Jejak Islam di
Lampung (13): Fatwa 100 Ulama di Pesantren K.H. Gholib
SEPERTI
halnya masjid dan pesantren lain di Indonesia yang tidak hanya menjadi
pusat ibadah dan pendidikan, tetapi juga menjadi basis pergerakan
melawan Belanda, pesantren K.H. Gholib Pringsewu pun tak bisa lepas dari
pergerakan seperti ini.
Ketika Belanda kembali punya keinginan
menancapkan kukunya di Indonesia (agresi kedua tahun 1949), 100 ulama
Lampung saat itu berkumpul di Pesantren Gholib membahas hukum perang
melawan Belanda dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
...
Keseratus ulama itu, antara lain K.H. Hanafiah dari Sukadana, K.H.
Nawawi Umar dari Telukbetung, K.H. Abdul Rozak Rais dari Penengahan,
Kedondong, K.H. Umar Murod dari Pagardewa (kini Kabupaten Tulangbawang
Barat), K.H. M. Nuh, K.H. Aman dari Tanjungkarang, Kiai M. Yasin dari
Tanjungkarang (ketua Masyumi Lampung saat itu), K.H. A. Rauf Ali dari
Telukbetung, K.H. A. Razak Arsad dari Lampung Utara.
Hasil
musyawarah 100 ulama itu menetapkan hukum perang melawan Belanda
mempertahankan kemerdekaan dan ketinggian Islam adalah fardu ain.
Keputusan ini disampaikan ke pemerintah ketika itu dan menjadi dasar
umat Islam melawan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan. Setelah
keputusan ini, Hanafiah dan pasukan laskar Hizbulllah dan Sabilillah
Pringsewu menuju Baturaja, Sumatera Selatan, untuk membantu Tentara
Republik Indonesia (TRI) melawan Belanda, setelah Palembang diduduki.
Lalu atas keputusan pemerintah darurat Lampung dan TRI yang
sebelumnya bermusyawarah dengan Gholib dan ketua-ketua partai Islam
ketika itu, menetapkan Gholib memimpin TRI dan rakyat Pringsewu
(Hizbullah dan Sabililah) menyerang Belanda.
Begitu pentingnya
peran Gholib mengusir Belanda, membuatnya dirinya selalu menjadi incaran
Belanda untuk ditangkap kemudian dibunuh. Siasat perang diterapkan
Gholib adalah perang gerilya di bawah komando TRI Kapten Alamsyah Ratu
Prawiranegara (Menteri Agama era Soeharto).
Dalam biografi
Gholib yang ditulis salah satu santrinya, H. Akbar Moesa Achmad, tokoh
penyebar Islam dan pejuang kemerdekaan ini meninggal dunia pada 6
November 1949 atau 16 Syawal 1368 Hijriah.
Gholib ditembak dari
belakang oleh tentara Belanda, setelah 10 meter berjalan menjauhi
sebuah gereja di Pringsewu, tempat dirinya ditahan militer Belanda.
Gholib jatuh tersungkur dan meninggal dunia ketika itu juga.
Kegemasan Belanda pada Gholib bukan karena ia seorang ulama besar dan
memiliki pesantren dengan santri sangat banyak, melainkan andilnya yang
sangat penting dalam mempertahankan kemerdekaan. Pesantren miliknya
menjadi basis pertahanan TRI dan Pemerintah Darurat RI di Lampung.
(ALHUDA MUHAJIRIN/U-3)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 24 Agustus
2010
Diposkan oleh Udo Z KarziLihat Selengkapnya
No comments:
Post a Comment