Tuesday, 4 September 2012

Air Mata Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat

BeritaMusi.com Sastra Air Mata Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat coba 14.03.2012 18:22:35 WIB Cerita TAUFIK WIJAYA DAPUNTA Hyang bukanlah manusia sakti, yang memiliki banyak ilmu bela diri. Tetapi dia seorang pemuda yang cerdas, dan sejak kecil memiliki minat yang besar untuk mengetahui dunia luar. Sejak berusia tujuh tahun, dia mengikuti pamannya belayar ke lautan luas dengan menggunakan perahu kajang. Tak heran dalam usia muda dia telah mengenal banyak masyarakat bersama kebudayaannya di Asia Tenggara, Tiongkok, Timur Tengah dan Afrika. Dari pengalaman tersebut, Dapunta mendapatkan banyak pengetahuan, termasuk cara membangun sebuah kerajaan yang besar, serta strategi bagaimana mendapatkan banyak pendukung serta menguasai jalur ekonomi. Di India, Dapunta juga sempat belajar Bahasa Sansakerta dan agama Budha. Tahun 660 Masehi, Dapunta yang memiliki tubuh sedang, berambut ikal panjang yang warnanya hitam kecoklatan, berkulit kuning, bola mata besar, serta berhidung rendah, pulang ke rumah orangtuanya di Minanga. Minanga merupakan pusat dari Kerajaan Kan-t’o-li. Minanga terletak di tepi Sungai Musi. Di depannya terdapat sebuah delta. Pada masa selanjutnya pusat Kerajaan Kan-t’0-li ini disebut Palembang Lamo atau Kuto Gawang. Saat pulang, Dapunta juga membawa serta gurunya yakni Mahaguru Suvarnadvipa Dharmakirti. Sebagai pemuda yang banyak belayar ke negeri orang, dan seorang putra mahkota dari Kerajaan Kan-t’o-li tentu saja Dapunta didatangi banyak pemuda kampung. Mereka ingin tahu bagaimana kehidupan di luar Minanga. Dapunta juga memperkenalkan agama Budha dan pengetahuannya mengenai Bahasa Sansakerta. Ternyata ajaran agama Budha menarik perhatian dari pemuda di Minanga. Mereka pun turut memeluk agama Budha. Pada saat itu Dapunta dan Mahaguru Suvarnadvipa Dharmakirti menyusun kitab agama Budha yakni Tipitaka ke dalam Bahasa Sansakerta. Saat ayahnya menyerahkan kerajaan kepada dirinya, Dapunta kemudian mengubah nama kerajaan Kan-t’o-li menjadi Sriwijaya. Nama Sriwijaya diambil dari Bahasa Sansakerta yang artinya cahaya kemenangan atau cahaya kejayaan. “Kau bilang banyak kerajaan hebat di luar sana. Kira-kira mungkinkah kerajaan kita akan menjadi besar seperti mereka?” tanya Marta, sesepuh Dapunta. Pertanyaan itu tidak dapat dijawab Dapunta. Tetapi pertanyaan tersebut telah menggelitik pikiran dan hatinya. Berhari-hari dia berpikir bagaimana caranya merangkul semua kerajaan kecil yang ada di sepanjang pantai dan puluhan sungai di Andalas, sehingga Kerajaan Sriwijaya menjadi besar. “Ya, buat menyatukan mereka, aku harus menemukan orang yang paling sakti, yang akan menjadi panglima,” kata Dapunta dalam hati. Tetapi Dapunta belum tahu bagaimana caranya merangkul orang-orang sakti untuk bergabung dengan Kerajaan Sriwijaya. Dapunta kemudian berpikir untuk mendapatkan dukungan dari Tiongkok, yang merupakan kerajaan yang cukup kuat saat itu, agar orang-orang sakti tertarik bergabung. Dia pun mengirimkan beberapa kali surat ke kaisar di Tiongkok berserta sejumlah hadiah. Jawaban belum pernah diterimanya. Tahun 671, datanglah seorang pendeta agama Budha dari Tiongkok yang bernama It-Tsing. Saat bertemu Dapunta maupun rakyat Sriwijaya, It-Tsing begitu kagum dengan ketaatan mereka terhadap agama Budha. Yang lebih mengejutkan It-Tsing, dia mendapatkan kitab agama Budha dalam Bahasa Sansakerta. Kepada It-Tsing, Dapunta menceritakan keinginannya menjadikan Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan besar. Dia mengharapkan Tiongkok memberikan dukungan terhadap keinginan tersebut. Beberapa kali dia mengirimkan surat ke Tiongkok, tapi belum juga mendapatkan dukungan. Sebelum meninggalkan Kerajaan Sriwijaya, It-Tsing yang sudah kadung senang dengan Dapunta bersama Kerajaan Sriwijaya, mengirim surat ke kaisarnya. Dia menceritakan semuanya. Setelah kepergian It-Tsing, dukungan Tiongkok pun datang. Dapunta pun segera mewujudkannya keinginannya. Dapunta dengan menggunakan perahu kajang dan didampingi sejumlah prajuritnya, melakukan perjalanan ke hulu Sungai Musi. Dia menyamar sebagai seorang pendeta agama Budha. Setiap bertemu perkampungan atau kerajaan, hampir setiap warga yang ditemui Dapunta selalu bertanya tentang pengetahuannya mengenai dunia luar. Setelah itu Dapunta bertanya siapa orang yang paling sakti di dalam masyarakat mereka. Dan dari puluhan kampung dan kerajaan, semua menyebutkan nama Si Pahit Lidah. Orang sakti ini hidupnya di puncak Gunung Dempo. Dia hanya sesekali turun ke bawah dengan menggunakan sebuah perahu kecil. Kesaktian dari Si Pahit Lidah yakni dia mampu membuat orang diam atau terpesona dengan ucapannya. Bahkan, dia juga mampu menyumpah suatu benda, termasuk manusia, berubah wujud. Setelah berbulan-bulan, Dapunta akhirnya bertemu dengan Si Pahit Lidah di puncak Gunung Dempo. Dapunta kemudian menceritakan maksudnya. Awalnya Si Pahit Lidah keberatan, tapi Dapunta menggambarkan keinginan masyarakat di pulau Andalas untuk membangun sebuah kerajaan besar, yang dapat menguasai lautan. Sehingga seluruh rakyat menjadi makmur dan berjaya. Dapunta juga memberitahu bahwa Kerajaan Sriwijaya yang dipimpinnya telah mendapatkan dukungan dari Kerajaan Tiongkok. “Ya, saya bersedia. Beri tahu saya waktunya niat suci ini kita wujudkan,” kata Si Pahit Lidah. Penuh kegembiraan Dapunta saat pulang ke Minanga. Beberapa hari kemudian, Dapunta melakukan perjalanan di wilayah pesisir. Dia pun bertemu dengan banyak orang, termasuk suku laut yang suka merompak. Kepada mereka Dapunta menceritakan bagaimana makmurnya banyak kerajaan dengan menguasai lautan. “Kalau kita penguasa lautan, kita akan kaya tanpa harus merompak. Kita hanya meminta upeti dari mereka yang melintasi laut yang kita kuasai. Guna menguasai lautan, kita harus menaklukkan semua kerajaan yang berada di sekitarnya. Yang lebih penting, kita juga telah didukung Tiongkok,” kata Dapunta. Gagasan itu ternyata menarik perhatian masyarakat pesisir. Mereka pun setuju dan mendukungnya. Dapunta kemudian bertanya tentang orang yang paling sakti. Mereka pun menyebut nama Si Mata Empat. Dia hidup di sekitar kampung Kayuagung. Tanpa mengalami kesulitan Dapunta bertemu dengan Si Mata Empat. Saat datang, Si Mata Empat langsung menceritakan semua hal tentang Dapunta termasuk maksudnya. Terkagumlah Dapunta. “Jadi apakah Tuanku setuju?” “Jika aku tidak setuju, maka aku sudah pergi dari rumahku ini,” kata Si Mata Empat. Dapunta sangat senang saat kembali ke Minanga. Dua orang sakti sudah ditemukannya, dan keduanya setuju membangun Kerajaan Sriwijaya menjadi sebuah kerajaan besar. DUA pilar kerajaan sudah dipegang Dapunta. Yakni orang sakti yang akan menjadi panglima perang, dan dukungan dari Kerajaan Tiongkok. Kini Dapunta membutuhkan seorang istri yang akan dijadikan permaisuri. Atas informasi yang didapatnya, ada seorang putri dari Kerajaan Tarumanegara yang belum dipersunting. Namanya Sobakancana. Parasnya cantik. Dia adalah putri kedua dari raja Linggawarman. Berangkatlah Dapunta bersama Suvarnadvipa Dharmakirti menghadap raja Linggawarman. Dia pun menyatakan keinginannya mempersunting Sobakancana. Permintaan ini jelas ditolak sang raja. Sebab Dapunta bukanlah siapa-siapa. Apalagi Dapunta beragama Budha. Dapunta kemudian membawa lari sang putri. Tak lama kemudian Dapunta mengabarkan kepada Si Pahit Lidah bersama masyarakatnya, dan Si Mata Empat bersama masyarakatnya, agar berkumpul di Kedukan Bukit pada pertengahan tahun 682 Masehi, buat melakukan ritual suci; perwujudkan semua kekuatan di Andalas ke dalam Kerajaan Sriwijaya dan penetapan pusat kerajaan yang baru. Ritual suci ini ditandai dengan pembuatan prasasti, yang kalimatnya disusun Suvarnadvipa Dharmakirti. Prasasti tersebut dibuat pada sebuah batu andesit yang dibawa Si Pahit Lidah. Saat itu, Dapunta diberi gelar Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Sementara panglima perangnya diangkatlah Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. Proyek pertama kerajaan itu bukan melakukan penyerangan ke kerajaan lain. Mereka justru membangun sebuah taman. Di taman ini hampir setiap hari para prajurit Kerajaan Sriwijaya belajar agama Budha, serta ilmu bela diri dari Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. Baru setelah itu, Dapunta bersama dua panglimanya melakukan penaklukkan terhadap kerajaan-kerajaan yang berada di Pulau Bangka dan di sekitar Semenanjung Malaya. Awalnya pasukan Kerajaan Sriwijaya mendapatkan perlawanan, tapi berkat kesaktian Si Mata Empat dan Si Pahit Lidah perlawanan tersebut dapat diatasi dengan mudah. Tetapi sebagian melarikan diri atau kembali ke Jawa. Para prajurit Sriwijaya mengejarnya hingga ke pedalaman Jawa. Mereka pun dapat ditaklukkan. Kabar kesaktian Si Mata Empat dan Si Pahit Lidah ini menyebar ke penjuru negeri. Dampaknya setiap kali pasukan Kerajaan Sriwijaya mendatangi sebuah kerajaan, tidak ada lagi perlawanan. Mereka langsung menyerah dan menyatakan bergabung dengan Kerajaan Sriwijaya. Namun saat mereka ingin menaklukkan India dan Tiongkok, Mahaguru Suvarnadvipa Dharmakirti mencegahnya. Hanya sebagian India yang boleh ditaklukkan, terutama yang masih beragama Hindu, sementara Tiongkok harus menjadi saudara sebab mereka telah mengakui agama Budha. TIGA abad setelah kematian Dapunta Hyang, Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat, Kerajaan Sriwijaya tetap disegani oleh bangsa-bangsa di dunia. Sebab kerajaan ini tetap memiliki orang sakti, yang ilmunya diturunkan dari Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. Akibat tidak ada perlawanan atau musuh, orang-orang sakti dari Kerajaan Sriwijaya kemudian menyepi atau hidup sendiri di tempat-tempat yang jauh dari masyarakat. Satu per satu mereka meninggal dunia, dan tidak melahirkan murid yang baru, sehingga kesaktian dari Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat tidak ada lagi yang memilikinya. Mengetahui kondisi ini, musuh Kerajaan Sriwijaya, terutama yang beragama Hindu, menjadikan sebuah peluang. Mereka pun menyusupkan mata-mata ke pemukiman Kerajaan Sriwijaya. Mereka kemudian membangun cerita yang intinya mengadu domba masyarakat. Ada yang menceritakan bahwa pada saat Dapunta Hyang berkuasa, panglima yang paling sakti adalah Si Mata Empat, dan pada saat yang lain diceritakan Si Pahit Lidah yang paling sakti. Cerita ini pun diyakini masyarakat. Akibatnya dua masyarakat yang merasa keturunan dari masing-masing orang sakti tersebut, terpecah. Mereka saling memusuhi. Saling membenci. Kondisi ini tentu saja memperlemah kondisi kerajaan. Sebagian petinggi kerajaan kemudian pindah ke Jambi. Di sana mereka membangun istana. Dalam posisi lemah ini, kerajaan yang memiliki dendam dengan Kerajaan Sriwjaya melakukan penyerangan. Kerajaan Sriwijaya pun berakhir. Berkuasalah kekuatan baru di Palembang. Penguasa baru ini kemudian membangun cerita. Cerita yang mengisahkan bahwa Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat bukanlah dua sahabat yang membangun Kerajaan Sriwijaya, tapi dua orang sakti yang saling membenci, dan akhirnya berkelahi buat membuktikan kesaktian masing-masing, yang menyebabkan keduanya tewas.[*] Komentar Name Email address URL Comment Berita Terkait 02.09 Kelebihan Ishak Mekki di Mata Prof. Dr. Romli S.A. M.Ag 22.04 Ishak Mekki di Mata Para Penerima Kartini Award 06.04 Empat Srikandi Harumkan Nama Indonesia 05.04 Mata Tombak di Pagaralam Berbahan Emas Diragukan? 03.04 Mata Tombak Emas Harus Segera Menjadi Koleksi Negara 02.04 Mata Tombak Emas Sulit Diterima Artefak Masuknya Islam ke Pagaralam 02.04 Ditemukan Mata Tombak Emas dari Masa Akhir Sriwijaya 28.10 Petani Empat Lawang Tanam Pohon Sengon 27.08 Kabut Asap Pedihkan Mata Warga Palembang 07.07 Empat Pemain Sriwijaya FC Kian Dekat Disidangkan 30.06 “Ziarah Air Mata” Sebuah Kesaksian Syamsu Indra Usman 20.05 Empat Hari Penting Kejatuhan Soeharto 10.05 Balita Dibiarkan Merokok Empat Bungkus Sehari 02.05 Sriwijaya FC Kembali Persaingan Empat Besar 08.04 ”Mereka Tahu Saya Bukan Mata-Mata” Berita Giliran Presiden SBY Berikan Penghargaan pada Tartilah Ishak Kayamba Dilepas Sriwijaya FC Ishak Mekki Dizolimi, Kader dan Simpatisan Protes Alex Noerdin Terima Penghargaan "Inclusive Award" Sakim Siap Pimpin Palembang Eddy Santana Putra Bantu Korban Kebakaran Kuto Batu Kelebihan Ishak Mekki di Mata Prof. Dr. Romli S.A. M.Ag Ratusan Ribu Warga Pariaman di Sumsel Dukung Ishak Mekki Musi Channel Becak Tulung Selapan “Indonesia Kecil” di Sungai Rasu Jelajah Sungai Musi Bertahan dengan Rokok Pucuk Anak-Anak dari Dusun Agen Pempek Keliling Wong Kecik Cari Makan di Sungai Musi Tikar Purun Palembang Foto Satya Lencana Melati Teruntuk Tartilah Ishak Dukungan Pada Ninik Mamak Ishak Mekki Seratusan Grup Seni Rebana dan Qasidah Teruntuk Ishak Mekki Ishak Mekki Silahturahmi dengan Ribuan Warga Prabumulih Ishak Mekki Melaju di Sungai Musi Ishak Mekki Putra Terbaik Sumsel Jejak Rekam Chairul S. Matdiah, Pengacara cum Politisi Open House Idul Fitri di Rumah Ishak Mekki Tokoh Chairul S Matdiah: Saya Hidup Karena Anak Yatim dan Kasih Sayang Keluarga Tartilah Ishak, Perempuan Pemimpin dari OKI Sutrisman Dinah, Jurnalis cum Aktifis Lingkungan Hidup Beni Hernedi Dipilih Karena Kemampuan Memimpin Lewat Lingkungan Harumkan Indonesia Mengabdi buat Alam yang Lestari Lahirkan Generasi Bebas Korupsi Djohan Hanafiah: Bapak Penggali Sejarah dan Budaya Palembang Novel ANGIN JUARO Perahu Kolom Meraih Kejayaan Pesisir Timur Sumatera Selatan Jejak Kecil Abdul Rozak, Sang Pahlawan Tetak Palak Jurnalis Hingga Akhir Hayat Menjaga Kemanusiaan Ternyata Jepang Dapat ”Hancur” Saya Belajar dengan Mi Instan Obama, I Like Donut Menengok ke Belakang "Gending Sriwijaya" Redaksi: beritamusi AT gmail DOT com Jalan Basuki Rachmat No.1608-i Palembang. Telp/Fax 0711-378371 [JBPI] Jaringan Berita PENA Indonesia

No comments:

Post a Comment