Sejarah Lampung yang Terserak
REP | 30 January 2012 | 14:00 Dibaca: 748 Komentar: 22 3 dari 4 Kompasianer menilai menarik
Biasanya setiap ke
perpustakaan, saya memang sudah menentukan buku apa yang hendak dicari,
tapi kali kemarin, saya benar-benar hanya ingin berwisata pikiran.
Ketika sabtu kemarin (28/1) membuang kesuntukan dengan mengacak-acak
buku di perpustakaan pusat UGM, saya menemukan buku sejarah mengenai
Lampung. Dari sekian kali saya membaca mengenai hal ini, baru kali ini
saya takjub, karena ternyata Kotaagung, kota kelahiran saya ini
merupakan tempat pertama kali sang merah putih dikibarkan di bumi
Lampung oleh penjajahan Jepang pada tanggal 24 Agustus 1945.
Sejarah Lampung memang
masih penuh misteri karena keterbatasan data dan sumber sejarah yang
akurat serta minimnya penggalian sejarah yang dilakukan para ahli
sejarah. Ahli sejarah yang minat dan concern dengan Lampung kebanyakan
dari luar, karena studi atau jurusan sejarah murni atau arkeologi di
Lampung tidak ada, yang ada hanya FKIP sejarah yang outputnya menjadi
guru.
Sejarah kuno daerah
Lampung terbatas dalam sumber tradisional setempat dan sumber luar
berupa babad. Dalam sumber tradisional diceritakan bahwa Lampung pada
sekitar 200 tahun sebelum masehi sampai abad ke-4 masehi telah terdapat
sebuah kerajaan bernama kerajaan Tumi. Rakyat kerajaan Tumi memeluk
agama Budha. Selain kerajaan Tumi, di daerah ini berdiri pula kerajaan
Tulangbawang, sebuah kerajaan besar yang daerah kekuasaannya meliputi
daera Lampung dan Sumatera Selatan.
Pada abad selanjutnya,
kerajaan yang ada di Lampung mengalami kehancuran karena diserang oleh
kerajaan Chandra Gupta dari India. Rakyat dan para bangsawan kerajaan
banyak yang melarikan diri dengan berlayar melalui sungai Komering dan
mendirikan kerajaan baru di Siguntang Mahameru, yaitu Kerajaan Sriwijaya
(Raja yang Jaya). Inilah cikal bakal dari kerajaan Sriwijaya yang
mendunia, dimana letak kerajaan tersebut tercatat di Sumatera Selatan,
namun mereka adalah orang Lampung yang melarikan diri.
Sementara itu, rakyat
yang tetap di Lampung dan rakyat yang mengungsi ke Selatan kemudian
bersatu mendirikan kerajaan baru. Pada saat itu dikenal adanya 3 orang
raja yang taat memeluk agama Budha, yakni Prabu Kekuk Suik yang berkuasa
di Lampung bagian Barat, Prabu Sida Sakti yang berkuasa di Lampung
bagian Tengah dengan pusatnya di Gunung Rajabasa.
Berita mengenai
keberadaan daerah Lampung telah disebutkan dalam babad pakuan atau babad
pajajaran, yaitu yang terdapat pada syair ke-1978, 1620-1621 dan 1704.
Dalam syair tersebut, diceritakan mengenai pemimpin Nusa Lampung Kidul
yang gagah perkasa dan berbadan kebal senjata, yaitu Gajah Manglawu
Maspanji Walungan Sari.
Pada saat itu, daerah
Lampung merupakan daerah pengaruh agama Budha yang kuat, terbukti dengan
diketemukannya 4 buah prasasti yaitu Prasasti Hara Kuning, Prasasti
Palas Pasemah, Prasasti Batu Bedil dan prasasti Ulu Belu.
Pada masa penyebaran
agama Islam di Indonesia, daerah Lampung masuk dalam pengaruh agama
Islam yang disebarkan oleh Syarif Hidayatullah. Masuknya agama islam ke
Lampung tidak banyak membawa ketegangan dan permusuhan karena dilakukan
dengan cara damai, yaitu melalui persahabatan dan hubungan darah. Syarif
Hidayatullah, seorang penyebar agama islam di Cirebon mempunyai 2 orang
saudara yang menjadi penguasa di Lampung yaitu Ratu Saksi atau Ratu
Daerah Putih dan Ratu Simaringgai.
Hubungan baik antara
Lampung dengan Cirebon terus berlanjut pada saat penaklukan daerah
Banten. Pada saat itu, Maulana Hasanuddin, putera Syarif Hidayatullah
meminta bantuan Ratu Daerah Putih dalam mengislamkan daerah Banten
bagian barat dan menaklukkan Raja Banten, Pucuk Umum. Setelah berhasil
menaklukkan Banten, sebagian pasukan Lampung ada yang menetap di
Lampung. Mereka diberi tanah di daerah Anyer Selatan (Anyer Kidul) yang
sekarang dikenal sebagai sebuah enclave suku bangsa Lampung di
Banten, yaitu Lampung Cikoneng atau desa Cikoneng.
Peninggalan dari masa
Islam di daerah Lampung relative cukup banyak diantaranya beberapa kitab
Alquran tulisan tangan dan juz amma yang ditulis pada kulit kayu serta
naskah kuno aksara arab dan berbahasa melayu kuno yang masih disimpan
oleh beberapa kepala adat di Krui. Di Sukan Lampung Utara dan Bojong
Lampung tengah diketemukan naskah Undang-undang pangeran Banten yang
berisi tentang hijratun Nabi Muhammad SAW.
Lampung,
Tempat Pertama Kali Belanda Mendarat?
Pada masa kejayaan
kesultanan Banten, daerah Lampung menjadi kekuasaan Banten yang
potensial sebagai penghasil lada dan rempah-rempah lainnya yang diincar
Belanda. Pada tanggal 29 Agustus 1602 armada VOC mendarat di Tanjung
Tirom (Lampung) tetapi mendapat perlawanan sengit dari rakyat Lampung,
sehingga terjadi pertempuran di Brunai, Keteguhan dan Teluk Betung
Lampung.
Perlawanan rakyat
Lampung melawan VOC Belanda terus berlanjut. Pada tahun 1825, pasukan
Belanda dipimpin Lavevre menyerang Lampung untuk menangkap Raden Intan.
Usaha ini mengalami kegagalan bahkan Levevre sendiri terbunuh.
Perlawanan ini berlangsung dalam tiga periode, yaitu Raden Intan, Raden
Imba Kesuma, dan Raden Intan II. Raden Imba Kesuma akhirnya harus
menyingkir ke Linggai tapi tertangkap dan diasingkan ke Pulau Timor.
Raden Intan II yang menggantikan Raden Imba Kesuma melanjutkan
perlawanan hingga akhir hayatnya. Beliau meninggal karena penghianatan.
Pada waktu yang sama,
di bagian Barat Lampung terjadi pula perlawanan terhadap Belanda yang
dipimpin oleh Batin Mangunan dari Teluk Semangka Kotaagung (1825-1826).
Perlawanan terjadi pula di Lampung Utara yang dipimpin pangeran Indera
Kesuma yang akhirnya menyingkir ke Bengkulu yang dikuasai Inggris.
Perlawanan-perlawanan
yang dilakukan rakyat Lampung tidak membuahkan hasil. Akan tetapi,
sedikit banyak keberadan Belanda di Lampung tidak pernah bisa tenang
karena rakyat Lampung terus melakukan perlawanan secara sporadis. Oleh
karena itu, kedudukan residen Belanda berpindah-pindah antara lain di
Menggala, Gunung Sugih, dan akhirnya di Teluk Betung.
Pemerintah Belanda di
Teluk Betung dipimpin oleh Residen J. Walland, seorang Asisten Residen
Bengkulu. J. Walland dipilih sebagai Residen Lampung karena telah
berhasil mempelajari hukum adat Sumatera Selatan dan melakukan
kodifikasi hukum adat Bengkulu, yaitu Simboer Tjataya Bengkulu.
Pemerintah Belanda di
Lampung berakhir dengan datangnya tentara pendudukan Jepang pada tahun
1942. Akhirnya pada 24 Agustus 1945 tentara pendudukan Jepang harus
menyerahkan kekuasaan pada Pemerintah RI yang baru merdeka dengan
ditandai upacara penurunan bendera Jepang diganti oleh Sang Merah Putih
di Kotaagung.
Demikian sekelumit
hasil bacaan saya mengenai sejarah Lampung dari penelitian tentang
kebudayaan masyarakat Lampung yang diteliti oleh Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional Bandung, Proyek pemanfaatan Kebudayaan Daerah Jawa
Barat tahun 2003 yang ternyata buku ini memang tidak diperjualbelikan
dan terbatas pada kalangan tertentu. Semoga bermanfaat.
Yogyakarta, 30-1-2012.
No comments:
Post a Comment