Sunday, 30 September 2012
lampungdikdaya:Hasyimkan dan Sejarah ‘Gamolan’
Hasyimkan dan Sejarah ‘Gamolan’ PDF Print E-mail
User Rating: / 0
PoorBest
Sunday, 15 January 2012 05:37
PERTAMA mengenal gamolan, Hasyimkan menilai bahwa alat musik ini sederhana dan mudah untuk diteliti. Namun, dugaannya itu salah, alat musik dari bambu ini ternyata merekam sejarah budaya Lampung yang panjang.
-----------
Perkenalan Hasyim dengan gamolan terjadi saat dia masih menjadi guru seni di SMAN 9 Bandar Lampung. Saat itu ada pelatihan memainkan gamolan di Taman Budaya Lampung tahun 1998. Alat musik asal Lampung Barat ini kemudian menjadi inspirasinya dalam membuat tesis kuliahnya di Universitas Gadjah Mada (UGM).
”Awalnya saya pikir gamolan sederhana dan mudah untuk diteliti. Tahunya rumit dan lebih susah,” kata Hasyim saat ditemui di Kampus Jurusan Seni Tari Unila di Jalan Panglima Polim, Selasa (10-1).
Bagi dosen Jurusan Seni Tari FKIP Unila ini, musik etnis lebih susah dipelajari dibandingkan dengan musik modern. Belajar gitar dan drum bisa dipelajari di mana saja karena nadanya sama di seluruh dunia. Sedangkan musik etnis harus dipelajari di daerah tempat asal musik tersebut.
Begitu juga dengan gamolan, dia harus datang ke rumah-rumah warga di Lampung Barat yang masih memainkan alat musik dari bambu ini.
Ayah dua anak ini pun harus masuk ke desa-desa di sekitar Liwa. Bahkan dia harus naik Gunung Pesagi untuk mempelajari sejarah gamolan. Semak bulakar lebat pun dia seberangi untuk mencari jejak sejarah yang mengungkap kebenaran sejarah gamolan.
Dari hasil penelitian dan studi literatur yang sudah dia lakukan, ada kesimpulan bahwa gamolan Lampung yang terbuat dari bambu merupakan awal dari alat musik gamelan perunggu yang ada saat ini. Bahwa sesuatu yang sederhana mengawali suatu yang rumit. Bahwa kebudayaan bambu merupakan awal dari kebudayaan perunggu. Hal ini didukung oleh teori H. Stewart yang mengungkapkan bahwa hal relatif sederhana lebih dahulu dari yang rumit.
Gamolan mempunyai beberapa versi nada seperti do re mi so la si, do re mi so la si do, dan do re mi fa so la si do. Perbedaan nada ini disesuaikan dengan kebutuhan di daerah masing-masing.
Penelitian yang dilakukan Hasyim kemudian mendapat angin segar setelah menemukan bahwa pernah ada penelitian tentang gamolan yang dilakukan Prof. Margaret J. Kartomi, guru besar dari Monash University.
Penelitian yang dilakukan Hasyim untuk gamolan tergolong lengkap. Dia menggunakan pendepakatan etnomusikologi, antropologi, arkeologi, sosiologi, religi, sejarah, linguistik, dan supranatural. Sebelumnya penelitian gamolan hanya menggunakan kajian etnomusikologi berupa cara bermain musiknya saja.
Menurut dia, pendekatan supranatural dimungkinkan untuk penelitian yang tidak ditemukan bukti peninggalan sejarah. ”Saya pun menggunakan sebuah teori yang menyebutkan bahwa bila pernyataan diungkap dua orang atau lebih dan tidak bertentangan dengan keilmuan yang ada, dapat diambil kebenarannya” kata dia.
Menurut dia, gamolan merupakan perpaduan dari budaya India dan China yang masuk ke Sumatera. Gamolan berasal dari bahasa Sansakerta, yakni gamel yang berati memukul. Kemudian saat China masuk maka kata gamol diartikan sebagai berkumpul dan kemudian dikenallah gamolan.
Budaya asli Sumatera saat itu hanya berupa bambu bulat yang berfungsi sebagai kentongan. Setelah China masuk dan membawa kebudayan bambu maka terjadilah akulturasi dan membuat gamolan seperti saat ini, perpaduan antara bambu bulat dan lempengan.
Saat ini, Hasyimkan dan beberapa rekannya, Fajar Ramadhan dan Kemal Sjahdinata, sedang memperjuangkan untuk mendapatkan hak kekayaan intelektual (HAKI) atas gamolan. ”HAKI bukan atas nama perorangan, melainkan atas nama masyarakat Lampung yang diwakili oleh Pemprov Lampung,” kata dia.
Menurutnya, gamolan bukan milik perorangan. Semua masyarakat Lampung berhak atas warisan budaya gamolan.
Gamolan sudah beberapa kali diseminarkan di universitas di Australia, salah satunya tempat Prof. Margaret mengajar, Monash University. Hal ini merupakan sebuah upaya untuk mengenalkan alat musik Lampung kepada dunia.
”Saya pun sudah mengirimkan surat elektronik atau e-mail kepada Gamelan Institute di Amerika untuk mengenalkan bahwa ada gamolan dari bambu yang berbeda dengan gamelan yang ada selama ini di Jawa,” kata dia.
Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini meyakini akan banyak peneliti yang datang ke Lampung untuk melihat dan meneliti tentang gamolan. Gamolan harus dilestarikan jangan sampai ketika peneliti datang ke Lampung, alat musik khas Sang Bumi Ruwa Jurai ini sudah tidak dimainkan lagi.
Menurut dia, untuk mendapatkan pengakuan dari UNESCO, gamolan harus dilengkapi dengan penelitian ilmiah yang lengkap. Apakah benar asal katal gemel dari India dan ini harus dibuktikan dengan melakukan penelitian ke India dan China. Perlu ada dukungan pemerintah untuk mengembangkan penelitian ke sana. ”Kan tidak mungkin peneliti memiliki dana yang cukup untuk penelitian ke luar negeri,” kata dia.
Bisa saja suatu saat gamolan ini diklaim punya Malaysia jika tidak cepat dipatenkan dan didaftarkan ke UNESCO. ”Dengan uang yang tidak terbatas Malaysia bisa melakukan apa saja,” kata dia.
Bagi Hasyim, tesisnya tentang gamolan belum tuntas. Tesis hanya sekadar syarat formal saja untuk lulus S-2. Namun, masih perlu penelitian tambahan dan berkelanjutan. Saat ini pun dia masih terus ke Lampung Barat dan Way Kanan untuk meneruskan penelitiannya.
Dia menganalogikan isi tesisnya hanya untuk menjelaskan bahwa istrinya cantik. Tidak menyebutkan bahwa istrinya cantik dibandingkan istri orang lain. ”Jika saya menyebut istri saya cantik saja tidak ada yang protes. Tapi jika lebih cantik dibandingkan istri yang lain, banyak yang protes,” kata dia.
Begitu pun dengan gamolan, kata dia, bila alat musik ini disebut lebih dahulu dibandingkan dengan gamelan jawa dan menjadi awal mula keberadaaan gamelan, banyak yang akan menentang. Dia sudah memiliki banyak literatur dan penelitian yang menunjang bahwa keberadaan gamolan lebih dahulu ada. Adanya relief gamolan di Candi Borobudur menunjukkan bahwa alat musik ini diakui oleh pendiri Candi Sailendra. Dalam bahasa Lampung pun dikenal kata “sai”.
“Tidak semua gambar bisa diukiri di Borobudur. Kalau bukan karena perintah Sailendra, tidak mungkin gamolan terukir di candi. Di dalam bahasa Lampung ada kata way yang juga dikenal dalam agama Hindu Waisak,” kata dia.
Menurutnya, anekdot yang menyebut bahwa musik nusantara dimulai dari Jawa, bahwa musik Jawa lengkap, kemudian bergeser ke barat berkurang sedikit, sampai Jawa Barat berkurang, terus ke Lampung berkurang lagi, lalu sampai Palembang, Jambi, Sumut, hingga sampai Aceh tinggal tepuk-tepuk dada saja, tidak benar. (PADLI RAMDAN/M-1)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment