Sunday, 30 September 2012

Benteng Terakhir Sastra Lisan Lampung

Benteng Terakhir Sastra Lisan Lampung Syafnijal Datuk S | Rabu, 02 Mei 2012 - 15:27:37 WIB : 270 (SH/Syafnijal Datuk S) Sastra lisan kuno warisan budaya Lampung nyaris punah. Di hari tuanya, Masnuna merasa gundah. Bukan karena minimnya bahan makanan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Bukan pula karena kurangnya perhatian kedua anak kandungnya. Satrawati lisan Lampung satu-satunya ini “galau” karena tidak ada yang meneruskan dirinya sebagai pelantun dadi, sebuah sastra lisan Lampung kuno yang terancam punah. Masnuna yang tahun ini genap berusia 80 adalah satu-satunya pelantun sastra lisan marga Pubian, Lampung yang dikenal dengan dadi. Dadi adalah sastra lisan yang penuturannya dilakukan dengan irama yang khas. Konon dadi telah ada di masyarakat Lampung sebelum agama Hindu masuk ke daerah ini. Selain dadi, juga terdapat jenis sastra lisan Lampung kuno lainnya yang disebut: ngehambu bunyi surat, pisaan, incang-incang, dan kias. Sama dengan dadi, yang lainnya juga sudah tidak ada lagi yang bisa melantunkannya. Sebelumnya, di lingkungan marga Pubian terdapat tiga pelantun dadi, dua lainnya pria, yakni Ali Gelar Pangeran Pengadilan Yawafatas dan Pangeran Matapunai. Namun, keduanya sudah meninggal. Ali meninggal pada 1977 dan disusul Pangeran Matapunai pada 2003. Sementara itu, pelantun dadi perempuan hanya Masnuna sendiri. Masnuna lahir pada 1932 di Kampung Segala Mider, Kecamatan Pubian, Lampung Tengah. Ia menikah dengan Abdul Hasan, seorang pemuda asal Kampung Tanjung Kemala, Lampung Tengah, pada 1955. Dari pernikahannya ini mereka dikaruniai sepasang anak; yang sulung adalah Abdul Somad dan yang bungsu bernama Junaini. Berkeluarga ternyata tidak menghalangi aktivitasnya sebagai pelantun dadi. Ia tetap menjadi pelantun dadi pada setiap acara, seperti pernikahan dan upacara adat lainnya. Alunan suaranya yang tinggi saat menuturkan tiap bait sastra lisan Lampung itu merupakan saat yang ditunggu-tunggu warga ketika menghadiri hajatan atau upacara adat lainnya. Masnuna mempelajari sastra lisan itu ketika masih berusia tujuh tahun. Gurunya tak lain adalah ayahnya sendiri, yakni Dalom Muda Sebuway. Sang ibu, Siti Aminah, juga turut mengasah kemahirannya dalam melantunkan setiap baitnya. Niatnya mempelajari dadi bukan hanya karena darah seni yang mengalir dari ayahnya. Lebih dari itu, niatnya didorong kenyataan bahwa dadi merupakan karya sastra utama yang hidup dalam masyarakat adat Pubian, salah satu marga di kalangan masyarakat asli Lampung. Hampir dalam setiap upacara adat di Pubian, dadi selalu ditampilkan. Kepada SH yang menemuinya di rumahnya Kampung Tanjung Kemala, Kecamatan Pubian, baru-baru ini, seniman “gaek” ini masih bersemangat menuturkan kisah hidupnya. Garis keriput penanda usia senja tidak menghalangi ekspresinya mengisahkan pengalamannya belajar dan memelihara sastra lisan tersebut agar tetap lestari hingga saat ini. Sindiran dan Nasihat Dadi berisi pantun sindiran, pantun jenaka, dan terutama pantun nasihat. Namun belakangan, tidak semua masyarakat dengan mudah memahami makna setiap bait pantun tersebut, sebab dadi menggunakan bahasa Lampung tingkat tinggi. Hal itu pula yang menyebabkan generasi muda enggan mempelajarinya. Di samping menggunakan bahasa yang halus, dadi bisa mengandung dua atau lebih makna. Pada zaman keemasannya, dadi selalu ditampilkan saat pergantian tahun, panen raya, pertemuan bujang dengan gadis, sebelum atau sesudah acara gawi adat (upacara adat-red), bahkan disiapkan dalam pertemuan khusus untuk mengadakan dadi. Pada masa itu dadi dilantunkan beberapa pasang gadis dan bujang. Di belakang mereka terdapat guru yang mengajarkan jawaban-jawaban sehingga mereka menirukan lagi kosakata yang diajarkan sang guru. Pengajar dan barisan bujang-gadis tersebut dibatasi dengan tirai pembatas sehingga yang mengajarkan tidak kelihatan. Ketika dua kelompok sedang beradu dadi, jika salah satunya pindah pematang (makna bait yang baru dilantunkan tidak sesuai bait sebelumnya), ia dianggap kalah. Menurut Masnuna, terdapat enam macam irama dadi: lagu dibi (irama senja), lagu tengah bingi (irama tengah malam), lagu kuwasan (irama menjelang pagi), lagu punia nanoh (irama naik-turun), lagu salah undogh (irama awal ditinggikan, kemudian irama berikutnya rendah), dan lagu ngelumpat (irama tidak beraturan). Salah satu contoh lirik dadi yang sering dilantunkan Masnuna: Bunga layu dipampang // Tiyak di tengah kali // Ya lapah ngambang kambang // Miba nutuk way mili. Artinya: “bunga layu di cabang lalu jatuh di tengah sungai. Berjalan terombang-ambing menuruti arus air sungai.” Di sini Masnuna ingin menggambarkan bahwa telah terjadi goncangan budaya dalam masyarakat Lampung. Kini, mereka malu menjadi orang Lampung, tetapi nilai-nilai baru yang dianggap ideal sebagai pengganti budaya lama tidak pula terjangkau. Untuk itu, terbentuklah masyarakat yang mengalami disorientasi. Mereka tercerabut dari akar dan kehilangan jati diri. Dalam kondisi ini, terjadilah anomali, sebuah masyarakat yang kehilangan nilai-nilai budaya. Budaya lama yang selama ini dianut sudah ditinggalkan, sementara untuk menjadi masyarakat modern juga belum sepenuhnya. Menghadapi kondisi ini, Masnuna bertutur lirih: Sejarah sa dibuang // Kak ghadu kualami // Ibaghat ngubak bawang // Wat bawak mak buisi. Artinya: “masa lalu telah berlalu, ibarat mengupas bawang, ada kulit tapi tidak berisi. Di sini, Masnuna berharap agar generasi muda berhati-hati dalam menjalani kehidupan. Jangan lupa dengan perjalanan kehidupan (seni budaya-red) agar tidak menjadi sia-sia. Semua itu (seni budaya-red) harus benar-benar dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan.” Mulai Pikun Kini Masnuna sudah memasuki usia senja dan mulai agak pikun. Ia sering meminta makan meskipun baru saja selesai makan. Anehnya, bait-bait dadi masih dihafalnya di luar kepala. Giginya tampak masih utuh, meski warnanya agak menghitam akibat hampir sepanjang hidupnya memakan sirih—sebuah kebiasaan kaum perempuan di Lampung. Rambutnya pun memutih. Wajahnya juga menampakkan guratan-guratan penuaan, tetapi sorot matanya masih tajam seakan menyiratkan ketegaran hidup. Ia berbicara tidak selancar sebelumnya. Oleh karena itu, sejak 2005 ia sudah jarang melantunkan dadi. Di hari tuanya ini, Masnuna yang nama aslinya adalah Hanuna tidak rela sastra lisan Lampung kuno tersebut punah. Namun sayang, tiada satu pun cucu-cucu atau para generasi muda di kampungnya yang mau mempelajarinya. Jangankan mau melantunkan dadi yang menggunakan bahasa Lampung tingkat tinggi, untuk berbicara dalam bahasa Lampung saja sebagian generasi muda sudah tidak lancar. Kecuali itu, masyarakat sekarang pun juga sudah banyak yang tidak menyukai kesenian asli marga Pubian tersebut. “Anak-anak sekarang lebih senang menonton orkes dangdut,” ujarnya lirih, dengan sorot mata berkaca-kaca. Pertanda risau. Apalagi hingga kini belum ada pihak yang khusus membukukan dadi. Kecuali buku yang ditulis seorang mahasiswa asal Amerika Serikat, Tim Smith, ketika mendalami seluk-beluk masyarakat Pubian Dakhak, beberapa tahun lalu. Lalu disusul sebuah stasiun televisi swasta nasional yang memvideokan kehidupan sehari-hari Masnuna. Mungkin inilah satu-satunya yang bisa ditonton generasi berikutnya, guna memberitahukan bahwa nenek moyangnya pernah memiliki sebuah sastra lisan kuno yang bernama dadi. Sumber : Sinar Harapan

No comments:

Post a Comment