteri Nuban yang bergelar Menak Mupun. Empu Canggih beristri tiga orang : 1. Puteri Laut Lebu lahir Puteri Nuban 2. Puteri Ranaw lahir Nunyai dan Unyi 3. Puteri Pagaruyung lahir Betanyang lebih dikenal dengan nama Subing. Setelah daerah Skala Brak aman keempat Empu pergi ke bukit Pesagi lalu mengadakan perundingan dimana tempat masing-masing Empu dan keluarganya memilih tempat tinggal. Masing-masing Empu beritindak sebagai kepla Rombongan yang dipatuhi dan dihormati. Tempat tinggal mereka dikelilingi oleh pagar bamboo betung atau galih kayu yang disebut keratun. Keratun tersebut ialah : 1. Empu Canggih bergelar Ratu Di Puncak mengambil tempat di puncak bukit pesagi. 2. Empu Serunting Bergelar Ratu Di Pugung mengambil tempat di punbggung Bukit Peasagi. 3. Empu Rakihan bergelar Ratu Di Belalaw mengambil tempat di tengkuk Bukit Pesagi. 4. Empu Aji Saka bergelar Ratu Di Pemanggilan mengambil tempat di bawah Bukit Pesagi. Diketahui di Skala Brak tumbuh sebuah pohon kayu Hara yang sangat besar dan tinggi. Penduduk sangat takut karena di atas pohon tersebut hidup sepasang burung garuda yang sangat ganas. Banyak orang yang mati akibat serangan Burung tersebut yang mengakibatkan rakyat di sekitar pohon itu menjadi takut atas serangan burung garuda ganas itu. Oleh keempat orang Empu sepakat untuk menebang kayu Hara. Tugas ini diserahkan kepada sembilan orang dengan pimpinan Poyang Lunik. Kesembilan orang tersebut adalah : 1. Poyang Lunik 2. Si Sangkan 3. Si Pandan 4. Si Kandang 5. Si Jalang 6. Si Badak 7. Si Midin 8. Si Nima 9. Si Pakku Kayu Hara itu berhasil mereka tumbangkan dan garuda yang ganas dapat di usir. Akan tetapi meminta korban sebanyak tujuh orang dan yang selamat hanya Poyang Lunik dan Si Sangkan. Menurut cerita orang kayu hara tersebut setelah rubuh pangkalnya di Skala Brak dan ujungnya sampai di Teluk Semangka. Galih kayu hara diambil oleh empat orang Empu dan dijadikan kekuhan (kentongan) . Untuk mengenang jasa mereka yang telah berhasil menebang kayu hara maka diabadikan bentuk kayu hara dan tancapkan ditengah lunjuk Pancah Aji. Bentuk tiruan kayu hara ini bercabang empat dan bertingkat sembilan. Disudut empat Lunjuk pancah aji didirikan juga tiruan kayu hara yang lebih pendekbercabang empat bertinkattujuh yang disebut pejaraw. Empat pejaraw melambangkan Empat keratuan. Empat cabang melambangkan empat paksi Tukket Padang, tujuh tingkat melambangkan tjujuh orang yang meninggal, sedangkan sembilan tingkat melambangkan sembilan orang pahlawan yang bertugas menebang kayu hara. Lunjak Pancah Aji adalah tempat pelaksanaan perkawinan secara adat, dimana kedua mempelai duduk tindih silou serta menginjak kepala kerbau. Kehidupan di Skala Brak terasa aman dan damai. Keadaan ini tidak berjalan lama. Perampokan terjadi dimana-mana terutama perampok cina yang merajalela diperairan selat malaka, pantai pesisir Sumatera, lalu memasuki sungai Musi terus ke Palembang dan menyebar ke daerah Ranau sampai ke Skala Brak. Dikarenakan sering terjadi perampokan secara besar-besaran, disamping pertumbuhan penduduk semakin banyak dan perlu daerah pemukiman yang lebih luas. Untuk itu mereka mengadakan perundinngan untuk melakukan perpindahan denagn menyebar. Kesepakatan itu diwujudkan dengan sumpah dan memotong siamang putih yang dibuat bekasam dan disimpan dalam gentong. Gentong ini dapat dibuka kembali apabila keturunan empat keratuan ini dapat bersatu kembali di Skala Brak. Didalam perjanjian itu juga ditetapkan hak kekuasan adapt berada di tangan Ratu Di Puncak dan keturunananya, sedangkan puska lainnya seperti pepadun Lemasa Kepampang kekuhan dan lain-lain tetap dipegang ratu Di Belalaw dan keturunannya. Ratu Di Puncak, Ratu Di Pugung dan Ratu Di Pemangglan pindahmencari daerah yang baru dimana perpindahan tersebut terjadi dua arah melalui jalur Raau dan kearah Martapuramengikuti aliran Way Komering dan melalui pantai Pesisir. Rau Di Puncak pindah ke daerah Selabung kemudian Pindah lagi ke hulu way Abung yaitu di Canguk Gaccak. Empu Pandak Sakti dan beberapa orang Jurai Ajimenempati sepanjang Way Komering.Empu Kuasa, Sang Balik Kuang, Empu Pemuka menempati Way Pisang, Way Kanan dan Way Besai. Keturunan Empu Serata Di Langik dan pak Lang Jurai Ratru Di Pugung menempati Mnempati daerah di Way Besai hinggga Way sekampung, Poyang Lunik dan sangkan sampai Way Handak sedangkan Sangkan pinadah lagi ke muara Way Sekampung. Keturunan Ratu Di Pemanggilan sebagian di daerah Way Rarem dan beberapa Jurai menempati daerah antaraWay Seputih. Sedangkan keturunan Puteri Bulan menempati daerah Way Semangka hingga way Sekamapung lalau pindah lagi ke Way Tulang Bawang. Ketururnan Ratau Di Belalaw tetap tinggal dei Skala Brak dan terakhir sebagian pindah ke daerah Ranau dan Daerah Kota Agung yang kemudian mendirikan persekutuan adapt “Paksi Pak Skala Brak”. Diceritakan bahwa Empu Rakihan yang bergelar Minak Rio Belunguh menikah dengan Puteri Bulan Bara Jurai dari Puteri Indra Bulan bertempat tinggal di luas, dari perkawinan inilahirlah : 1. Empu Menyata 2. Empu Turgak Didalam perjanjian bahwa Buay Menyata dan Buay Turgak tidak ikut clan Empu Rakihan, tetapi ikut dalam clan ibunya yaitu Jurai Puteri Indra Bulan. Kemudian Empu Rakihan Kawin dengan Puteri Sindi anak dari Puteri Sekarmong dan menetap di Ranji Pasai dekat Kenali. Dari perkawinan ini lahirlah : 1. Empu Belunguh 2. Empu Nyerupa 3. Empu Parenong 4. Empu bejalan Di Way Tetapi menurut keterangan pangeran Syafei Kenali, Empu Parenong dan Empu Bejalan Di Wai berasal dari Darmas Raya. Jadi empat Empu inilah merupakan cikal bakal Paksi Pak Skala Brak. Sewaktu mendirikan Paksi Pak ini dihadiri utusan dari: 1. Buay Nunyai 2. Buay Unyi 3. Buay Subing 4. Buay Nuban 5. Buay Bulan 6. Buay Semenguk 7. Buay Nuwat 8. Buay Tumi 9. Buay Menyata 10. Buay Turgak 11. Buay Aji 12. Buay Sandang 13. Buay Rawan 14. Buay Runjung 15. Buay Pemuka Kelima belas ke-buay-an ini ikut menghadiri pembentukan Paksi Pak di Skala Brak, dan diputuskan bahwa Buay Menyata diangkat menjadi ”Aanak tuha” yang dihormati sedangkan Puteri Indra Bulan diangkat menjadi “Anak Bai” (saudara perempuan) yang disayangi. Keturunan Purteri Indra Bulan pada waktu itu tidak berhak menjadi Paksi dan diputuskan oleh Perwatin Paksi Pak untuk memegang pusaka Ratu Pak yang dipegang oleh Ratu Belalawberupa Pepadun Lemasa Kepampang, Kekuhan, Sesam Siamang,putih dan lain-lain. Sewaktu itu setiap pengankatan seseoarang Paksi yang baru di Skala Brak harus naik pepadun Lemasa Kepampang yang dipinjam pada keturunan Puteri Indra Bulan di Cinggiring yang dikuasakan kepada Wayang Kemala. Hubungan Paksi Pak Skala Brak dengan keturunan Puteri Indra Bulan sangat harmonis dan berjalan lancar, sehingga timbul istilah “Paksi Pak ke Lima Buay Nerima, Cumbung Pak, kelima Sia”. Yang dimaksud Buay Nerima adalah keturunan Puteri Indra Bulan di Cinggiring dan luas. Keharmonisan ini tidak bias berjalan lama, dikarenakan Paksi Buay Belunguh dan Paksi Buay Parenong ingin menguasai pusaka peninggalan Ratu Pak yang dipercayakan pada keturunan Puteri Indra Bulan, serta perselisihan prbatasan antara Paksi Pak dengan Buay Bulan. Hal ini mengakibatkan kerenggangan antara Paksi Pak dengan Buay Bulan baik yang berada di Cinggirig maupun di luas. Kericuhan ini trdengar oleh Ratu Di Puncak yang berada di Canguk Gaccak, Ratu Di Puncak memerintahkan Minak Serappou. Minak Nyabak dan Minak Termindak dating ke Cinggiring untuk menengahi perselisihan. Setelah sampai di Cinggiring diadakan perundingan di Bah Way antara Paksi Pak dengan Buay Bulan, Buay Menyata, Buay Turgak dan diambil Keputusan Buay Bulan dibawah pimpinan Nago Gayo gelar Minak Rio Sakti akan pindah menyusul Ratu Di Puncak di Canguk Gaccak. Sedangkan saudara Nago Gayo antara lain Nago Liu pidah kedaerah Melebui Balak/ Lunik, Puteri Linggang menikah dengan Minak Ngejengaw Tuha di Kembahang. Keturunan Minak Rio Sakti bernama Minak sakowiro dan Minak Sengencang Bumi sepakat untuk pindah mengikuti Way Semangka terus ke Pugung sebagian menetap di Way Sekampung. Kepercayaan untuk memgang pusaka Ratu Pak yang semula di pegang oleh keturunan Buay Bulan lalu di serahkan kepada Buay Menyata di Luas. Sewaktu pembentukan adat Pasi Pak Skala Brak dalam rangka meresmikan pengangkatan Paksi yang baru tahun 1825 diman utusan dari Buay Bulan Semar Gelar Akkuan Batin Kepala Kampung Tegineneng kibang masih terlihat tata cara lama di Sukaw di dalam sesat ada pengejongan khusus untuk Buay Bulan, Buay Menyata, Buay Turgak dan Buay Aji dimana sekarang, setiap nayuh Balak yang dilakukan oleh Paksi Pak hal ini tidak tampak lagi.padahal jauh sebelum Penjajahan Belanda/Inggris dating hubungan Paksi Pak dan Paksi Kebuay-an berjalan lancar. Sesampai Nago Gayo di Canguk Gaccak disana telah berada Buay Nunyai, Buay Unyi, Buay Subing, Buay Nuban, Buay Yuk keturunan Ratu Pemanggilan jurai Poyang Semenekaw rupanya Minak Rio Kunang telah lebih dulu di Hulu Way Rarem, dan Peteting Anak Aji keturunan Ratu Pemanggilan dari Jurai Poyang Rakihan yang bertempat tinggal di Ulok Tiga Ngawan. Peteting Anak aji kawin dengan anak petrempuan Nunyai yang paling tua betrnama Cani Gelar Minak Indeman dan terakhir sekali datang menyususl dan bergabung dengan mereka. Di Canguk Gaccak inilah mereka sebanyak sembilan orang berkumpul. Kesembilan orang inilah sebagai cikal bakal abung Siwo Migo dengan urutan sebagai berikut : 1. Nunyai 2. Unyi 3. Subing 4. Nuban 5. Bulan 6. Beliuk 7. Selagai 8. Kunang 9. Anak Tuha Dalam pertemuan Abung Siwo Migo pertama dengan keputusan bahwa delapan orang saudara Nunyai mendapat hak Ngujuk Ngekuk, tetapi belum dapatkan adapt kebumian. Hadir dalam pertemuan ini sebagai saksi adalah : Sumbai Tegemoan, Sumbai Pemuka, sumbai Bahuga dan Sumbai Semenguk. Besarnya pengakuk mereka yang delapan baru 400, sedangkan nunyai tetap 600. Mereka yang menjadi saksi belum mendapat hak adapt dari sinilah lahirnya istilah ‘Abung Siwo Mingo’ dan ‘Pak Sumbai’. Ketika diadakan Mecak Wirang di Gilas didaerah Way Besai dimana nunyai, Unyi, Subing dan Nuban merayakan kemenangan mereka dapat membunuh raja Di Lawok yang dihadiri oleh : 1. Suku Pubian tiga belas Jurai 2. Buay Tegamoan 3. Buay Pemuka 4. Buay Bahuga 5. Buay Semenguk 6. Buay Silamayang Mecak Wirang di Gilas ini menetapkan pembagian adat dan harta warisan. Peristiwa kejadian yang menimbulkan kerenggangan antara Abung Siwo Mego adalah peperangan antara orang Abung dan Pubiyan melawan Minak Indah kampung panarangan keturunan Mi nak Rio Sanak Buay Teagamoan. Minak Indah merasa sakti dan gagah berani. Dia mempunyai anak gadis, sebanyak tujuh orang. Sewaktu orang meminang anak gadisnya, Minak Indah memberi syarat harus menyerahkan emas seberat badan gadis itu lalu terjadilah peperangan sehingg a Minak Indah terbunuh oleh Minak Naga Ngumbang Hulubalang Minak Srappo Kiyo dari Terbangi dengan senjata Subang Gading, penuang dan Kayas Ibung Ngelamang batu milik Minak Paduka Buay Nunyai. Anak gadisnya berjumlah tujuh orang masing-masing diambil dari Kotabumi, Buyut, Surabaya, Mataram, Terbanggi, Bumi Aji dan Lingai. Satu menantunya diambil Minak naga Ngumbang. Perayaan untuk merayakan kemenangan ii berlangsung di Kotabumi Tua dipinggir Way Pangubuan. Setelah itu keturunan Ratu Di Pugung yang berada di sekitar Way Pangubuan dan keturunan Ratu Di Penmggilan yang berada di Way Seputih membentuk adapt pubian Telu Suku. Keturunan Ratu Di Pugung bergabung dalam dua suku yaitu masyarakat dan Tambapupus dan keturunan Ratu Di Pemanggilan adalah suku Bukujadi, Pembentukan adapt Pubian Telu Suku ini dihadiri oleh utusan Abung Siwo Migo dan Sumbai dari Way Kanan. Ketiga suku itu adalah : I. Suku Masyarakat 1. Buay Kediangan 2. Buay Manik 3. Buay Nyurang 4. Buay Gunung 5. Buay Kapal 6. Buay Selagai Jurai Rawan II. Suku Tambapupus : 1. Buay Nuwat 2. Buay Pemuka Pati Pak Lang 3. Buay Pemuka Menang 4. Buay Semima 5. Buay Pemuka Halom Bawak 6. Buay Kuning III. Suku Buku Jadi : 1. Buay Sejadi 2. Buay Sejaya 3. Buay Sebiyai 4. Buay Ranji 5. Buay Kaji 6. Buay Pukuk Diposkan oleh INSTITUT LAMPUNGOLOGI di 19:26 12 komentar: Rabu, 11 Maret 2009 SEJARAH DOMPU DAN TULANG BAWANG Oleh : HM.Agus Suryanto Wartawan Harian Lombok Dompu Dalam lembaran sejarah di Dompu mencatat,sebelum terbentuknya kerajaan konon didaerah ini pernah berkuasa beberapa kepala suku yang disebut sebagai ‘’NCUHI’’ atau raja kecil para ncuhi tarsebut terdiri dari 4 orang yaitu: Ncuhi Hu,u yang mempunyai wilayah kekuasaan Hu,u dan sekitarnya(sekarang kecamtan Hu,u) Ncuhi Saneo yang mempunyai wilayah kekusaan daerah Saneo dan sekitanya(sekarang kecamatan Woja Dompu). Ncuhi Nowa Yang mempunyai wilayah kekusaan Nowa dan sekitarnya(sekarang masuk kecamatan Woja). Ncuhi Tonda yang mempunyai wilayah kekusaan Tonda dan sekitarnya dan saat ini masuk dalam wilayah Desa Riwo kecamatan Woja Dompu. Selain empat Orang Ncuhi yang terkenal di Dompu terdapat pula Ncuhi lainya seperti Ncuhi Tolo Fo,o,Ncuhi Katua,Ncuhi Dorongao,Ncuhi parapimpi dan Ncuhi Dungga.para ncuhi mengusai satu wilayah dengan penduduknya di beberapa bekas pemukiman lama atau perkampungan yang di kuasai oleh para Ncuhi dan sampai saat ini nama perkampungan itu masih melekat bahkan telah di abadikan menjadi salah satu nama Desa atau kecamatan di kabupaten Dompu. Beberapa perkampungan atau negeri yang pernah menjadi wilayah kekusaan para Ncuhi itu misalnya: negeri Tonda,negeri Soro Bawah letaknya di Doro La Nggajah letaknya ditepi pantai teluk Cempi Huu.negeri bata letaknya di Doro bata kelurahan kandai satu ,negeri Tolo fo,o letaknya di sebelah utara Dusun Rababaka Desa Matau kecamatan Woja,negeri para sada sekarang merupakan lokasi persawahan So Mangge kalo di kampung Pelita kelurahan Bada,negeri La Rade lokasi tersebut berada di areal pertanian so Jero ,negeri dungga terletak di sekitar Dam rabalaju,negeri Dorongao letaknya di kelurahan Kandai satu . Kerajaan Dompu merupakan hasil penyatuan atau bersatunya para Ncuhi yang ada diwilayah Dompu saat itu,sistim pemerintahan berbentuk kerajaan yang dipimpin oleh seorang Raja(sangaji)disebutah susunan Raja-raja yang pernah berkuasa di kerajaan dompu yang pertama. Dewa Sang Kula Konon Raja ini berasal dari negeri tanah seberang tokoh ini datang ke Dompu melalui laut tepatnya di wilayah telauk Cempi Hu,u menggunakan perahu yang terbuat dari Bambu betung yang masih muda dan mendarat di pantai Ria di riwo Woja,selanjutnya Sang tokoh tersebut bermukim diwilayah Riwo.dan atas kesepakatan para Ncuhi yang ada di tanah Dompu saat itu .lantas di angkat menjadi seorang raja pertama kali di dan dompu . Dewa Tulang Bawang. Tokoh ini oleh masyarakat Dompu berdasarkan tuturan dari para sesepuh bahwa,Dewa tulang bawang ini konon berasal dari negeri tulang bawang sumatra tepatnya di Bukit si Guntang dewa tulang bawang mengembara di negeri Dompu. dan menurut cerita rakyat Dompu tokoh ini,datang di Dompu menggunakan perahu dan terhempas gelombang dasyat sehingga perahu yang ditumpanginya terdampar dan berubah menjadi sebongkah batu dan oleh masyarakat Dompu batu tersebut di kenal dengan istilah Wadu Lopi.Dewa tulang bawang kemudian menikah dengan seorang putri anak dari Sang Kula Indra kumala dan selanjutnya menjadi raja dompu yang kedua. Dewa Indra Dompu. Merupakan putra dari Dewa tulang Bawang Dewa mambara bisu adalah saudara dari dewa Indra Dompu. Dewa Mambawa Balada. Juga saudara kandung dari dewa indra Dompu. Diposkan oleh INSTITUT LAMPUNGOLOGI di 06:20 1 komentar: Posting Lama Beranda Langganan: Entri (Atom) Pengikut Arsip Blog ▼ 2009 (13) ▼ Agustus (1) Video Mengenai Lampung ► Mei (5) ► Maret (7) Mengenai Saya Foto Saya INSTITUT LAMPUNGOLOGI Lihat profil lengkapku

No comments:

Post a Comment